Mubadalah.id – Dalam literatur hadits terdapat jumlah riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah sangat menghargai hak perempuan untuk memilih pasangan yang dia sukai. Sebagai ayah, beliau selalu meminta pendapat putrinya ketika hendak dilamar seseorang.
Dalam Musnad Ahmad Ibn Hanbal menyebutkan:
Rasulullah berkata kepada para putrinya, “Sesungguhnya si fulan kerap menyebut namamu”. Kemudian beliau melihat reaksi mereka. Jika mereka diam, itu pertanda mereka setuju dan pernikahan bisa segera berlangsung. Namun, jika mereka menutup tirai kamarnya, itu pertanda mereka tidak suka dan Rasul pun tidak memaksakan kehendaknya.
Selain putri-putri Nabi, perempuan sahabat juga merasakan kebebasan memilih pasangan. Di antara mereka tercatat nama Khansa’ binti Khidam dan Barirah. Kedua perempuan ini menyatakan ketidak setujuan mereka menikah dengan laki-laki yang tidak mereka sukai.
Nabi menerima keberatan mereka dan membatalkan pernikahan mereka. Dengan demikian, dalam pandangan Nabi, perempuan adalah manusia yang mempunyai hak pilih sebagaimana yang laki-laki miliki.
Hak untuk menentukan maskawin juga diberikan kepada perempuan yang hendak menikah. Dia boleh menentukan maskawin sesuai dengan keinginannya, tanpa ada batasan maksimum.
Maskawin dalam Islam merupakan hak milik pribadi perempuan, baik dalam status sebagai istri maupun mantan istri. Al-Qur’an melarang tegas laki-laki mengutak-atik atau menyerobot hak ini:
وَاِنْ اَرَدْتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍۙ وَّاٰتَيْتُمْ اِحْدٰىهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوْا مِنْهُ شَيْـًٔا ۗ اَتَأْخُذُوْنَهٗ بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (QS. an-Nisa’ (4): 20) []