• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Film

Filosofi Tas dalam Film Up In The Air

Seiring bertambah usia, kita semakin dituntut untuk menyederhanakan segala sesuatu. As we grow, all of things getting simpler.

Nadhira Yahya Nadhira Yahya
27/09/2020
in Film, Personal
0
film Up in the Air
228
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Ada pelajaran menarik dari film Up in The Air yang menyinggung soal filosofi tas. Bahwa selama hidup, terkadang manusia terlalu membawa banyak beban. Seperti saat hendak pergi, lalu kemudian kita mengisi tas dengan berbagai perlengkapan yang sebenarnya tidak perlu.

Belum lagi, fenomena “titip menitip”. Sama halnya dengan hidup kita, yang terlalu sibuk akan beban. Bukan beban diri sendiri, tapi beban situasi dan kondisi yang secara gak sadar, dititipkan oleh lingkungan kita. Berat sih, tapi sepertinya kok “harus” dibawa ya.

Berkali-kali saya menyukai dialog saat tokoh dalam film ini memberikan pidato lalu ia menyelipkan sebuah motivasi dengan mengatakan “whats in your backpack?” Analogi tersebut dilontarkannya untuk memberikan pemahaman akan kebahagiaan hidup yang semestinya bebas dari hubungan yang memberatkan dengan orang lain ataupun dengan segala sesuatu.

Jadi jika tidak perlu, untuk apa dibawa-bawa? Begitu kira-kira. Ending dari film ini pun sangat epic, ketika pada akhirnya sang tokoh berdiri di sebuah papan tujuan yang luas, melihat ke atas dan kemudian melepaskan barang bawaannya. Filosofis banget ya.

Film ini menyampaikan sebuah pesan yang dalam kepada setiap manusia sekaligus kritik terhadap kecenderungannya dalam membawa ‘segala sesuatu’. Kenapa ya kira-kira manusia seneng banget bawa beban? Film ini juga hadir dimana seluruh dunia tengah dikepung oleh konsumerisme dan materialisme yang sangat tinggi.

Baca Juga:

Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara

Membangun Kehidupan yang Sehat Dimulai dari Keluarga

Film Azzamine: Ketika Bentuk Proteksi Orang Tua Kepada Anak Perempuan Disalahartikan

Berumah Tangga adalah Seni Kehidupan

Hmm, kalau dilihat dari beberapa kemungkinan sederhananya, beban yang dibawa manusia mungkin dirasa perlu oleh kita, untuk kemudian menunjang sesuatu, karena fitrahnya manusia memang suka ‘kesempurnaan’, sehingga nggak mau ada yang tertinggal. Tapi, sudah jadi kebiasaan kita, tidak memperhatikan terhadap sesuatu hal yang kira-kira vital sama yang enggak. Jadi deh kita seringkali lupa buat memilih dan memilah suatu beban. Repot juga.

Pada dasarnya, semua orang memang pernah berapi-api. Ingin tampil mencolok, mengerjakan hal-hal yang besar, yang terbaik, tidak mau lengah dan benci jika dikalahkan. Dalam melakukan sesuatu, kita semua pernah ingin mencapai segala standar yang ada, entah untuk mendapat pengakuan dari diri sendiri, atau semua orang. Adanya faktor yang membuat manusia pernah meng’agung’kan kegengsiannya ini, yang secara nggak sadar ternyata malah membuat kita menerima begitu banyak beban.

Namun, akan ada masanya, api yang berkobar itu kian mengecil perlahan. Mungkin yang tadinya membakar segalanya, lalu meredup, karena lelah. Hingga akhirnya, hanya sebatas penerang. Sepertinya, semakin ke sini, kita sekedar melakukan hal yang perlu saja. Seiring kita bertambah usia, kita semakin dituntut untuk menyederhanakan segala sesuatu. As we grow, all of things getting simpler. Ya, termasuk dalam masalah memilih barang ‘bawaan’ itu tadi.

Ketika segala harapan dan impian yang acak menjadi lebih sederhana, dan ekspektasi yang besar kemudian terpecah menjadi kepingan-kepingan kecil, lalu kita tidak sibuk memikirkan banyak hal, maka yang terjadi adalah ketenangan dan kedamaian dalam diri, karena tidak sibuk memperhatikan beban. Justru akhirnya kita akan lebih fokus dan aware terhadap diri kita sendiri. Sadar bahwa semua sudah baik adanya.

Padahal, seringkali hukum alam sudah memberi sejumlah pertanda. Tidak jarang juga berbagai sinyal dikirimkan dan muncul dengan beberapa cara. Segalanya memberi tahu kalau manusia memang tak sanggup untuk melakukan dan meng’iya’kan segalanya. Lalu, kenapa memaksa? Seringkali kalau kita menginginkan segalanya sempurna, dari situlah kita akan mendapatkan masalah. Kita terlalu mengikat diri kita pada segala sesuatu yang padahal tidak perlu (tidak prioritas).

Intinya, tidak selamanya manusia cenderung terhadap sikap seperti itu ya teman-teman. Walaupun sikap berapi-api itu kadang bagus untuk membuat kita bersemangat, tapi apapun yang berlebihan, percaya deh, sudah pasti nggak baik juga. Jadi, mulai biasakan dari sekarang untuk tidak terlalu dalam melakukan berbagai aktivitas, nggak perlu berlebihan lah pokoknya.

Dan, inilah waktunya untuk berhenti sejenak. Selagi menyadari bahwa dibalik lajunya putaran dunia, ada jiwa juga yang perlu diberi jeda. Jadi, jangan lupa beristirahat, ya. Ingat, “We can do anything, but not everything”. Calculate the opportunity, and then cost it wisely. []

Tags: FilmFilosofiskehidupanmanusiaResensi FilmReview Film
Nadhira Yahya

Nadhira Yahya

Terkait Posts

Squid Game

Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara

3 Juli 2025
Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID