Mubadalah.id – Dalam ajaran Islam, segala bentuk kekerasan baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain adalah haram. Nabi Muhammad Saw menegaskan larangan ini dalam sabdanya:
“Diharamkan melakukan kerusakan, baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Barang siapa mencelakakan orang lain, maka ia akan Allah celakakan. Barang siapa yang mempersempit (hidup) orang lain, maka ia akan dipersempit Allah.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, Juz II, hlm. 57).
Sebaliknya, Islam menjunjung tinggi nilai kasih sayang dalam relasi sosial, terutama dalam kehidupan keluarga. Dalam sebuah hadis dari Imam at-Tirmidzi, Nabi Saw bersabda:
“Tidak termasuk golongan umatku, mereka yang tidak menyayangi yang muda, dan yang muda tidak menghormati yang tua.” (HR. at-Tirmidzi, No. 1842).
Dua prinsip utama ini, yaitu menolak kekerasan dan mengajarkan kasih sayang, sejatinya menjadi fondasi dalam menangani persoalan kemanusiaan. Terutama bagi mereka yang memegang tanggung jawab sosial para hakim, jaksa, anggota parlemen, pejabat publik, konselor, serta para pekerja sosial kemasyarakatan.
Dengan menjadikan kasih sayang dan keadilan sebagai perspektif utama dalam pembuatan kebijakan, pendampingan hukum, maupun dalam membentuk opini publik. Maka kita dapat mendorong lahirnya aturan-aturan yang lebih berpihak dan memberdayakan, terutama bagi kelompok yang rentan seperti perempuan dan anak-anak.
Kekerasan yang selama ini mengakar, baik dalam rumah tangga maupun ruang sosial yang lebih luas, hanya bisa kita kikis dengan pendekatan yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas yang luhur. Jika ini terwujud, bukan mustahil masyarakat yang damai, adil, dan sejahtera akan menjadi kenyataan bagi laki-laki maupun perempuan, bagi orang tua maupun anak-anak.
Sumber: Buku Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir.