Judul Buku : Fiqhul Usrah: Fondasi Akhlak Mulia dalam Hukum Keluarga
Penulis : Faqihuddin Abdul Kodir
Penerbit : Afkaruna.id
Tahun Terbit : Februari 2025
Tebal Halaman : xviii+292
Mubadalah.id – Berdasarkan data perceraian menurut usia perkawinan tahun 2020-2024 dari Direktorat Badan Peradilan Agama. Sebanyak 604.463 kasus perceraian yang berusia di bawah 5 tahun. Lalu yang berusia 5-10 tahun sebanyak 583.130. 11-15 tahun sebanyak 398.548. Sementara kasus yang berada di bawah seratusan ribu itu berada di usia 26-30 tahun, namun untuk usia perkawinan di atas 45 tahun hanya 1.843 kasus.
Saya sengaja menampilkan data tersebut di awal, bukan semata untuk menakut-nakuti, tapi sebagai alarm pengingat bahwa angka perceraian di Indonesia masih terbilang tinggi untuk usia perkawinan yang relatif pendek.
Ada sebuah buku menarik, yang Faqihuddin Abdul Kodir (Selanjutnya: Kang Faqih) tulis bertajuk Fiqhul Usrah: Fondasi Akhlak Mulia dalam Hukum Keluarga. Buku ini hadir di tengah fenomena menjamurnya virus perceraian.
Betapapun buku ini lahir bukan melalui motif tersebut, namun tetap saja kehadiran buku ini bak hujan yang turun setelah kemarau panjang. Memberikan kesegaran, dan kebaruan perspektif terkait hukum keluarga yang terkesan begitu-begitu saja.
Trilogi Akhak
Keunikan karya kang Faqih ialah bentuk titik tekan yang tersaji, segala bentuk seluk-beluk persoalan rumah tangga hadir dengan penanganan berbasis akhlak mulia melalui konsepsi Ahmad Mubarak (w. 181 H).
Menurutnya akhlak memiliki 3 komponen penting, mewujudkan relasi yang membuat nyaman (basth al-wajh), mewujudkan kebaikan (badzl al-ma’ruf), dan menolak segala hal yang menyakitkan (kaff al-adza). Dengan ketiga unsur penting ini, rumah tangga yang dibangun meraih tujuan idealnya, yakni sakinah mawaddah warahmah.
Berbeda dengan kitab-kitab Fiqh keluarga yang ulama terdahulu (mutaqaddimin) tulis. Buku ini tidak untuk menggantikan tapi untuk melengkapi apa yang kurang. Buku fiqh keluarga yang ditulis Kang Faqih ini menghadirkan fenomena sosial berdasar realita lapangan yang hidup di tengah-tengah kita.
Uniknya, beliau selalu mengedepankan aspek akhlak mulia dan aspek maslahah melalui pendekatan mubadalah (kesalingan). Yang menekankan relasi yang bermartabat, menjunjung tinggi keadilan, dan kemaslahatan bersama, baik laki-laki maupun perempuan tanpa menafikan peran salah satunya.
Cakupan Pembahasan
Buku ini terdiri dari tujuh bab. Pertama, pendahuluan yang mencakup pembahasan definisi fiqhul usrah itu sendiri dan aspek-aspek akhlak yang mengitarinya.
Kedua, memuat sumber-sumber akhlak mulia dalam hukum keluarga yang diperas dari Alquran, hadits, al-aqwal al-’ulama’ dari tradisi fiqh maupun ushul fiqh serta disiplin ilmu akhlak dan filsafat sekaligus.
Ketiga, mencakup bagaimana relasi antara laki-laki dan perempuanyang bertumpu pada prinsip akhlak mulia.
Keempat, Dimensi akhlak dalam persiapan perkawinan yang mencakup pembiasaan akhlak sejak dini, proses ta’aruf, khitbah, hingga terkait kafaah.
Kelima, dimensi akhlak dalam prosesi akad nikah, mulai dari prinsip-prinsipnya dari perspektif fiqih, perwalian, persaksian, mahar, hingga proses walimahan.
Keenam, Dimensi akhlak dalam kehidupan relasi pasangan suami istri. Secara khusus bab ini menyorot hak dan kewajiban dalam relasi suami istri dalam menjalankan biduk rumah tangga. Dan bab terakhir sebagai penutup membahas cara mengelola dinamika keluarga dan rumah tangga.
Secara garis besar, topik pembahasan dalam setiap sub bab bertumpu pada pengamalan akhlak mulia dalam menjalankan biduk rumah tangga. Dengan harapan terwujudnya keluarga yang senantiasa menghadirkan kemaslahatan (badzl al-ma’ruf) dan menjauhkan dari segala yang buruk (kaff al-adza) untuk mencapai keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.
Realita Lapangan Sekitar
Banyak fenomena sosial yang tersuguhkan dalam setiap babnya. Misalnya pembahasan mengenai perwalian. Secara akhlak seharusnya yang menjadi wali adalah mereka yang secara nyata bertangggungjawab memberikan perlindungan dan memiliki kemampuan untuk mengembannya. Minimal bukanlah yang sebaliknya.
Dengan kata lain, seorang laki-laki atau ayah yang tidak bertanggungjawab atas putrinya, meninggalkannya tanpa peduli, apalagi melakukan kekerasan terhadapnya, bahkan melakukan pemerasan untuk peran perwalian yang putrinya minta, maka orang semacam itu sudah kehilangan haknya untuk menjadi wali. (hal. 115-116).
Tak mengherankan bilamana Mazhab Maliki mendefiniskan perwalian sebagai pertanggunan (kafalah), dan membolehkan seorang ibu menjadi wali putrinya. Dengan catatan yang melafalkan akad bukan dirinya melainkan diwakilkan kepada orang lain berjenis kelamin laki-laki (hal. 113) Termasuk pendapat mazhab Hanafi yang nyaris senada, bahkan membolehkan perempuan dewasa melafalkan akad nikah atau menikahkan orang lain.
Tidak banyak catatan saya untuk buku ini kecuali terkait ejaan. Ada beberapa typo dan kesalahan-kesalahan ejaan yang ada di dalamnya. Meski bukan kesalahan, pada cover yang menyajikan kaligrafi “hunna libasun lakum, wa antum libasun lahun”.
Untuk mengeja arabnya masih terkesan sulit dan butuh usaha lebih, sehingga pesan yang terkandung tidak tersampaikan secara baik kecuali nilai estetiknya saja. Sangat disayangkan pesan Alquran dalam membina rumah tangga itu terabaikan begitu saja.
Terlepas dari kekurangan yang bersifat teknis itu, buku ini tetap layak dibaca oleh siapapun dari kalangan apapun, baik yang hendak membangun rumah tangga, maupun yang tengah menjalaninya, termasuk juga pemangku kebijakan dalam ranah hukum keluarga seperti petugas KUA maupun lainnya.
Sungguh buku ini laksana jeritan nurani yang terdokumentasi, yang tidak hanya membisikkan apa yang mesti kita lakukan, namun juga harus kita lakukan untuk kebaikan bersama. []