Mubadalah.id – Sejarah perempuan belum mendapat banyak tempat dalam Sejarah Nasional Indonesia (SNI). Istilahnya, sejarah nasional kita masih terlalu androsentris; berpusat pada aktivitas laki-laki yang membuat sejarah perempuan cenderung terabaikan. Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia, yang akan pemerintah lakukan melalui Kementerian Kebudayaan, bukan tidak mungkin juga akan mengabaikan, atau gagal menyajikan, banyak sejarah perempuan.
Penulisan ulang sejarah nasional Indonesia sebenarnya bukan hal yang baru. Pada tahun 2008, terbit SNI edisi pemutakhiran sejarah nasional. Sebelumnya, juga ada buku SNI sampul biru yang merupakan edisi cetakan tahun 1981-1983. Cetakan pertama pada tahun 1975 bersampul hijau. Selain itu, sepanjang 2002 hingga 2012, para sejarawan juga menggarap buku sejarah nasional yang terpisah dari SNI. Proyek ini menghasilkan buku babon dengan judul Indonesia dalam Arus Sejarah.
Perihal Penulisan Ulang Sejarah Indonesia
Saat ini, pemerintah akan melakukan penulisan ulang sejarah Indonesia. Proyek ini rencananya akan menghasilkan buku SNI 10 jilid. Jilid I sejarah awal Indonesia dan asal-usul masyarakat Nusantara. II Nusantara dalam jaringan global: hubungan dengan India dan Cina. III Nusantara dalam jaringan global: hubungan dengan Timur Tengah.
IV interaksi dengan bangsa Barat: persaingan dan kerjasama. V respon masyarakat terhadap penjajahan. VI pergerakan kebangsaan dan bangkitnya semangat merdeka. VII perang kemerdekaan Indonesia. VIII masa-masa sulit dan ancaman persatuan bangsa. IX era Orde Baru (1967-1998). Dan, X masa Reformasi (1999-2024). Berita lain menyebut 11 jilid; XI faktaneka dan indeks.
Kerangka penyusunan itu dapat kita bilang sangat berbeda dengan SNI edisi sebelumnya, yang sebanyak 6 jilid. Penyusunan keenam jilid SNI sebelumnya berdasarkan pada periodesasi sejarah. Jilid I zaman prasejarah. II zaman sejarah kuno. III pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia (1600-1800). IV sejarah Indonesia pada abad 19 (1800-1900). V kebangkitan nasional dan masa akhir Hindia Belanda antara tahun 1900-1942. Dan, VI zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia sejak tahun 1942.
Kerangka SNI yang pemerintah rencanakan itu sebenarnya lebih dekat dengan susunan buku Indonesia dalam Arus Sejarah atau buku SNI 9 jilid. Jilid I periode prasejarah. II kerajaan Hindu-Buddha. III kedatangan dan peradaban Islam. IV kolonisasi dan perlawanan. V masa pergerakan kebangsaan. VI perang dan revolusi. VII pascarevolusi. VIII periode Orde Baru dan Reformasi. Dan, IX faktaneka dan indeks.
Proses cetak ulang, pemutakhiran, maupun penulisan ulang sejarah pada dasarnya tidak lepas dari perkembangan kajian sejarah Indonesia itu sendiri. Dan, memang harus berdasarkan pada perkembangan studi sejarah, bukan kepentingan penguasa.
Dalam hal ini, penulisan sejarah perempuan Indonesia telah banyak berkembang sejak edisi SNI 2008 dan 2012. Maka, jika benar niat hati pemerintah ingin menyajikan sejarah bangsa yang lebih utuh, penulisan ulang sejarah Indonesia harusnya turut menjadi momen untuk sejarah perempuan mendapat tempat dalam SNI.
Sejarah Perempuan dalam SNI, Sejauh Ini
Tidak banyak narasi tentang perempuan Indonesia yang dapat kita temukan dalam SNI. Penulisan SNI sejauh ini masih dalam bahasan sejarah yang androsentris. Tema politik dan perang menjadi topik besar dalam buku ini.
Arena yang mana kebanyakan figur sentralnya adalah laki-laki. Meski kita tahu, berdasarkan kemajuan sejarah perempuan akhir-akhir ini, banyak juga perempuan Indonesia yang mewarnai medan politik dan perang, namun SNI tidak banyak menyajikan sejarah mereka.
Pada jilid III edisi 1981, misalnya, tidak ada narasi yang menyinggung perempuan Aceh pada pembahasan tentang “Malaka dan Aceh Menghadapi Portugis dan Belanda”. Padahal, perempuan Aceh, seperti Laksamana Malahayati, punya andil dalam perlawanan melawan penjajah, namun narasi sejarah yang masih sangat androsentris lebih banyak menceritakan konflik antara figur laki-laki.
Pembahasan bantuan Jepara atas Malaka juga hanya menyebut nama Pati Unus, padahal Ratu Kalinyamat, sebagai Rainha de Jepara (Ratu Jepara), punya andil dalam mengirim bantuan armada ke Malaka untuk melawan Portugis. Figur yang mendapat banyak panggung dalam pembahasan ini adalah Sultan Iskandar Muda.
Ya, kita tahu bahwa ia merupakan Sultan Aceh yang gemilang. Sama halnya, kita tahu juga bahwa banyak perempuan yang punya andil dalam kegemilangan Aceh. Namun, berbeda nasib, sejarah para perempuan itu tidak mendapat tempat dalam SNI.
Penambahan Sejarah Perempuan dalam SNI
Jilid III edisi 2008 bertambah bab tentang pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam. Pada pembahasan ini, kita sudah dapat menemukan narasi tentang perempuan Aceh. Nama Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah, Sri Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah, Sultanah Inayat Zakiatuddin Syah, dan Sulatanah Kamalat Syah, muncul dalam SNI edisi ini, meski dalam narasi sejarah yang masih amat sangat terbatas.
Hal lain yang perlu kita apresiasi dari SNI 2008, dalam hal penulisan sejarah perempuan, adalah pada jilid V Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda bertambah pembahasan “Gerakan Perempuan dan Pemuda”. Ini secara tidak langsung merupakan pengakuan bahwa gerakan-gerakan perempuan, seperti Kongres Perempuan Indonesia, merupakan bagian penting dari sejarah kebangkitan nasional kita.
Meski sudah menghimpun beberapa her-stories, SNI edisi 2008 belum dapat dikatakan telah memberi tempat yang cukup bagi sejarah perempuan. Banyak pembahasan yang kosong dari sejarah perempuan, bukan karena sejarahnya tidak ada, melainkan karena memang tidak mendapat tempat.
Pembahasan kerajaan-kerajaan pada jilid III, misalnya, tidak sama sekali menyinggung para raja perempuan maupun ratu. Bukan karena tidak ada perempuan dalam arena ini, melainkan karena bangunan sejarah yang masih cenderung androsentris tidak dapat sepenuhnya menyajikan sejarah perempuan dalam SNI.
Melampaui Androsentris, bukan ke Ginosentris, Tapi ke Bisentris Histori
Penulisan ulang sejarah Indonesia, jika masih cenderung androsentris, saya kira sama saja, juga akan gagal menyajikan SNI yang menjelaskan sejarah perempuan. Kecenderungan sejarah yang androsentris perlu bergeser pada kerangka sejarah yang bisentris histori. Jadi, bukan ke ginosentris, di mana sejarah menjadi terlalu berpusat pada perempuan, melainkan ke bisentris, di mana sejarah berpusat pada keduanya.
Adanya kondisi SNI yang belum dapat menampilkan sejarah perempuan secara lebih utuh, boleh jadi bukan hanya tentang niat untuk menyajikan sejarah perempuan. Melainkan, penyusunannya tidak dalam kerangka yang dapat menyajikan sejarah perempuan. Penyusunannya masih cenderung androsentris; berpusat pada laki-laki atau pada figur-figur elit tertentu dan gagal melihat kelampauan orang-orang sekitarnya.
Jilid IV edisi 2008, misalnya, menggunakan judul “Pangeran Diponegoro” pada pembahasan Perang Jawa 1825-1830. Dari judulnya, jelas kerangka sejarah berpusat pada Pangeran Diponegoro. Ya, saya tahu, dan tidak memungkiri, bahwa Pangeran Diponegoro merupakan pemimpin masyarakat Jawa dalam perang ini. Namun, dalam konteks penyajian sejarah secara lebih utuh untuk SNI, apakah Perang Jawa hanya perjuangan seorang Pangeran Diponegoro? Tentu tidak, banyak figur lain yang terlibat.
Jilid III edisi 2012 sudah menggunakan judul “Perang Jawa”. Ini mengindikasikan paradigma yang tidak lagi berpusat pada satu tokoh dalam menarasikan sejarah. Sayangnya, tidak ada penjelasan tentang perjuangan para perempuan, seperti perlawanan Nyi Ageng Serang, dalam pembahasan ini. Tidak seperti judulnya, isinya berisi narasi sejarah yang masih terlalu androsentris seputar perjuangan Pangeran Diponegoro dan banyak figur laki-laki lainnya.
Bisentris histori menghendaki konstruksi sejarah yang tidak hanya memotret kepahlawanan laki-laki, namun juga mendedahkan posisi perempuan dalam sejarah. Pada Perang Jawa, misalnya, kita tahu ada sosok perempuan bernama Nyi Ageng Serang yang juga punya kontribusi besar dalam perjuangan ini.
Bukan Hanya Menulis Sejarah Para Elit
Kontruksi sejarah yang melampaui androsentris, atau bisentris histori, tidak berhenti pada sejarah perempuan di garis depan dan sejarah sekitar elit kekuasaan. Jika hanya sampai pada sejarah kepahlawanan perempuan di garis depan, maka her-story, dan juga SNI, akan terjebak pada nostalgia heroisme belaka.
Paradigma bisentris histori memandang penting untuk menyajikan sejarah dengan melihat aktivitas keduanya; laki-laki dan perempuan, orang elit dan orang biasa, penguasa dan rakyat, para pahlawan di garis depan dan pahlawan di garis belakang.
Artinya, masih mengambil contoh Perang Jawa, dalam kerangka sejarah yang bisentris tidak hanya mencatat perjuangan Nyi Ageng Serang, namun juga menjelaskan nasib dan perjuangan perempuan yang mempertahankan kampung ketika perang.
Keadaan dan perjuangan mereka bertahan di masa-masa sulit perjuangan melawan penjajah. Pendekatan ini memungkin cara baru melihat figur pahlawan, yang tidak selalu tentang orang yang memimpin pasukan, mereka yang bertahan di garis belakang, yang memasak menyediakan perbekalan, juga termasuk pahlawan-pahlawan dalam perjuangan melawan penjajah.
Pada titik ini, bisentris histori mengendaki sejarah di mana realitas orang-orang kecil, dalam konteks her-story seperti perjuangan hidup perempuan akar rumput, perlu mendapat tempat dalam penulisan sejarah nasional Indonesia.
Sebab, sejarah tidak hanya tentang aktivitas politik dan perjuangan orang besar, apalagi hanya tentang tone positif untuk kepentingan narasi penguasa, kelampauan mereka yang selama ini terabaikan juga termasuk masa lalu yang penting dalam keutuhan sejarah bangsa Indonesia. []