Mubadalah.id – Kabar terbaru dari Palu, Sulawesi Tengah, seorang pria berusia 42 tahun tega membakar istrinya sendiri hingga tewas, dugaannya karena cemburu gara-gara warung sang istri ramai dikunjungi sopir.
Tragedi ini terjadi di depan warung korban dan berakhir dengan kematian sang istri akibat luka bakar serius. Kasus ini menjadi potret kelam bagaimana cemburu, akibat dugaan perselingkuhan, bisa berubah menjadi kekerasan mematikan.
Kasus serupa banyak kita jumpai di sekitar atau di berbagai laman berita. Di luar kejadian horor seperti di atas, secara teori, usai badai cemburu akibat (tuduhan) perselingkuhan, pasangan kerap berhadapan dengan dua situasi: berpisah atau tetap bersama dengan penyertaan rasa sakit.
Dalam konteks pernikahan, islah adalah pilihan yang dianjurkan agama (Annisa, 4:128). Oleh sebab itu, pilihan ini yang kita perlu diskusikan. Memperbaiki hubungan usai ujian tuduhan perselingkuhan atau cemburu menuntut keberanian untuk menghadapi luka-luka yang tertinggalkan.
Rasa bersalah, ketakutan akan kehilangan, ketidakcakapan membina hubungan, dan kesediaan tulus menerima kembali pasangan. Jika memilih bertahan, pasangan akan membutuhkan waktu untuk memproses berbagai luka tersebut.
Rasa Bersalah
Perasaan bersalah tidak hanya terasa oleh pihak yang kita cemburui, tetapi juga bisa menyasar pihak yang cemburu. Rasa bersalah ini bisa muncul dari berbagai sisi—karena telah melukai hati pasangan, karena reaksi yang berlebihan, atau karena menyadari bahwa kecemburuan yang muncul lebih terpicu oleh ketakutan dan prasangka daripada fakta.
Jika rasa bersalah ini kita biarkan mengendap tanpa terolah, ia bisa berubah menjadi penyesalan yang membeku dan menghalangi pemulihan hubungan. Sebaliknya, ketika terakui, kita pahami, dan terungkapkan secara tulus, rasa bersalah bisa menjadi pintu pemaafan yang tulus.
Ketika perasaan cemburu muncul, hal ini juga berimplikasi bahwa pasangan punya alternatif hubungan dengan orang lain. Kondisi ini memicu ketakutan akan kehilangan. Ketakutan ini sering hadir dalam bentuk kecemasan berlebihan. Membayangkan pasangan jatuh hati pada orang lain atau hubungan yang kita bina malah dihancurleburkan.
Rasa takut tersebut bisa membuat seseorang terjebak dalam sikap posesif, pengawasan ketat, atau tuntutan yang mengekang, yang justru malah berpotensi memperburuk hubungan. Untuk memulihkannya, ketakutan ini perlu kita kenali sebagai bagian dari kerentanan manusia, bukan sebagai alasan untuk mengendalikan pasangan.
Sebaliknya, pasangan yang kita cemburui (jika memang terbukti bersalah) perlu menyadari bahwa ada sikap yang harus berubah. Mengelola perasaan ini berarti menumbuhkan rasa percaya.
Akibat Cemburu
Hambatan selanjutnya yang harus kita hadapi adalah ketidakcakapan dalam membina hubungan. Komunikasi dan mengelola konflik adalah keahlian (skill), yang kita butuh belajar. Sayangnya, tidak banyak orang yang terlatih dengan manejemen konflik.
Akibatnya, cemburu yang seharusnya bisa terurai lewat dialog malah membesar menjadi kekerasan atau pendiaman (silent treatment—dalam ajaran agama terbatasi maksimal 3 hari), yang dapat memutus koneksi emosional.
Memperbaiki komunikasi pascabadai cemburu membutuhkan kemauan untuk membangun keterampilan baru. Mendengar tanpa menghakimi, berbicara tanpa menceramahi atau membandingkan, menjaga kerahasiaan keburukan pasangan, serta menempatkan kepentingan bersama di atas ego pribadi.
Terakhir, kesediaan tulus untuk menerima kembali pasangan setelah badai cemburu membutuhkan hati yang lapang dan kemauan untuk memandang pasangan bukan dari luka yang pernah ia timbulkan, tetapi dari potensi kebaikan yang masih bisa terbangun bersama.
Proses ini membutuhkan keberanian untuk menghadapi ingatan terhadap peristiwa (tentu saja selama otak masih waras, kita akan terus mengingat kejadian yang penting itu) dan rasa sakit yang ditimbulkannya.
Dalam bingkai mubadalah, menerima kembali pasangan berarti mengakui bahwa kesalahan bisa siapa saja yang melakukannya. Dengan cara ini, kita bisa memproyeksi, mungkin di masa depan, pelakunya adalah kita (bisa dalam bentuk lain), dan kala itu kita sangat membutuhkan maaf dari pasangan. Tanpa kesediaan tulus ini, kualitas hubungan akan jalan di tempat, dan perbaikan hubungan tidak pernah benar-benar terjadi. []