“Welcome Back Mbak Nana!”
Mubadalah.id – Kita perlu menamai ironi ini: ketika Najwa Shihab kembali “keras”, dalam arti tegas dan lantang pada isu publik, muncul komentar yang beruapaya menidurkan suaranya dengan dalih agama: “Najwa kan masih dalam masa ‘iddah, “, “Mbak Nana udah selesai masa ‘iddahnya?” Seolah-olah ‘iddah adalah borgol yang memaksa perempuan berhenti berkiprah.
Sebelumnya, kita pastikan faktanya ya: suami Najwa Shihab, Ibrahim Sjarif bin Husein Assegaf, wafat pada 20 Mei 2025. Ini realitas duka yang patut kita hormati, bukan dijadikan amunisi untuk menagih bungkam.
Apa itu ‘Iddah dan hukumnya?
Sebagai muslimah, kita tahu ‘iddah adalah bagian dari syariat. Al-Qur’an menegaskannya di surat Al-Baqarah ayat 234: Perempuan yang ditinggal wafat suami hendaknya berdiam selama empat bulan sepuluh hari. Tapi, perlu kita tinjau dulu makna dari “berdiam” di sini. Bisa jadi berdiam bukan berarti mematikan seluruh fungsi hidup, kan?
Bagi perempuan hamil, ‘iddah berakhir saat melahirkan (Q.S. Ath-Thalaq 65:4). Hal ini Nabi praktikkan pada kasus Suba’iah al-Aslamiyyah. Ia menikah kembali segera setelah melahirkan, meski suampinya baru wafat. Artinya, nash memberi ketentuan dengan nuansa, bukan aturan sapu jagat.
Riwayat tentang Subai’ah sahih oleh al-Bukhari dan Muslim. Narasinya bahkan memperlihatkan bagaimana sebagaian orang di sekitar Subai’ah sempat “menggurui” dengan dalil empat bulan sepuluh hari, tetapi verifikasi kepada Nabi meluruskan. Yakni untuk perempuan hamil, patokannya adalah kelahiran. Ini penting: kebenaran agama tidak kita ukur oleh volume komentar, melainkan oleh akurasi dalil dan konteksnya.
Jadi, boleh gak sih perempuan keluar rumah saat ‘iddah?
Di sinilah perdebatan sering kita sederhanakan. Sebagian komentar memperlakukan ‘iddah sebagai hukuman rumah, padahal khazanah fiqih memberikan ruang “keluar untuk kebutuhan (hajah)” terutama pada siang hari, dan kembali bermalam di rumah ‘iddah.
Hadis Jabir tentang bibinya yang dimarahi saat hendak memetik kurma lalu mendapat izin dari Nabi, “silakan, barangkali engkau bisa bersedekah atau berbuat baik”, adalah landasan kuat kebolehan keluar demi kebutuhan nyata.
Mari kita lihat fatwanya:
Institusi fatwa yang otoritatif juga menegaskan arah yang sama. Dar al-Ifta’ Mesir menyatakan: keluar rumah saat ‘iddah haram kecuali karena kebutuhan/niscaya, dan ukuran kebutuhan kita takar sewajarnya, bahkan menegaskan “hanya ia yang bisa mengukur kebutuhannya karena ia yang menanggungnya.”
Otoritas ifta’ Yordania merumuskan kaidah serupa: boleh keluar untuk hajat (berobat, urusan administrasi, mencari nafkah) dengan menjaga adab-adab ihdad (berkabung). Ini bukan celah, ini kasih sayang syariat pada realitas hidup yang terus berjalan.
Dalam mazhab-mazhab fikih, coraknya berdekatan: Maliki secara eksplisit membolehkan keluar pada siang hari untuk hajat, termasuk bekerja. sementara Hanafi, Syafi‘i, Hanbali memberi koridor dengan penekanan “tinggal malam di rumah ‘iddah.” Intinya bukan larangan mutlak, melainkan disiplin tujuan: keluar untuk keperluan, bukan untuk hura-hura.
Konteks Indonesia juga mengenal rujukan normatif: Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur masa ‘iddah dan ihdad, sementara UU Perkawinan/PP terkait merumuskan durasi (umumnya 130 hari untuk kematian). Memang KHI tidak mendetailkan “boleh-tidaknya keluar,” sehingga praktiknya kembali pada fiqih dan fatwa, yang, seperti di atas, memberikan ruang hajat.
Tapi di dunia nyata, tafsir ini sering berubah bentuk jadi tekanan. Laki-laki yang aktif keluar rumah kita anggap wajar, tapi perempuan yang hadir di forum publik saat ‘iddah langsung kita curigai “melanggar syariat”. Pertanyaannya: kenapa kita lebih cepat membatasi perempuan daripada memahami kebutuhannya?
Lalu, “Urgensi keluar” itu seperti apa?
Pertanyaan kunci: apakah “berbicara di ruang publik” termasuk hajat? Dalam kacamata maqasid (tujuan-tujuan syariat), menjaga agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan menuntut hadirnya suara publik yang mendorong keadilan, mencegah kerusakan, dan melindungi yang lemah.
Bagi jurnalis/pendidik/aktivis, panggilan menjalankan fungsi kontrol sosial bukan foya-foya, ia bagian dari kerja menjaga amanah publik. Dalil Jabir (“barangkali engkau bersedekah atau berbuat baik”) dibaca banyak ulama sebagai pengakuan atas maslahah, keluarnya seseorang karena ada kebaikan yang lahir darinya.
Najwa hadir di ruang publik bukan untuk pesta. Ia berbicara tentang demokrasi, keadilan, hak warga, dan isu-isu yang jarang tersentuh oleh media arus utama. Kalau dia diam, siapa yang akan menanyai penguasa? Kalau dia mundur, siapa yang akan membuka pintu dialog bagi publik?
Kesedihan pribadi dan panggilan profesi bisa berjalan beriringan kok. Menjalani ‘iddah tidak berarti berhenti berbuat baik. Justru di saat duka, suara yang menuntut kebaikan akan terdengar lebih jujur, karena lahir dari hati yang telah diuji.
Mungkin inilah yang sulit diterima sebagian orang: perempuan yang tetap tegak, walau badai menghantam. Perempuan yang tidak menunggu “izin nyaman” dari publik untuk bersuara. Dan setiap kali Najwa berdiri di panggung, ia tidak hanya bicara untuk dirinya, tapi untuk semua perempuan yang pernah disuruh pulang, diam, atau tunduk. Iya?
“Tapi ‘iddah itu wajib!”
Betul. Tidak ada yang menawar kewajiban ‘iddah dan adab ihdad. Perdebatan kita bukan pada apakah ‘iddah ada, melainkan bagaimana menjalankannya dengan adil.
“Najwa is back” dan kenapa itu kabar baik
Kembalinya Najwa, dengan segala kedukaan yang belum jauh. adalah pelajaran hening bahwa duka dan tanggung jawab publik bisa berjalan berdampingan, tanpa menista yang satu atau yang lain. Ia memperlihatkan etika hadir: tidak foya-foya, tidak pesta, tapi tetap menjalankan kerja yang berpotensi menolak kezaliman dan menguatkan warga.
Ini bukan pembatalan ‘iddah, ini justru pembacaan ‘iddah yang setia pada ruhnya: menghormati kehilangan tanpa mematikan kemanusiaan dan kemaslahatan.
Dan jika ada yang terus ingin “merumahkan” suara perempuan: ingatlah bahwa Nabi sendiri mengizinkan perempuan dalam ‘iddah untuk keluar demi kebaikan, “barangkali engkau bersedekah atau berbuat baik.” Jika pintu untuk sedekah dan kebaikan terbuka, mengapa pintu untuk membela yang lemah dan menegakkan keadilan mesti ditutup?
Jadi, mari kita jaga keseimbangan: hormati syariat, tapi jangan biarkan tafsir sempit jadi alat membungkam. ‘Iddah adalah masa menjaga, bukan masa menghilang. Dan Najwa, seperti banyak perempuan lain, membuktikan bahwa kesetiaan pada agama dan keberanian di ruang publik bisa berjalan bersama. []