“Kok uang panai’ di Bugis mahal banget, sih? Emang perempuan di sana ‘dihargai’ segitu, ya?”
Mubadalah.id – Pertanyaan ini acapkali saya dapat dan terima tatkala merantau di tanah Jawa. Terutama pada saat mengetahui kalau saya berdarah Bugis. Bugis sama dengan panai, dan panai itu mahal. Keduanya saling melekat, apalagi belakangan kabar berita mengenai peristiwa mahalnya Panai sempat pernah diviralkan.
Mahalnya biaya uang Panai dengan angkanya yang fantastis seringkali ternilai sebagai ajang komodifikasi perempuan. Semakin seorang calon pengantin laki-laki menyediakan panai yang tinggi, maka ia dengan mudah mendapat perempuan bugis yang ia inginkan.
Kondisi ini rentan membuat stigma perempuan Bugis yang materialistik. Lebih jauh, pernikahan Bugis dengan panai-nya mendapat pelabelan sebagai bentuk komersialisasi atas perkawinan.
Pemahaman memadai bagi akar kesejarahan Panai di dalam peradaban Bugis pada satu sisi menjadi penting, namun bagaimana menginternalisasikan spirit mubadalah dalam tradisi Panai menjadi kebutuhan fondasional bagi ruang perjumpaan tradisi lokal dan keadilan gender.
***
Panai kita sebut dalam istilah Bugis dengan dui menre’ atau uang naik. Ia semacam pemberian persiapan lamaran calon pihak laki-laki kepada keluarga perempuan dengan kategori dan jumlah tertentu berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Karena telah berjalan secara turun-temurun, Panai menjadi ikatan kultural yang terinternalisasi secara kolektif bagi orang-orang Bugis.
Pada mulanya, Panai berkembang di abad XVII pada masa kerajaan Gowa-Tallo. Di era ini, penggunaan Panai secara terbatas di kalangan keluarga kerajaan dan bangsawan Bugis-Makassar. Tujuannya, sebagai bentuk perlindungan dan penghormatan bagi keluarga kerajaan dan bangsawan di dalamnya.
Seiring masuknya penjajahan Belanda di Nusantara, pun yang terjadi di tanah Bugis, Panai mulai diadakan secara luas dengan tujuan perlindungan martabat perempuan Bugis agar tidak gampang menjadi alat kolonialisasi oleh pihak penjajah.
Tatkala masuk fase islamisasi di Bugis, Panai tetap mendapat kedudukan penting bagi tradisi Bugis. Terjadi proses akulturasi budaya pada tahap ini. Artinya, yang utama dan wajib tetaplah mahar, dan Panai dianggap sebagai pelengkap di dalamnya.
Sejarah Uang Panai
Dari perjalanan sejarahnya, Panai punya tujuan mendasar sebagai penghormatan dan perlindungan terhadap perempuan dan keluarga di Bugis, namun belakangan terjadi pergeseran Panai yang semakin menjauhkan tradisi ini dari tujuan dasarnya.
Pergeseran itu berlangsung pada saat menentukan nominal Panai secara sepihak karena pertimbangan gengsi maupun status sosial –gelar kebangsaan, strata pendidikan maupun status pekerjaan. Di tengah perkembangan teknologi saat ini, kecenderungan orang semakin membutuhkan validasi, dan Panai berpotensi digunakan untuk alasan itu.
Film besutan Asri Sani & Halim Gani (Uang Panai, 2016), cukup terang menggambarkan realitas betapa penentuan nominal Uang Panai secara sepihak hanya akan berakhir mendatangkan mudharat bagi kedua belah pihak.
Selain itu, pergeseran juga terpengaruhi oleh sistem nilai Sirri’ yang berlangsung lama di dalam peradaban orang Bugis. Sirri’ mengacu pada konsep keberhargaan, martabat, rasa malu, yang diyakini oleh orang bugis, salah satunya melalui praktik pernikahan. Namun, pernikahan yang seperti apa dan bagaimana, inilah yang mengandung biasnya tersendiri.
Pada satu sisi, Sirri’ memang menjadi identitas budaya orang bugis, yang pada sisi lain, ia juga menjadi pemicu atas berlangsung konstruksi budaya yang mendomestikasi perempuan Bugis, baik dalam perannya sebagai individu dan komunitas di masyarakat.
Membaca Ulang Tradisi
Perspektif mubadalah—sebagaimana KH Faqihuddin Abdul Kodir sampaikan—mengajak kita membaca ulang tradisi dengan berpihak pada pihak yang rentan. Dalam isu gender, yang sering berada di posisi rentan adalah perempuan. Pembacaan Mubadalah tidak berhenti pada seruan “adil untuk semua,” tapi aktif membongkar praktik budaya yang melenceng dari tujuan maslahatnya, lalu mengembalikannya ke nilai kesalingan yang sejati.
Dalam konteks uang panai’, posisi berpihak itu jelas: perempuan kerap menjadi sasaran stigma. Mereka dicap matre, materialistik, bahkan dianggap “memanfaatkan” pernikahan untuk keuntungan keluarga.
Padahal, jika kita tarik ke akar ‘urf-nya, uang panai’ adalah simbol penghormatan. Ia hadir untuk menunjukkan keseriusan pihak laki-laki, membantu meringankan biaya resepsi keluarga perempuan, dan mengikat tali silaturahmi antar keluarga. Bukan untuk memperjualbelikan perempuan atau sekadar ajang gengsi.
Pada 2022, MUI Sulawesi Selatan mengeluarkan fatwa mengenai uang panai’ yang dibolehkan selama tidak memberatkan, tidak menjadi syarat sah nikah, dan tidak dijadikan permainan. Dalam bahasa kaidah ushul fiqh, Islam memberi ruang bagi adat ini selama tujuannya menjaga kehormatan dan mempererat hubungan sosial, bukan menekan salah satu pihak.
Titik Temu
Di sinilah titik temunya dengan mubadalah. Uang panai’ yang kembali ke makna asalnya justru melindungi perempuan. Ia memberi ruang negosiasi yang setara, memastikan kesepakatan terjadi dengan kerelaan kedua belah pihak, dan menjadi sarana penghormatan sosial. Laki-laki menunjukkan keseriusan dan komitmen, sementara perempuan menjaga kehormatan keluarganya tanpa memeras atau merendahkan pihak lain.
Untuk mengubah stigma negatif dan memulihkan makna uang panai’, kita bisa memulai dengan tiga prinsip pembacaan ulang. Pertama, kenali sejarah dan niat awalnya. Uang panai’ dulunya adalah bentuk partisipasi pihak laki-laki dalam hajatan keluarga perempuan. Ia lahir dari semangat gotong royong dan penghormatan, bukan transaksi.
Kedua, bedakan nilai dan penyimpangan. Yang layak kita kritik adalah praktik yang melampaui batas—permintaan berlebihan, gengsi yang memaksa, atau niat pamer—bukan adatnya. Nilai asli yang luhur harus terpisahkan dari perilaku yang menyimpang.
Ketiga, menggunakan tolok ukur kesalingan. Apakah tradisi ini memberi manfaat yang adil untuk semua pihak? Ada ruang untuk bernegosiasi tanpa tekanan? Apakah tujuan akhirnya maslahat bagi kedua belah pihak?
Dengan pembacaan mubadalah, uang panai’ bukan sekadar warisan budaya yang kita pertahankan, tetapi mekanisme sosial yang bisa memperkuat relasi kesalingan. Memperbaiki praktiknya jauh lebih bijak daripada terus meneruskan menstigmanya, karena di balik nominalnya tersimpan nilai penghormatan dan perlindungan yang jika kita jalankan dengan benar, selaras dengan prinsip keadilan Islam. []