Mubadalah.id – Di antara pertanyaan dasar yang penting dikemukakan berkaitan dengan upaya kita merekonstruksi wacana menyusui dalam fikih adalah apakah menyusui itu hak anak ataukah hak ibu? Kewajiban ayah ataukah kewajiban ibu?
Lalu, siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap jalannya proses penyusuan sehingga baik anak (al-radi’) maupun ibu (al-murdi’ah) terjamin hak penyusuannya?
Dalam literatur fikih, jawaban atas pertanyaan di atas sangat beragam. Sebagaimana watak dasar fikih yang tak pernah tunggal, dalam kasus ini pun fikih menyediakan berbagai jawaban dan argumentasi yang lengkap.
Ada yang mengatakan sebagai kewajiban ibu, ada yang mengatakan sebagai hak anak, dan ada juga yang menyatakan hak ibu. Semua pendapat memiliki argumentasinya sendiri.
Ahmad Mushthafa al-Maraghiy menjelaskan dalam kitab tafsirnya, para ahli hukum Islam (Islamic jurists) bersepakat bahwa menyusui dalam pandangan agama hukumnya wajib bagi seorang ibu kandung. Kelak sang ibu dimintai pertanggunganjawab (al-mas’uliyyah) di hadapan Allah atas kehidupan anaknya.
Selain itu, Wahbah al-Zuhaily menjelaskan, kewajiban ini terkena baik bagi ibu yang masih menjadi istri dari bapak anak yang ia susui (al-radhi’). Maupun istri yang sudah talak (al-muthallaqah) dalam masa ‘iddah.
Ibnu Abi Hatim dan Sa’id Ibn Zubair ketika membicarakan surat al-Baqarah (2) ayat 233 juga mengatakan hal yang sama. Bahwa laki-laki yang menceraikan istrinya dan memiliki seorang anak. Maka ibu anak itulah yang lebih berhak untuk menyusukan anaknya.
Demikian juga Waliyullah al-Dihlawy, dengan pertimbangan menyatakan bahwa ibu adalah orang yang memiliki otoritas untuk memelihara bayi dan lebih menyayangi anak.
Dari sejumlah pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa “menyusui” dianggap sebagai kewajiban agama yang harus dipenuhi oleh setiap perempuan (ibu kandung). []
Sumber: Buku Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan karya Abdul Moqsith Ghozali dkk.