Mubadalah.id – Ketika membicarakan kewajiban menyusui dalam al-Qur’an, pertanyaannya adalah apakah benar ibu diwajibkan menyusui anaknya? Menariknya, dari sejumlah ayat yang membicarakan persusuan, tak ada satu pun yang secara tegas menetapkan kewajiban tersebut.
Karena itu, perlu klarifikasi tentang bentuk kewajiban itu: apakah itu kewajiban legal-formal normatif ataukah kewajiban moral-kemanusiaan? Dan dalam posisi tersebut, apakah hakim bisa memaksa kaum ibu atau tidak untuk memenuhi kewajiban itu?
Pada tataran ini, para ulama juga masih berbeda pendapat. Madizhab Malikiyah, misalnya, berpendapat bahwa hakim boleh memaksa sang ibu untuk menyusui anaknya.
Akan tetapi, berdasarkan surat al-Thalaq (65) ayat 6, terutama pada diktum fa’in ardha’na la kum fa’tihunna ujurahunna, madzhab Malikiyyah bersikap bahwa hukum menyusui tidak wajib bagi sang ibu yang sudah ditalak ba’in oleh sang suami.
Sementara jumhur ulama mempunyai pendapat lain, bahwa hakim tidak boleh memaksakannya, kecuali dalam kondisi dharurat.
Dalam pandangan jumhur ulama, kewajiban menyusui anak bagi seorang ibu lebih merupakan kewajiban moral kemanusiaan (diydanatan) ketimbang legal-formal (qadha‘). Maksudnya, kalau si ibu tidak mau melakukannya, suami atau pengadilan sekalipun tidak berhak memaksanya untuk menyusui.
Hak Bagi Ibu
Menurut mereka, surat al-Baqarah (2) ayat 233 adalah perintah anjuran (mandub) bagi sang ibu untuk meyusui anaknya. Dengan kata lain, menyusui anak adalah hak bagi ibu. Tetapi juga hak bagi anak untuk memperoleh susuan yang memadai.
Kecuali kalau si anak tidak mau menerima air susu selain ibunya, atau si ayah tidak sanggup membayar upah ibu susuan, maka baru menjadi wajib bagi ibu untuk menyusuinya.
Argumentasi bahwa menyusui adalah hak bagi ibu sekaligus juga hak bagi anak terdapat dalam surat al-Thalaq (65) ayat 6: wa in ta’iasartum fa saturdhi’u lahu ukhra. Dalam ayat itu menjelaskan “jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
Memperkuat pendapatnya, yang oleh ulama lain menjadi landasan hukum wajib menyusui, jumhur ulama menafsiri ayat (yurdhi’na awladahunna), ke dalam dua pengertian yang berkait.
Pertama, sebagian mereka menyatakan bahwa kendatipun kalimat tersebut berbentuk kalam khabar, tetapi bermakna insya. Artinya, meski ayat tersebut memiliki arti perintah. Namun, kedua, arti perintah yang terkandung dalam kalimat tersebut tidak termasuk perintah wajib.
Dengan demikian, meskipun menyusui telah Allah SWT perintahkan. Tetapi perintah itu menunjukkan pada dorongan moral kemanusiaan untuk menyelamatkan dan memberikan perlindungan kesehatan bagi sang anak. []
Sumber: Buku Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan karya Abdul Moqsith Ghozali dkk.