Mubadalah.id – Sejak hari pertama Islam hadir, perempuan bukanlah kelas kedua. Mereka bukan sekadar pelengkap dalam sejarah dakwah, tetapi bagian dari denyut utama perjalanan kenabian.
Dalam banyak peristiwa besar awal Islam, perempuan hadir bukan di pinggir. Melainkan di tengah pusaran perjuangan—bersama laki-laki, bahu-membahu menegakkan nilai kemanusiaan, keimanan, dan keadilan.
Kisah-kisah sejarah mencatat dengan jelas bahwa sejak wahyu pertama turun, perempuan menjadi subjek aktif dalam kerja-kerja pengorbanan untuk Islam. Mereka mendukung Nabi Muhammad Saw., membela risalah kenabian, berhijrah meninggalkan tanah kelahiran, bahkan sebagian mengorbankan nyawanya dan wafat sebagai syuhada.
Dalam berbagai sumber sejarah kenabian dan kitab-kitab hadis, Rasulullah Saw. memanggil keluarga terdekatnya untuk mengenal Islam ketika wahyu pertama turun di Gua Hira.
Di antara mereka, menurut Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam Buku Qiraah Mubadalah, ada nama-nama perempuan—Shafiyah, Fatimah, dan Khadijah—yang pertama kali menyambut panggilan itu. Setelah itu, generasi awal Islam banyak diisi oleh perempuan-perempuan berani: mereka yang pertama beriman, pertama berhijrah, dan pertama berkorban di jalan dakwah.
Ali bin Abi Thalib Ra. adalah orang kedua yang masuk Islam setelah Khadijah Ra., disusul Abu Bakar Ra. Namun, tak banyak yang tahu bahwa di balik keislaman Umar bin Khathab Ra ada seorang perempuan yang melunakkan hatinya. Ia adalah Fatimah binti al-Khathab Ra., adik kandungnya sendiri.
Ketika Umar masih menjadi penentang Islam yang keras, Fatimah justru sudah lebih dulu beriman. Beliau lah yang berani menghadapi kakaknya dengan keyakinan dan keberanian spiritual luar biasa.
Perempuan Syahid Pertama
Perempuan lain yang menorehkan kisah heroik adalah Sumayyah binti Khayyat, ibu dari Ammar bin Yasir. Ia tercatat sebagai syahid pertama dalam Islam.
Keteguhan imannya membuatnya mendapat siksaan hingga meninggal dunia. Namun, kematiannya justru menjadi simbol bahwa keimanan tidak memiliki jenis kelamin—dan keberanian perempuan dapat menjadi penegak kebenaran yang pertama.
Kisah lain yang jarang dikisahkan secara luas adalah tentang Nusaibah binti Ka’ab al-Anshariyah Ra., atau Ummu al-Asyaf. Ia dikenal sebagai perempuan yang menyelamatkan Nabi Muhammad Saw. dalam Perang Uhud.
Saat pasukan laki-laki terpukul mundur, banyak yang melarikan diri dan meninggalkan Nabi sendirian, Nusaibah justru maju ke medan tempur, memegang pedang, dan melindungi Rasulullah Saw. dari serangan musuh.
Tubuhnya penuh luka—lebih dari delapan belas sabetan pedang dan tusukan panah. Tetapi keberanian dan cintanya kepada Nabi membuatnya bertahan hingga akhir pertempuran.
Semua peristiwa itu menunjukkan satu hal: perempuan adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah keislaman. Mereka bukan pengikut pasif, melainkan pelaku aktif dalam perjuangan moral dan spiritual umat. []