Mubadalah.id – Perempuan yang menorehkan kisah heroik adalah Sumayyah binti Khayyat, ibu dari Ammar bin Yasir. Ia tercatat sebagai syahid pertama dalam Islam.
Keteguhan iman Sumayyah binti Khayyat membuatnya disiksa hingga meninggal dunia. Namun, kematiannya menjadi saksi kesyahidannya dalam menegakkan Islam.
Kisah lain yang jarang dikisahkan secara luas adalah tentang Nusaibah binti Ka’ab al-Anshariyah Ra., atau Ummu al-Asyaf. Ia dikenal sebagai perempuan yang menyelamatkan Nabi Muhammad Saw. dalam Perang Uhud.
Saat pasukan laki-laki terpukul mundur, banyak yang melarikan diri dan meninggalkan Nabi sendirian, Nusaibah justru maju ke medan tempur, memegang pedang, dan melindungi Rasulullah Saw. dari serangan musuh.
Tubuhnya penuh luka—lebih dari delapan belas sabetan pedang dan tusukan panah. Tetapi keberanian dan cintanya kepada Nabi membuatnya bertahan hingga akhir pertempuran.
Semua peristiwa itu menunjukkan satu hal: perempuan adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah keislaman. Mereka bukan pengikut pasif, melainkan pelaku aktif dalam perjuangan moral dan spiritual umat.
Mengakui Pandangan Perempuan
Bahkan Umar bin Khathab Ra., yang dikenal keras dan tegas, suatu ketika mengakui perubahan pandangannya terhadap perempuan setelah datangnya Islam.
Ia berkata, “Dulu, pada masa Jahiliah, kami tidak memperhitungkan perempuan sama sekali. Lalu ketika Islam datang, dan Allah menyebutkan (hak-hak) mereka, kami (para laki-laki). Lalu memandang bahwa perempuan memiliki hak atas kami, sekalipun kami masih enggan melibatkan mereka dalam urusan-urusan kami.” (Shahih Bukhari, no. 5904).
Pengakuan Umar bin Khathab Ra. ini memperlihatkan betapa revolusionernya ajaran Islam dalam mengangkat derajat perempuan. Islam datang untuk meruntuhkan struktur sosial yang menempatkan perempuan di posisi marginal.
Dalam konteks ini, pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam Buku Qiraah Mubadalah mengajak kita untuk membaca ulang teks-teks keagamaan dengan semangat kesalingan, agar makna universal Islam—keadilan, kasih sayang, dan kemanusiaan—tidak terdistorsi oleh budaya patriarkis yang membatasi peran perempuan.
Membaca sejarah Islam dari kacamata mubadalah berarti mengembalikan perempuan ke posisi yang semestinya yaitu subjek aktif dalam keimanan, dakwah, dan perjuangan.
Seperti Khadijah yang menopang kenabian, Fatimah yang melunakkan hati Umar, Sumayyah binti Khayyat yang mati syahid, dan Nusaibah yang melindungi Nabi di medan perang—semuanya menunjukkan wajah Islam yang hidup, setara, dan berkeadilan. []