Mubadalah.id – Desakralisasi ilmu pengetahuan kita pahami sebagai proses di mana ilmu mengalami pemunduran sebagai ruang otonom pencarian kebenaran dan etika berpikir kritis. Banyaknya ruang dan institusi akademik yang menyebar di berbagai daerah di Indonesia, hampir mayoritas mengambil jalan sunyi yang sembunyi daripada menyuarakan pendapatnya. Termasuk insiden fenomena memberangus buku dan kriminalisasi intelektual marak akhir-akhir ini.
Fenomena tersebut menandakan bahwa ilmu mengalami kehilangan posisi sebagai ruang yang terhormat, bebas, kritis dan independen. Praktik politik kontemporer menunjukkan ketika proses itu nampak lembaran-lembaran buku, gagasan-gagasan, dan bahkan sosok intelektual diperlakukan sebagai ancaman keamanan yang harus “dibekukan” atau tersita.
Seyogyanya ia kita perlakukan tidak lebih dari objek politik, budaya sensor atau instrumen kontrol kekuasaan. Jika ilmu diturunkan dari altar pemikiran dan menjadi komoditas, propaganda atau tunduk pada tekanan kekuasaan, maka bukan hanya kebebasan akademik yang terancam, melainkan kapasitas masyarakat dalam berpikir, merdeka dalam wacana, untuk berubah dan berinovasi.
Pemikir dalam Science Studies
Sejumlah pemikir dalam science studies (studi ilmu), filsafat dan teori sosial telah mengulas bagaimana ilmu pernah dianggap “sakral” dalam artian ia ditempatkan sebagai institusi yang mempunyai otoritas secara independen, mandiri dari kekuasaan politik, ideologi dan pasar.
Gagasan Max Weber tentang “disenchantment” menjelaskan “mistisasi” terganti proses modernisasi dunia dengan menempatkan rasionalitas ilmiah sebagai arbiter kebenaran. (Koshul, 2005). Sehingga makna sakral bergeser menjadi data dan prosedur teknis. Meskipun ilmu pengetahuan rentan “dikembalikan” ke dalam kekuasaan dan terpolitisasi.
Lain dengan Michel Foucault hingga Bruno Latour dan Donna Haraway, secara umum menjelaskan bahwa ilmu tidak netral. Karena pengetahuan selalu berkaitan dengan relasi kuasa, jaringan sosial dan epistemik tertentu. Foucault menyadarkan bahwa ilmu dapat menjadi sarana produksi subjek dan kontrol. (Foucault, 1980) Ia menekankan ilmu pengetahuan berkaitan dengan kekuasaan dan wacana ia anggap benar dan normal.
Latour menggiring kita melihat “politik alam” di mana sains, teknologi dan politik saling berkelindan. (Latour, 2004) Sedangkan Haraway menekankan situated knowledge, ilmu mesti mengakui lokasi dan kepentingan sosial penghasil pengetahuan. (Haraway, 1988).
Oleh karena itu, desakralisasi ilmu pengetahuan dalam perspektif ini membawanya untuk memahami mengapa negara atau aktor kekuasaan merasa perlu “mengamankan” atau menyita buku bukan hanya menyoal isinya. Melainkan buku menandakan jaringan, identitas, dan potensi aksi kolektif yang menganggu tatanan.
Desakralisasi dalam konteks Indonesia menempatkan ilmu kehilangan daya kritis, kebebasan akademik, dan posisi sebagai “ruang dialog.” Di luar itu, kekuasaan negara atau ormas yang merasa “berhak” memutuskan mana literatur yang boleh beredar atau tidak.
Sweeping Buku dan Penangkapan Intelektual
September 2025 menunjukkan wajah rangkaian peristiwa yang memprihatinkan publik. Aparat kepolisian di beberapa wilayah memamerkan buku hasil sitaan dari peserta demonstrasi.
Karya Franz Magnis Suseno tentang Karl Marx hingga karya Emma Goldman berjudul Anarkisme sebagai barang bukti mereka duga telah menginspirasi aksi “anarkis.” Meskipun lembaga kepolisian melaporkan penyitaan sebagai bagian dari penyidikan, istana menjelaskan tidak ada larangan membaca buku.
Tokoh lokal NGO sekaligus Direktur Lokataru Delpredo Marhaen ditetapkan tersangka penghasutan ajakan protes. Pemberitaan juga mencatat penyitaan dokumen dan buku selama proses penangkapan. Langkah tersebut mendapatkan respon dari organisasi HAM, pengamat hukum dan akademisi. Mereka menilai tindakan aparat mengandung risiko kriminalisasi gagasan dan membentuk efek pendinginan (chilling effect) terhadap kebebasan akademik dan berpendapat.
Polisi berpendapat bahwa buku tertentu berisi ideologi atau taktik yang “menginspirasi” tindakan kekerasan atau anarkis. Sehingga relevan sebagai barang bukti dalam kasus kerusuhan. Namun sejumlah kritikus menegaskan pembuktian kausal bahwa membaca buku tertentu mereka anggap menyebabkan tindakan anarkis merupakan klaim berat yang memerlukan metodologis, bukan hanya asosiasi pemilikan materi tulisan dengan tindak pidana.
Banyak karya yang tersita adalah teks filsafat, kritik politik atau sejarah, menjadi bahan tradisi akademik yang mereka gunakan untuk mengajar dan melatih berpikir kritis, bukan instruksi melakukan kekerasan. Tentunya, tuduhan mereduksi buku menjadi “alat penghasutan” mengaburkan fungsi pendidikan dan penelitian. Selain itu membuka pintu praktik sensor informal melalui justifikasi keamanan.
Pro dan Kontra: Motif Klaim
Dari segi aparat, motif mereka gunakan sebagai klaim untuk melakukan sweping dengan alasan pencegahan radikalisasi dan tindak kekerasan. Pembuktian kaitan alat-alat ideologis dengan kelompok yang melakukan aksi anarkis serta menjaga ketertiban umum.
Meskipun secara praksis-politik mereka anggap sebagai sinyal otoritas dalam kontrol atas wacana publik dan berfungsi sebagai pembingkai narasi “kekerasan berasal dari ide berbahaya” daripada kondisi struktural atau praktik represif aparat”.
Selain itu, pendukung sweeping menyoroti tanggung jawab negara menjaga keamanan jika bukti literatur tertentu digunakan pedoman untuk tindakan ilegal, sehingga negara wajib menyelidiki. Kekhawatiran lain seperti buku propaganda ekstrem bertujuan merekrut dan mengorganisasi kekerasan,
Meskipun mendapatkan pertentangan dari sejumlah kritikus. Mereka menilai bahwa motif gelapnya adalah upaya mendelegitimasi lawan politik, membatasi ruang kritik terhadap kebijakan, atau mengkonstruksi musuh ideologis yang memudahkan legitimasi tindakan represif. Iklim demokrasi sehat menghadirkan pencegahan radikalisasi yang sah harus terawasi ketat dan berbasis bukti, bukan pada daftar bacaan.
Aksi Sweeping Buku
Pihak kontra menyinggung aksi sweeping buku, karena kebebasan intelektual dan akses terhadap bacaan merupakan unsur dasar pendidikan dan kebebasan sipil. Oleh karenanya penyitaan massal tanpa proses peradilan, akan berbahaya bagi tradisi berpikir kritis.
Lalu risiko normalisasi sensor jika kepemilikan buku menjadi alasan penindakan. Banyak literatur ilmiah dan sejarah bisa terancam. Hukum pidana harus membedakan antara mempromosikan kekerasan dan memegang karya akademik atau opini.
Bung Karno memandang cendekiawan dan intelektual sebagai bagian dari revolusi nasional. Ilmu dan sastra terdorong sebagai sarana pemikiran kritis, pembentukan negara dan pembebasan dari kolonialisme. Karya seni dan literatur kritik terhadap kolonialisme dan kelas sosoal mendapat tempat di ruang publik. Meskipun eranya mengandung tensi politik yang tinggi dengan pembauran ideologi dan pemerintahan.
Selain itu, era Orde Baru secara sistematis mendesak ilmu pengetahuan tidak “mengganggu” stabilitas politik. Sejumlah penulis hingga aktivis melalui karyanya disensor, terlarang atau pembungkaman.
Ekstremnya, pemikiran kiri dibersihkan dari ruang publik seperti komunisme dan marxisme. Karya sastra yang tertulis oleh Pramoedya Ananta Toer disensor. Penulis hidup dalam bayang ketakutan, menjadikan sejumlah karya bertentangan dengan pemerintah, harus terbit ke luar negeri melalui jaringan non-formal.
Dampak dan Rekomendasi
Sweeping buku dan kriminalisasi intelektual berpengaruh langsung pada iklim akademik. Pertama, efek pendinginan. Dosen, mahasiswa dan peneliti bisa menunda penelitian kritis atau menghindari topik sensitif karena takut terseret proses hukum.
Kedua, kurikulum dan koleksi perpustakaan terancam ketika institusi belajar internalisasi sensor eksternal demi menghindari masalah. Ketiga, reputasi internasional perguruan tinggi terganggu, menghambat kolaborasi riset.
Jangka panjangnya adalah kelangkaan ruang untuk mengembangkan teori kritis akan melemahkan kapasitas kritis generasi baru. Padahal ilmu sosial humaniora hadir untuk memahami ketidakadilan, merancang kebijakan publik, dan memelihara demokrasi. Human Rights Watch dan laporan akademik sejarah Orde Baru memperingatkan bahwa ketika rezim menekan intelektual, kualitas kebijakan dan penalaran publik menurun.
Menjaga kemurnian ilmu pengetahuan, maka perlu memahami perbedaan antara kriminalisasi dan diskursus. Hukum harus menuntut tindakan ilegal berdasarkan bukti tindakan, bukan kepemilikan atau bacaan. Pentingnya audit bukti dan prosedur transparan, setiap penyitaan buku sebagai barang bukti beserta dengan penjelasan metodologis yang transparan mengapa buku relevan secara forensik.
Perlindungan kebebasan akademik melalui perguruan tinggi dan asosiasi ilmiah dengan menempatkan prinsip proteksi dosen/peneliti serta prosedur dukungan hukum. Kemudian dialog publik dan literasi media memperkuat pemahaman publik bahwa buku merupakan sumber pembelajaran bukan mesin instan “radikalisasi”.
Oleh karena itu, ilmu pengetahuan kita perlakukan dengan kekhidmatan (sakralitas) dalam artinya kita hormati sebagai ruang kebebasan berpikir, penjaga pluralitas, pangkal perdebatan rasional. Bukan alat sensor, propaganda atau kekuasaan. Sehingga ketika ilmu tidak kita hormati, kita hidup dalam budaya takut, wacana terbatasi dan visi alternatif tidak bisa muncul. Menjaga sakralitas ilmu adalah menjaga masa depan Indonesia sebagai bangsa merdeka secara intelektual. []