Mubadalah.id – Di tengah penatnya drama MBG dan segala keracunan yang belum juga tuntas, munculah satu tontonan baru yang ternyata tak kalah menarik perhatian, apalagi kalau bukan urusan dapur orang lain.
Jadi, waktu berita “guru PPPK ramai-ramai menggugat cerai suami yang pengangguran” lewat di linimasa, saya tengok kolom komentar yang ternyata cukup meledak. Semua orang mendadak jadi pakar rumah tangga dalam fenomena gugatan cerai Guru PPPK. Ada yang bilang para istri akhirnya berani mengambil keputusan, ada juga yang menuduh mereka sombong, penuh tipu daya, bahkan durhaka.
Tak jarang pula yang mengansumsikan suami sebagai sosok yang gagal membina rumah tangga. Saya-pun menyadari, rupanya urusan domestik memang bisa sangat laku dijadikan hiburan publik.
Padahal, rumah tangga bukan sekadar urusan menanak nasi dan melunasi tagihan wifi, melainkan cermin kecil dari bagaimana struktur sosial membentuk pilihan-pilihan paling personal manusia.
Dalam teori gender performativity Judith Butler menggambarkan, apa yang tampak “alami” dalam peran domestik. Selain itu nafkah sejatinya adalah hasil bentukan norma sosial yang terwariskan, maka jika sistem ekonomi berubah, naskah lama itu pun mulai bergeser.
Dan bagi saya, framing media dalam fenomena gugatan cerai Guru PPPK pun punya andil besar di sini. Dengan satu tajuk sensasional, “Guru PPPK Menggugat Cerai Suami Pengangguran” kita terarahkan pada imajinasi tertentu, seperti perempuan yang sombong atau laki-laki yang gagal. Umpan seperti ini efektif, karena publik kita masih sangat terikat pada narasi moral daripada analisis struktural.
Padahal, persoalan ini ini berakar pada struktur sosial-ekonomi yang timpang dan persepsi gender yang kaku. Bukan sebatas siapa si durhaka dan siapa si pemalas.
Lelaki Menganggur, Salah Siapa?
Mulai dari pertanyaan, “mengapa begitu banyak laki-laki usia produktif menganggur?” lalu, “Apa yang salah dengan distribusi lapangan kerja?” Dan “mengapa beban nafkah masih sepenuhnya diletakkan di pundak laki-laki, seolah-olah perempuan tidak pernah ikut menyumbang apa-apa?” Memperlihatkan pada kita semua bahwa jurang menganga lebar di antara harapan dan realitas ekonomi.
Negara mendorong perempuan untuk berpendidikan dan bekerja, tapi pada saat yang sama, norma sosial tetap menuntut mereka menjadi “istri baik” yang tak boleh melampaui suami. Laki-laki pun terperangkap dalam ekspektasi lama, mereka akan bermartabat saat royal memberi, namun di sisi lain, kesempatan untuk memberi makin menyempit.
Menilik Data BPS
Yuk, mari kita intip bersama data BPS yang menyajikan gambaran paradoks itu. Peningkatan persentase perempuan muda di pekerjaan formal terus naik dari sekitar 22–24% menjadi sekitar 26,4%.
Namun pada waktu yang sama, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) laki-laki tetap lebih tinggi: per Februari 2025 tercatat 4,98%, sementara perempuan 4,41%. Negara memberi ruang bagi sebagian perempuan untuk naik kelas, tapi tak menciptakan jaring pengaman bagi laki-laki yang tertinggal.
Dari sini, perceraian dalam kasus ini tidak bisa lagi kita baca sebagai bukti kesombongan perempuan atau kelemahan laki-laki. Ia adalah cermin dari ketimpangan sistemik, bahwa sebagian memang berhasil beradaptasi dengan perubahan, namun sebagian lain terjebak di struktur lama yang tak lagi menopang. Dan ketika ketimpangan itu masuk ke ruang rumah tangga, konflik menjadi tak terhindarkan.
Di Luar, Kesetaraan Tak Lagi sebatas Slogan
Kalau kita mau studi banding keluar, dunia sudah punya contoh bahwa kesetaraan peran bukan sekadar slogan. Negara-negara Nordik seperti Swedia, Norwegia, dan Islandia membuktikan bahwa laki-laki dan perempuan bisa berbagi peran publik dan domestik tanpa rasa bersalah.
Di Swedia, hampir semua ayah kini mengambil sebagian cuti orang tua yang disediakan negara, sebaguan besar ayah berkontribusi sekitar sepertiga dari seluruh hari cuti yang diambil. Sementara di Norwegia dan Islandia, ada kuota khusus cuti ayah (father’s quota) yang tidak bisa dialihkan kepada ibu.
Kebijakan ini memberikan kita pandangan baru, bahwa ini bukan hanya soal cuti, tapi soal menegaskan bahwa kasih sayang dan kerjasama adalah bagian dari tanggung jawab sosial.
Efeknya luar biasa. Ibu bisa kembali bekerja tanpa terhantui rasa bersalah, ayah belajar bahwa begadang dan sterilisasi botol tak mengurangi martabat. Rumah tangga menjadi ruang kesalingan, tak lagi terjebak dalam kompetisi siapa paling berkorban.
Lalu mari pelan-pelan kita kembali ke Indonesia. Mengapa di sini masih banyak laki-laki malu jika “cuma” mengurus anak di rumah, sementara perempuan yang bekerja dianggap tak cukup dan mengancam martabat suami? Mengapa kerja domestik masih dianggap beban perempuan, bukan kerja produktif yang menopang ekonomi keluarga?
Pertanyaan-pertanyaan ini membawa kita ke inti persoalan. Namun sayangnya, kita belum berhasil membangun paham baru tentang keadilan dalam rumah tangga.
Mubadalah dan Pembagian Peran Substantif RumahTangga
Di sinilah perspektif mubadalah memberi jalan tengah yang lebih manusiawi. Relasi suami-istri bukanlah ajang kompetisi siapa lebih berkuasa, melainkan kerja sama kesalingan. Nafkah bukan monopoli laki-laki, sebagaimana pengasuhan bukan beban tunggal perempuan. Prinsip mubadalah mengajarkan pada kita, siapa yang mampu, ia berkontribusi baik dalam kerja produktif maupun reproduktif.
Namun, norma patriarki sering kali membuat kerja sama itu macet. Laki-laki terpenjara oleh ekspektasi menjadi “kepala keluarga” yang harus selalu memberi nafkah, meski peluang kerja makin sempit. Perempuan, sebaliknya, terstigma “melampaui” ketika berhasil berdiri mandiri. Kita terlalu sibuk menjaga simbol, sampai lupa menjaga kesejahteraan bersama.
Alternatifnya adalah memperbarui cara pandang terhadap stigmatisasi rumah tangga. Percayalah, rumah tangga tetap kokoh meski istri bekerja di ruang publik dan suami lebih banyak di domestik. Sebab kehormatan tak terukur dari besar kecil gaji, melainkan dari kesediaan berbagi peran.
Perempuan Indonesia sudah lama memikul beban ganda, Di mana mereka menopang ekonomi sekaligus mengurus rumah tanpa gelar kehormatan. Maka, mengapa ketika peran sedikit berbalik, kita justru panik?
Sesungguhnya, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama terjerat dalam struktur yang timpang yang menganggap laki-laki salah saat gagal menafkahi. Lalu perempuan kita salahkan saat berani mengambil keputusan. Skenarionya berbeda, tapi sama-sama berujung pada kesenjangan sosial-ekonomi dan moral publik.
Jadi, izinkan saya mengubah pertanyaan dari “siapa yang salah?” menjadi “mengapa negara gagal menyediakan kerja layak, dan masyarakat gagal memperbarui tafsir keadilan gender?”
Berangkat dari fenomena gugatan cerai Guru PPPK, kita jadi menyadari bahwa ada alarm terselubung yang mengindikasikan kepincangan dalam struktur ekonomi serta kebutuhan mendesak untuk menata ulang relasi di rumah maupun di negara. Bisa kita mulai dengan tidak menjadikan nafkah sebagai satu-satunya tolak ukuran martabat, juga menormalisasi pembagian peran domestik dan publik secara proposional.
Karena percayalah, perceraian ini bukan kisah tentang perempuan yang sombong atau laki-laki yang tak berguna. Ia adalah kisah tentang bagaimana sistem sosial membentuk pilihan. Bahkan pilihan untuk tetap tinggal, atau pergi dari sebuah pernikahan karena stigma yang tak kunjung usai. Wallahu a’lam. []