Mubadalah.id – Dalam konferensi pers yang dilakukan pada tanggal 12 September 2025, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan bahwa selama aksi demonstrasi pada Agustus hingga September, ada beberapa perempuan yang ditangkap oleh aparat negara.
Mulai dari stigma perempuan “nakal” hingga dianggap sebagai “penyusup” atau “provokator” menjadi salah satu alasan penangkapan mereka. Padahal nyatanya, mereka hanya menonton aksi demonstrasi.
Selain itu, tim respons cepat besutan Komnas Perempuan juga menemukan beberapa pola berulang dan sistematis dalam aksi demonstrasi. Di antaranya ialah pelabelan dan stigma kepada perempuan yang aparat tahan atau tangkap, penggunaan kekuatan berliebihan dan penangkapan sewenang-wenang yang melanggar hak konstitusional warga.
Lebih dari itu, di media sosial juga sempat beredar konten-konten pemerkosaan. Hal ini, Komnas Perempuan benarkan, bahwa selain menangkap perempuan dengan sewenang-wenang, pemerintah juga berusaha menebar ketakutan dan memicu trauma kolektif dengan menyebarkan berita palsu tentang kekerasan seksual. Ini bertujuan untuk menebar ketakutan dan membungkam suara masyarakat.
Masih dalam konferensi pers yang sama, Komnas Perempuan juga menyampaikan bahwa selama rentang bulan Agustus hingga September setidaknya ada tiga perempuan yang aparat tangkap tanpa alasan yang jelas. Mereka berinisial L, F, dan G.
Pasal Berlapis
Melansir dari Konde.co, ketiga perempuan tersebut ditangkap secara mendadak di rumahnya, tidak ada pemanggilan terlebih dahulu. Ketiganya dikenakan pasal berlapis.
Perempuan inisial L ditahan di Bareskrim Polri. Ia dijerat Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE) dengan ancaman pidana. Hingga delapan tahun penjara.
Kemudian, Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang ITE, dengan pidana maksimal enam tahun, dan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan dengan ancaman pidana enam tahun penjara, serta Pasal 161 ayat (1) KUHP dengan ancaman hukuman hingga empat tahun.
Sedangkan, perempuan inisial F dikenakan sangkaan melanggar: 1) Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), 2) dan/atau Pasal 87 jo. Pasal 76H jo, Pasal 15 Undang-Undang Perlindungan Anak, 3) Pasal 45A ayat (3) jo. Serta Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dengan ancaman pidana penjara paling lama enam tahun.
Lalu perempuan inisial G dikenakan sangkaan 1) Pasal 45 Ayat 2 Juncto Pasal 28 Ayat 2 UU ITE, 2) Pasal 160 KUHP, dan 3) Pasal 161 Ayat 1 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 6 tahun penjara.
Penangkapan secara mendadak ini menimbulkan ketakutan dan trauma bagi mereka. Bahkan salah satu dari mereka juga merasa terpukul, karena harus meninggalkan anak yang masih menyusu.
Kerentanan Korban Akibat Penangkapan Sewenang-wenang
Kerentanan mereka semakin berlapis, karena keterbatasan pemahaman hukum, posisi ketergantungan dalam keluarga. Hingga peran sebagai ibu yang harus meninggalkan anak. Akibatnya mereka mengalami trauma, doxing, dan ancaman terhadap keamanan keluarga.
Karena itu, Komnas Perempuan mendesak negara untuk menghentikan praktik represif. Termasuk penangkapan sewenang-wenang, sweeping yang meresahkan, dan segala bentuk teror berbasis ancaman kekerasan seksual. Lebih dari itu, negara juga harus melindungi pembela HAM dengan membebaskan para perempuan yang aparat tahan dan tangkap secara tiba-tiba.
Di sisi lain, Komnas Perempuan juga mendorong pemerintah untuk memberikan pemulihan yang berperspektif korban. Mengingat dampak dari pelabelan, stigma, teror dan penangkapan sewenang-wenang bukan hanya berdampak pada fisik korban. Tetapi juga pada mental, sosial-ekonomi dan keberlanjutan kehidupan mereka.
Sementara itu, Ruby Khalifah, Direktur Jaringan Aksi Muslim Asia (AMAN) di Indonesia, dalam konferensi pers Jaringan Women, Peace, and Security (WPS) pada 21 September 2025 juga menegaskan bahwa penangkapan perempuan secara sewenang-wenang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E Ayat 3 serta Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Selain itu, praktik bembungkaman di ruang digital dengan menyebarkan berita palsu terkait isu kekerasan seksual, melakukan doxing. Hingga penggunaan pasal karet dalam UU ITE untuk mengkriminalisasi kritik warga semakin mempersulit warga untuk bersuara.
Revisi UU ITE
Oleh karena itu, Jaringan WPS mendesak pemerintah untuk merevisi UU ITE yang selama ini sering kali mereka pakai untuk mengkriminalisasi pembela HAM yang vokal bersuara di media.
Dalam nafas yang sama, Komnas Perempuan juga mendesak aparat kepolisian untuk menggunakan kekuatannya sesuai dengan kebutuhan dan proporsionalitas yang tertuang dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), pemerintah Indonesia punya tanggung jawab untuk melindungi perempuan dari diskriminasi dan kekerasan berbasis gender, termasuk di ruang digital dan yang lainnya.
Hal ini sangat sesuai dengan Rekomendasi Umum CEDAW Nomor 30 tentang perlindungan perempuan dalam situasi konflik dan keamanan publik. Serta Rekomendasi Umum Nomor 35 yang menegaskan kekerasan berbasis gender sebagai diskriminasi serius yang harus kita cegah, tindak, dan pulihkan. []