Mubadalah.id – Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki keanekaragaman baik dari ras, suku, bangsa, agama, dan lain-lain. Salah satu keanekaragam manusia adalah dalam hal keterbatasan kemampuan untuk melakukan sesuatu, ada manusia non difabel, dan ada juga manusia difabel.
Banyak stigma di kalangan masyarakat bahwa difabel atau disabilitas itu merupakan suatu kecacatan tubuh. Di mana kata “cacat” sendiri sering kita artikan dengan kata rusak atau tidak berfungsi seperti semestinya. Padahal difabel sendiri hanyalah sebuah keterbatasan.
Sebagai contoh, saya sebagai non disabilitas pun memiliki keterbatasan dalam hal-hal mengenai seni, seperti menggambar, melukis, bernyanyi, dll. Maka penting bagi kita untuk belajar tentang pendidikan keberagaman.
Difabel (different ability—kemampuan berbeda) kita definisikan sebagai seseorang yang memiliki kemampuan dalam menjalankan aktivitas berbeda bila dibandingkan dengan orang-orang kebanyakan (Wikipedia, 2025)
Seperti namanya, difabel (different ability) itu bukan orang yang tidak memiliki kemampuan, mereka memiliki kemampuan tapi dalam cara yang berbeda. Seperti contoh orang yang tuna netra itu bukan tidak bisa melihat. Mereka bisa melihat dengan telinga, indra peraba, dan indra penciuman, orang yang tuli pun bukan tidak bisa berkomunikasi, mereka bisa berkomunikasi melalui matanya dengan melihat bahasa isyarat, begitupun jenis difabel lainnya.
Disabilitas memiliki 5 kategori
Pertama, disabilitas fisik, yaitu keterbatasan seseorang yang mempegaruhi kemampuan fisik contohnya kelumpuhan pada alat gerak. Kedua, disabilitas sensorik, yaitu keterbatasan seseorang yang mempengaruhi panca indra contohnya tunanetra.
Ketiga, disabilitas intelektual, yaitu keterbatasan seseorang yang mempengaruhi kecerdasan seseorang contohnya down syndrome. Keempat, disabilitas mental, yaitu keterbatasan seseorang yang mempengaruhi kondisi psikis seseorang, contohnya skizofenia. Kelima, disabilitas ganda atau multi, yaitu kondisi seseorang yang mengalami lebih dari satu kondisi disabilitas
Di sekitar kita, masih banyak dari masyarakat yang belum mengerti hal ini sehingga mereka mengira orang difabel itu tidak bisa melakukan hal yang non difabel bisa lakukan. Sehingga mereka cenderung merendahkan orang-orang difabel. Bahkan tidak jarang juga menjauhinya, khususnya oleh anak kecil.
Seperti contoh pengalaman tanteku yang tunarungu dan tunawicara. Semenjak dia kecil, dia sering mendapatkan perlakuan buruk dari temannya bahkan dalam dunia pendidikan sehingga dia hanya mengenyam pendidikan pada sekolah dasar kelas satu.
Setelah tanteku dewasa pun, perlakuan buruk itu tidak hilang. Banyak masyarakat khususnya anak kecil di sekitar tanteku yang mengejeknya. Baik dengan kata-kata maupun dengan isyarat sehingga terkadang membuat tanteku kesal.
Mencari Ruang Aman untuk Anak Difabel
Contoh yang lain adalah tetanggaku yang mengalami down sindrome yang membuat dirinya dijauhi oleh teman-teman sebayanya. Bahkan ketika dia ingin ikut main bersama pun dia malah mengalami pembullyan ketika bermain.
Dari beberapa cerita di atas, kita dapat simpulkan bahwa di luar sana banyak sekali perlakuan tidak baik baik di lingkungan pendidikan maupun di lingkungan sekitarnya yang diterima oleh penyandang disabilitas dari mereka kecil hingga mereka dewasa.
Berdasarkan data pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak per 30 Maret 2021, sebanyak 110 anak penyandang disabilitas dari total 1.355 anak mengalami kekerasan. (Kompas.com, 2021)
Banyaknya pembullyan terhadap penyandang disabilitas membuat ruang aman untuk mengeksplorasi kelebihan yang ia miliki semakin sulit. Sehingga mereka jadi lebih menutup diri dan lebih memilih untuk terus menerima bantuan tanpa adanya keinginan untuk berkembang.
Salah satu langkah untuk mengurangi perlakuan tidak baik terhadap penyandang disabilitas adalah dengan mengadakan pendidikan keberagaman. Yakni untuk membuat kesadaran bahwa penyandang disabilitas punya hak yang sama seperti orang non disabilitas. Sehingga tumbuh kembang penyandang disabilitas lebih optimal dan mereka punya masa depan yang lebih baik.
Maka dari itu, untuk menanamkan kesadaran khususnya bagi anak kecil, perlu adanya pendidikan keberagaman. Yakni tentang kehidupan manusia yang bukan hanya membahas tentang perbedaan ras, suku, bangsa, agama, tetapi juga membahas perbedaan kemampuan dalam menjalani aktivitas antara difabel dan non difabel.
Saya berharap, pendidikan yang membahas isu disabilitas ini bisa segera masuk ke dalam kurikulum pendidikan di tingkat sekolah dasar. Sehingga anak-anak bisa lebih saling mentolerasi perbedaan yang teman-temannya miliki. Mereka bisa memandang orang difabel setara dengan non difabel secara kemanusiaan. []












































