Mubadalah.id – Stigma terhadap penyandang disabilitas masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Minimnya edukasi tentang disabilitas di tengah masyarakat luas dinilai menjadi salah satu faktor utama yang memicu perlakuan diskriminatif terhadap kelompok difabel, baik di ruang publik maupun dalam lingkungan sosial terdekat mereka.
Pemerintah sebenarnya telah memiliki payung hukum yang kuat untuk menjamin pemenuhan hak penyandang disabilitas. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menegaskan bahwa difabel merupakan subjek hak asasi manusia (HAM) yang memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang setara dengan warga negara lainnya.
Regulasi tersebut juga menekankan kewajiban negara dalam menjamin aksesibilitas serta perlindungan hak-hak penyandang disabilitas di berbagai sektor kehidupan.
Dalam UU tersebut, terdapat 22 hak kesetaraan yang dijamin bagi penyandang disabilitas. Hak-hak tersebut meliputi hak bebas dari stigma, hak memperoleh pendidikan, hak kesehatan, hak pekerjaan, hingga hak berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik. Ketentuan ini tertuang secara jelas dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.
Namun demikian, dalam praktiknya, stigma masih kerap melekat pada penyandang disabilitas. Disabilitas sering dipahami secara keliru sebagai kondisi ketidakmampuan atau kelemahan seseorang.
Padahal, secara konseptual, disabilitas tidak hanya kita pandang dari aspek kondisi fisik atau medis semata. Melainkan juga melalui pendekatan model sosial yang telah diakui secara global. Model ini menekankan bahwa hambatan utama bagi penyandang disabilitas justru berasal dari lingkungan dan sikap sosial yang tidak inklusif.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipublikasikan oleh Kementerian Sosial dan dikutip oleh Good News From Indonesia, pada tahun 2020 tercatat sebanyak 22,5 juta jiwa penyandang disabilitas hidup dan beraktivitas di tengah masyarakat Indonesia.
Jumlah tersebut menunjukkan bahwa penyandang disabilitas merupakan bagian signifikan dari populasi nasional dan memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa.
Akses Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas
Pemerintah saat ini terus mengupayakan penguatan pendidikan inklusif dengan menyediakan fasilitas belajar yang ramah disabilitas. Meski demikian, masih banyak tantangan yang mereka hadapi, terutama terkait keterbatasan fasilitas publik yang belum sepenuhnya aksesibel.
Selain persoalan kebijakan dan infrastruktur, stigma juga kerap muncul dari lingkungan terdekat penyandang disabilitas. Bahkan kurangnya pemahaman masyarakat mengenai isu disabilitas membuat difabel sering mereka perlakukan tidak setara. Termasuk mengalami penolakan dalam kehidupan sosial sehari-hari.
Terlebih dengan minimnya edukasi disabilitas juga berdampak pada penyalahgunaan fasilitas umum yang seharusnya diperuntukkan bagi penyandang disabilitas, seperti jalur kursi roda, toilet khusus, atau ruang parkir difabel. Fasilitas tersebut juga kerap rusak atau tidak terawat akibat rendahnya kesadaran publik.
Bahkan, stigma yang berkelanjutan juga berdampak serius terhadap kondisi mental penyandang disabilitas. Respons negatif dari lingkungan dapat memicu hilangnya rasa percaya diri, kecemasan sosial. Hingga gangguan kesehatan mental, tidak hanya bagi individu difabel tetapi juga keluarganya.
Oleh karena itu, dengan memberikan edukasi tentang disabilitas, bagi saya menjadi kebutuhan mendesak di tengah masyarakat Indonesia. Upaya ini tidak dapat kita bebankan hanya kepada pemerintah. Melainkan menjadi tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa, mulai dari keluarga, lingkungan pendidikan, media massa, hingga masyarakat luas.
Hal ini sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 yang menempatkan pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagai bagian dari komitmen kolektif bangsa. []











































