Mubadalah.id – Isu-isu tentang difabel akhir dekade kian semakin mendapat perhatian yang luas dari berbagai aspek kehidupan.
Berangkat dari asas keagamaan, agama menjamin hak penuh kehidupan penganutnya untuk saling menjunjung martabat kemuliaan manusia. Sedangkan dari aspek sosial, manusia memilikki hakikat sebagai makhluk yang membutuhkan ulur tangan saudaranya.
Islam sendiri melegitimasi kemanusiaan dengan memandang manusia berposisi setara di hadapan Allah, tanpa membedakan fisik, ras, atau status sosial.
Saya yakin telah familiar di tengah aktifitas manusia, bahwa jargon Islam Rahmat Lil Aalamin menjadi pedoman pokok ajaran Islam yang bersifat fleksibel dan adaptif terhadap berbagai kondisi umat manusia, termasuk para penyandang disabilitas (difabel).
Namun, ironisnya tidak sedikit kasus diskriminasi kepada difabel ataupun penyandnag disabilitas sebagai pelakunya terus bermekaran di segala sisi. Tentu, akhirnya timbul pertanyaan, sejauh mana landasan yuridis islam atau Fikih menjawab itu semua ?
Ada alternatif baru yang ditawarkan oleh KUPI dari problem ini, yakni Fiqih Al-Murunah atau Fikih yang luwes. Singkatnya, Fiqih tersebut bermakna pemahaman hukum Islam yang nggak kaku, luwes, dan bisa beradaptasi dengan kondisi zaman dan keadaan masing-masing orang.
Kemudian mungkinkah Fiqih Al-Murunah terimplementasikan ?
Fiqih Al Murunah Difabel : Proses Ijtihadi
Sebenarnya konsep murunah ini telah lama mengakar dalam diri syariat Islam, akan tetapi belum menemukan penggagasnya yang kompatibel. Dalam hal ini Kiai Faqih saya sebut sebagai penggagas nya.
Dalam artikelnya tentang Fiqih itu, Kiai Faqih memproklamirkan terminologi baru, yakni Fiqh al-Murunah. Sebuah paradigma fiqh yang lentur, inklusif, dan berkeadilan, yang tumbuh dari pengalaman dan cara pandang penyandang disabilitas sendiri.
Sementara itu, Islam mendefnisikan Murunah dengan sebuah konsep yang menekankan kelenturan (murunah) dalam memahami dan menerapkan hukum-hukum syariat agar tetap relevan dengan perubahan zaman dan keberagaman kondisi manusia. Dan sejalan dengan kadiah Wal-aḥwāl al-badaniyyah.
Atau murunah berarti lentur, fleksibel, juga mampu menyesuaikan diri tanpa kehilangan substansi. Dalam kerangka fiqih, murunah bukan berarti merombak hukum-hukum Allah, melainkan menafsirkan teks-teks syariat dengan mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan kebutuhan kemanusiaan yang terus berkembang.
Dengan demikian, Fiqih al-Murunah Difabel hadir bukan sekadar sebagai produk intelektual, melainkan sebagai gerakan kesadaran baru dalam memahami agama secara lebih manusiawi dan kontekstual. Ia mengajak umat Islam untuk meninjau kembali cara pandang terhadap penyandang disabilitas dari yang semula berorientasi belas kasih (charity based approach) menjadi pengakuan hak (rights based approach).
Melalui perspektif murunah, Difabel tidak lagi pasif dalam mengambil kebijakan, melainkan aktif memproduksi kebijakan dan kenyamanan atas kebutuhannya secara konkrit.
Dari Gagasan ke Solidaritas
Sependek pengematan saya, saat ini Fiqih lebih dituntut agar menjadi patron solusi dari kebijakan dan lelaku kehidupan manusia modern. Mulai dari ketimpangan sosial, ketidakadilan gender, hingga eksklusi difabel
Masih banyak hal-hal kecil dari Fiqih yang belum “dikhatamkan” dengan kesadaran praksis oleh para penganutnya. Artinya Fiqh belum menjadi titik pijakan etika sosial yang membebaskan dan menyejahterakan manusia.
Dari gagasan Fiqih al-Murunah inilah muncul kebutuhan untuk menjembatani antara teks agama dan realitas sosial yang kompleks. Dari gagasan ke solidaritas sosial, fiqih tidak hanya berhenti sebagai wacana intelektual di ruang akademik atau pesantren, tetapi harus turun menjadi etos sosial yang hidup dalam masyarakat.
Fiqih yang lentur dan berkeadilan menuntut partisipasi seluruh umat Islam untuk menumbuhkan empati dan solidaritas, terutama terhadap kelompok yang selama ini termarjinalkan seperti penyandang disabilitas.
Fiqih Al-Murunah hadir sebagai ajakan untuk mengubah cara kita memahami agama, dari sekadar ritual menuju praksis solidaritas. Ia mengajarkan bahwa keimanan sejati tidaklah berujung dari seberapa sempurna seseorang beribadah, akan tetapi seberapa jauh nilai-nilai keadilan kasih sayang terwujud dalam interaksi sosial kemanusiaaan.
Saya rasa, inilah yang benar-benar menunjukkan ke-murunahannya, kelenturan hati dan pikiran untuk menerima perbedaan, serta keberanian untuk menjadikan agama sebagai kekuatan pembebas, bukan pembatas.
Maka sangatlah memungkinkan jika Fiqih Al-Murunah ini kita praktikkan. Karena hakikatnya Fiqih bersifat dinamis, luwes, dan relevan dalam menjawab problematika kemanusiaaan.
Akan tetapi perlu kita ingat, Fiqh al-murunah yang ada sekarang sudah memberikan fondasi yang baik, tapi belum cukup untuk menjawab seluruh kompleksitas kehidupan difabel.
Kita butuh tahap lanjutan yang lebih revolusioner, yakni difabel sebagai subjek aktif yang menulis fiqh tentang diri mereka sendiri. Ini bukan soal menggantikan ulama non-difabel, tapi soal mengubah paradigma dari “fiqh untuk difabel” menjadi “fiqh oleh difabel.” []









































