Mubadalah.id – Seringkali, kita mendapat kabar tak menyenangkan dari arah Jakarta. Belum lama, kita mendapat kabar bahwa di Jakarta hujannya mengandung microplastik. Atau yang paling sering adalah polusi udara dan kemacetan. Tapi, kabar inklusi disabilitas cukup menjadi kabar gembira.
Bagaimana tidak, kabar sejuk yang menghampiri kita di mana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menggelar Job Fair & Upskilling untuk penyandang disabilitas. Dengan tema yang cukup inklusif “Peluang Tanpa Batas Membuka Jalan untuk Semua”, kita berharap ini bisa menjadi motor bagi pemangku kebijakan di daerah lain untuk menimplementasikan UU No. 8 Tahun 2016 tentang hak-hak penyandang Disabilitas yang masih tersendat.
Jalan Terjal Menuju Inklusi
Pekerjaan yang layak merupakan hak dasar bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mengembangkan diri sebagai manusia bermartabat. Namun, pada kenyataannya untuk mendapatkan itu tiap angkatan kerja, khususnya penyandang disabilitas harus menghadapi tantangan yang berat.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyandang disabilitas untuk mendapatkan akses pekerjaan. Pertama, faktor internal (Erissa and Widinarsih, Jurnal Pembangunan Manusia, 2022, Vol. 3) yaitu adanya ketidak selarasan kebutuhan pasar tenaga kerja dengan kemampuan para penyandang disabilitas.
Minimnya akomodasi yang layak untuk membekali mereka kemampuan bisa menjadi penyebabnya. Serta minimnya akses informasi ketenagakerjaan juga bisa menjadi sebab, terutama penyandang disabilitas yang berada pedesaan atau pedalaman.
Kedua, faktor eksternal juga turut menghambat pemenuhan akses ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas. Faktor utama yang melanggengkan kondisi tersebut (Nurul, Tahir, & Hasbi, Sosio Informa, 2022, Vol. 8) adalah diskriminasi. Baik diskriminasi institusional seperti prosedur atau kebijakan yang justru memberatkan penyandang disabilitas.
Diskriminasi lingkungan fisik atau hambatan arsitektural dimana prasarana yang di lingkungan kerja tidak mempertimbangkan kebutuhan semua orang, terutama penyandang disabilitas. Terakhir, diskriminasi sikap, sering muncul antar-individu khususnyadi dunia kerja yang disebabkan stereotip dan ketidakpahaman seseorang terhadap penyandang disabilitas.
Menggeser Cara Pandang: Dari Model Medis ke Model Sosial
Cara pandang atau pendekatan kita terhadap disabilitas juga turut melestarikan segregasi terhadap penyandang disabilitas. Pandangan yang menempatkan penyandang disabilitas sebagai “obyek” yang membutuhkan belas-kasihan (charity) – justru membuat mereka semakin termarjinalkan.
Kita masih terkungkung dengan pandangan bahwa “disabilitas” adalah masalah kesehatan (medical model) yang dialami individu akibat oleh penyakit, trauma, atau kecelakaan yang membutuhkan perawatan medis secara terus menerus.
Dan jika masih memandang disabilitas dengan model tersebut pasti akan menimbulkan marjinalisasi atau segregasi-karena masih memandang mereka “objek”. Untuk itu, perlu pendekatan baru yaitu pendekatan model sosial.
Merujuk pada model sosial Robert Putnam setidaknya ada empat ciri pendekatan modal sosial, yaitu 1) menggeser fokus: dari indivdu ke hambatan, 2) menghapus norma eksklusif, 3) pemberdayaan dan partisipasi penuh, dan 4) mengubah ketergantungan menjadi otonom.
Sejalan dengan cara pandang KUPI dalam memandang disabilitas. Di mana kita harus memandang mereka sebagai manusia utuh (karamah insaniyah) yang bisa menjadi subyek pemberi atau penerima kebaikan. Artinya, mereka bisa berpartisipasi penuh dalam menentukan kebijakan atau atursn untuk memastikan hak-hak mereka – termasuk akomodasi agar benar-benar ramah disabilitas (takyif).
Kawal Inklusifitas Sampai Tuntas
Adanya Komisi Nasional Disabilitas (KND) juga menjadi kabar sejuk untuk kita. Tapi, kita tidak bisa mengandalkan KND saja dalam mengawal sekaligus memastikan terlaksananya Undang-undang tentang disabilitas. Perlu adanya dukungan lintas sektor atau stakeholder. Jika dianalogikan, KND merupakan ujung tombak dan kita (stakeholder) adalah gagangnya.
Mulai dari membangun kesadaran kolektif terhadap isu disabilitas dengan mengagitasi publik melalui media sosial. Karena dewasa ini media sosial menjadi sarana untuk menyebarkan informasi lebih cepat.
Dan muara dari menyuarakan hak-hak disabilitas ini adalah “kemandirian disabilitas”. Karena kemandirian bagi disabilitas merupakan “proud” – mereka memiliki kontrol penuh atas diri sendiri, partisipasi penuh dalam masyarakat (inklusi), dan mendapat dukungan sosial.
Langkah Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bisa menjadi bukti komitmen negara yang berkolaborasi dengan stakeholder disabilitas untuk menghapus stigma atau menghapus narasi belas-kasih (Charity) ke pemberdayaan dan pemenuhan hak.
Dan ini hanya langkah kecil saja dalam implementasi pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Terus dukung dan kawal isu disabilitas agar langkah kecil ini agar semakin meluas. []












































