Mubadalah.id – Setiap 12 November, bangsa Indonesia merayakan Hari Ayah Nasional, sebuah momen yang masih jarang mendapat sorotan sebesar Hari Ibu. Padahal keduanya sama penting dalam menumbuhkan kasih dan keseimbangan dalam keluarga.
Sosok ayah kerap hadir dalam diam, tanpa banyak kata, namun di balik ketegasannya tersimpan kasih yang dalam dan pengorbanan yang tulus. Ia mungkin tidak mengekspresikan cinta lewat pelukan atau kata-kata manis, tetapi melalui kerja keras, tanggung jawab, dan doa yang tak terdengar.
Karena itu, Hari Ayah Nasional bukan sekadar peringatan simbolik, melainkan ajakan untuk merenungi kembali makna kehadiran ayah. Sosok yang menjadi penopang keluarga, pelindung yang setia, dan teladan yang layak kita rayakan, sebagaimana ibu juga kita muliakan setiap tahunnya.
Cinta yang Terkadang Terlupa
Ketika berbicara tentang kasih sayang dan pengorbanan dalam keluarga, bayangan pertama yang muncul sering kali adalah sosok ibu. Ibu identik dengan kasih tanpa batas, kelembutan, dan pelukan yang menenangkan.
Namun, di balik sosok ibu yang penuh cinta, ada pula figur ayah yang sering kali hadir dalam diam. Ayah bekerja tanpa banyak kata, namun memiliki makna yang sama mendalam. Cinta seorang ayah mungkin tidak sehangat kata-kata, tetapi tersimpan dalam tindakan nyata. Dalam kerja keras, tanggung jawab, dan doa yang tidak pernah terucap.
Sayangnya, perhatian publik terhadap sosok ayah masih jauh dari seimbang. Di Indonesia, Hari Ibu yang jatuh setiap 22 Desember selalu kita peringati dengan gegap gempita. Berbagai acara, ucapan, dan simbol penghormatan tersebar di mana-mana. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa Indonesia juga memiliki Hari Ayah Nasional, yang kita peringati setiap 12 November. Hari penting ini sering kali berlalu tanpa gaung, seolah cinta dan pengorbanan ayah tak perlu kita rayakan.
Padahal, sosok ayah memiliki peran yang sangat vital dalam membentuk fondasi keluarga. Ia bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga penjaga nilai, penuntun moral, dan teladan tangguh bagi anak-anaknya. Dalam keheningannya, ayah mengajarkan arti tanggung jawab, keteguhan, dan kesetiaan.
Ia mungkin tidak sering memeluk, tetapi melalui tindakannya, anak-anak belajar tentang cinta yang kuat dan konsisten. Maka, layaklah jika setiap 12 November menjadi momen untuk menghargai peran ayah, bukan hanya sebagai figur otoritas, melainkan juga sebagai sosok penyayang yang sering tersembunyi di balik ketegasan.
Jejak dan Makna Hari Ayah Nasional
Tidak banyak yang mengetahui bahwa Hari Ayah Nasional di Indonesia bukanlah hasil keputusan pemerintah pusat semata, melainkan lahir dari inisiatif masyarakat. Hari penting ini pertama kali dideklarasikan pada 12 November 2006 oleh Perkumpulan Putra Ibu Pertiwi (PPIP) di Surakarta, Jawa Tengah.
Ide ini muncul dari kesadaran bahwa selama ini belum ada hari khusus untuk menghormati ayah, padahal peran mereka sama pentingnya dengan ibu dalam pembangunan keluarga dan bangsa.
PPIP memilih tanggal 12 November karena bertepatan dengan Hari Kesehatan Nasional, melambangkan keseimbangan antara peran ayah dalam menjaga kesehatan lahir batin keluarga dan peran ibu dalam menumbuhkan kasih sayang serta kehidupan.
Dalam deklarasi tersebut, turut diadakan sayembara penulisan surat untuk ayah, yang menggugah banyak emosi dan mengingatkan masyarakat bahwa cinta kepada ayah pun layak diungkapkan dengan bangga.
Hari Ayah Nasional sejatinya bukan sekadar perayaan simbolik, melainkan momentum reflektif. Ia mengingatkan masyarakat bahwa figur ayah memerlukan ruang pengakuan dan penghargaan.
Di era modern ini, banyak ayah yang berjuang menyeimbangkan peran tradisional sebagai pencari nafkah dengan tuntutan emosional keluarga. Tidak sedikit pula ayah tunggal yang harus berperan ganda, menjadi pelindung sekaligus pengasuh. Mereka bekerja, mencintai, dan berjuang dalam senyap demi kesejahteraan anak-anak mereka.
Peringatan Hari Ayah juga penting untuk mengembalikan nilai keutuhan keluarga. Di tengah arus modernisasi dan digitalisasi yang membuat interaksi keluarga semakin minim, momen ini bisa menjadi pengingat untuk mempererat hubungan emosional antara anak dan ayah. Mungkin sudah saatnya masyarakat belajar untuk tidak hanya mengucapkan “terima kasih” pada Hari Ibu, tetapi juga berkata “aku mencintaimu” pada Hari Ayah.
Menghidupkan Kembali Cinta Sunyi Ayah
Menghormati ayah tidak selalu harus dengan perayaan besar. Kadang, hal sederhana seperti ucapan tulus, pelukan hangat, atau sekadar meluangkan waktu untuk berbincang bisa menjadi bentuk penghargaan yang berarti.
Ayah adalah sosok yang sering kali tidak menuntut, tetapi selalu memberi. Ia mungkin jarang mengekspresikan perasaannya, namun setiap keringat yang jatuh adalah bukti cintanya. Hari Ayah Nasional memberi ruang bagi kita untuk mengenali cinta itu, yang mungkin selama ini terpendam di balik kesibukan hidup.
Generasi muda perlu dididik untuk lebih peka terhadap peran ayah. Film, buku, dan kurikulum pendidikan keluarga bisa berperan menumbuhkan kesadaran bahwa ayah bukan hanya pelindung, tetapi juga teman, pendidik, dan figur kasih yang sejajar dengan ibu.
Di media sosial, kampanye Hari Ayah Nasional bisa digalakkan untuk menebarkan kisah inspiratif tentang para ayah di seluruh Indonesia—dari ayah petani, sopir, guru, hingga pekerja migran yang berjuang di tanah seberang demi keluarga. Cerita-cerita seperti ini dapat menghidupkan kembali penghormatan terhadap sosok ayah yang sering terlupakan.
Lebih dari itu, Hari Ayah Nasional juga menjadi pengingat bagi para ayah sendiri untuk menyeimbangkan cinta dan tanggung jawab. Dunia modern kerap menekan mereka dengan tuntutan ekonomi, tetapi kebahagiaan keluarga tidak selalu diukur dari materi. Anak-anak membutuhkan kehadiran ayah secara emosional, bukan hanya finansial. Seorang ayah yang hadir, mendengarkan, dan memeluk anaknya adalah bentuk kasih yang paling berharga.
Kini, saat kita memasuki 12 November, marilah kita berhenti sejenak untuk merenung. Kirimkan pesan, telepon, atau peluk ayah dengan tulus. Sampaikan bahwa cinta dan kerja kerasnya tidak sia-sia.
Sebab, di balik langkah-langkah tegar seorang ayah, ada kasih yang ingin dirasakan, dan ada kebanggaan yang ingin dikenang. Selayaknya ibu, ayah pun layak dirayakan, karena cinta mereka sama agungnya — hanya cara mengekspresikannya yang berbeda. []












































