Mubadalah.id – Di tengah semakin parahnya kerusakan lingkungan dan krisis iklim global, posisi perempuan adat menjadi salah satu yang paling rentan. Mereka bukan sekadar saksi dari perubahan yang menggerus ruang hidupnya, tetapi juga penjaga kehidupan yang selama berabad-abad telah merawat hutan, sungai, dan tanah melalui pengetahuan lokal yang terwariskan turun-temurun.
Namun, dalam arus besar kapitalisme ekstraktif, peran dan suara perempuan adat seringkali terabaikan. Bahkan tersingkirkan dari proses pengambilan keputusan yang menentukan nasib mereka sendiri.
Krisis iklim di Indonesia memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi yang telah lama ada. Perempuan adat mengalami double burden (beban ganda) mereka menanggung beban kerusakan lingkungan sekaligus ketidaksetaraan gender yang masih melekat kuat dalam struktur sosial.
Menurut data Perempuan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) tahun 2020, sekitar 67,4% perempuan adat di 31 komunitas di Indonesia tidak pernah terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Terutama terkait pengelolaan hutan dan sumber daya alam. Sementara 90% di antaranya tidak pernah mendapatkan hak atas Free, Prior and Informed Consent (FPIC) terhadap proyek yang dilakukan di wilayah adat mereka (Perempuan AMAN, 2020).
Angka ini menunjukkan bahwa sistem hukum dan kebijakan lingkungan di Indonesia masih sangat bias gender. Penguasaan lahan adat dan proses perizinan tambang atau perkebunan besar hampir selalu dominan laki-laki.
Situasi ini membuat perempuan kehilangan akses terhadap sumber penghidupan dasar seperti air bersih, lahan pertanian, hasil hutan, dan ruang spiritual. Padahal, dalam banyak komunitas adat, perempuan memiliki peran penting sebagai penjaga benih, pengelola pangan, dan pelindung sumber daya air.
Rendahnya Keterlibatan Perempuan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) pada 2023 juga menyoroti rendahnya keterlibatan perempuan dalam skema Perhutanan Sosial. Dari 103 kelompok pengelola hutan sosial yang tersurvei, 94% pengurusnya didominasi laki-laki (Antaranews, 2023).
Hal ini memperkuat fakta bahwa meskipun perempuan adalah pihak yang paling terdampak oleh krisis lingkungan, mereka justru paling sedikit memiliki akses untuk menentukan arah pengelolaan sumber daya alam.
Ekspansi industri ekstraktif seperti pertambangan, sawit, dan pembangunan infrastruktur skala besar telah mengubah wajah banyak wilayah adat di Indonesia. Hutan-hutan adat yang selama ini menjadi sumber kehidupan sekaligus ruang spiritual masyarakat adat kini beralih menjadi lahan produksi yang terkendalikan oleh korporasi.
Penelitian Ground Truth Initiative (2024) menunjukkan bahwa rata-rata keterlibatan perempuan dalam badan pengelola hutan desa di Indonesia hanya mencapai 19,54%. Sedangkan di skema hutan kemasyarakatan hanya 13,95%. Rendahnya partisipasi ini bukan semata karena ketidakinginan perempuan, tetapi akibat dari kebijakan dan struktur sosial yang tidak memberi ruang bagi mereka untuk berpartisipasi secara setara.
Dalam Masyarakat Dayak Benawan di Kalimantan Barat, misalnya. Perempuan memiliki peran penting dalam menjaga ketersediaan pangan dan melestarikan hutan. Namun, dengan masuknya investasi perkebunan dan tambang, mereka kehilangan hak atas tanah dan hasil hutan yang menjadi sumber ekonomi keluarga.
Penelitian oleh Lectito Publishing (2023) mencatat bahwa kolonialisme dan kepemilikan tanah yang timpang menyebabkan perempuan adat mengalami “loss of livelihood and lack of land ownership which disproportionately affect women in the community.” Dalam konteks ini, perempuan adat bukan hanya kehilangan sumber ekonomi, tetapi juga kehilangan bagian dari identitas dan sistem pengetahuan mereka.
Kerentanan Perempuan Adat
Hilangnya hutan adat berarti hilangnya pengetahuan ekologis yang selama ini menjadi dasar adaptasi terhadap perubahan iklim. Misalnya, praktik agroforestri tradisional, pengelolaan air berbasis siklus alam, atau pengetahuan tentang tanaman obat dan pangan lokal. Ketika sistem-sistem ini tergantikan oleh logika industri dan monokultur, kemampuan komunitas adat untuk bertahan dari dampak iklim pun menurun drastis.
Kerentanan perempuan adat bukanlah takdir, melainkan hasil dari ketimpangan struktural. Oleh karena itu, langkah menuju keadilan iklim harus menempatkan perempuan adat sebagai subjek utama dalam perumusan kebijakan. Negara wajib menjamin hak mereka atas partisipasi, akses terhadap sumber daya, dan perlindungan dari kekerasan berbasis gender yang sering muncul dalam konflik sumber daya alam.
Pendekatan yang kita gunakan dapat merujuk pada teori Keadilan Lingkungan oleh Robert Bullard, yang menekankan bahwa beban kerusakan lingkungan tidak boleh ditanggung secara tidak proporsional oleh kelompok rentan.
Dalam konteks Indonesia, ini berarti bahwa perempuan adat harus mendapatkan perlakuan adil dan perlindungan hukum dalam menghadapi proyek-proyek ekstraktif yang berpotensi merusak lingkungan mereka. Mengabaikan perempuan adat berarti mengabaikan masa depan bumi.
Perempuan adat adalah ibu paling ajaib di muka Bumi. Pengetahuan mereka dalam merawat Bumi, mengolah makanan, dan menjalankan ritual adat merupakan identitas unik mereka. Hal itu penting dalam rencana adaptasi perubahan iklim.
Memasukkan hak kolektif mereka ke dalam undang-undang dan dokumen kebijakan di tingkat nasional dan desa adalah hal yang sangat penting. Sekali lagi, mengakui identitas dan hak kolektif mereka adalah awal dari penerimaan, perlindungan, dan dukungan terhadap peran perempuan adat sebagai penjaga hutan. []












































