Mubadalah.id – Banyak orang menganggap menonton film di bioskop sebagai pengalaman yang menyenangkan. Bagi saya sendiri, menyempatkan menonton film di bioskop adalah sebuah self-reward. Cara singkat merayakan diri, melepas penat, dan meminjam sejenak dunia lain sebelum kembali ke hari-hari yang monoton.
Namun bagi penonton difabel, pengalaman itu justru menjadi hambatan. Bagaimana tidak? Sering kali pengelola bioskop hanya memberi penonton difabel tempat di deret paling depan tanpa pilihan lain. Ruang hiburan itu pun kerap hanya berupa tempat parkir kursi roda di deret paling depan, bukan sebagai bentuk kursi penonton yang setara.
Padahal, saya sendiri yang pernah duduk di baris “K” saja dan letaknya di samping, bahkan belum sampai barisan paling depan, kepala dan leher saya sudah terasa sakit, pandangan ke layar pun melelahkan. Nah, di titik ini membawa saya untuk melihat secara holistik. Bagaimana sebuah ruang diproduksi dan siapa saja yang dianggap layak menikmati kenyamanan di dalamnya.
Desain Ruang yang Mengatur Tubuh
Melalui karyanya, “Discipline and Punish”, Foucault menjelaskan bahwa institusi modern sering kali membentuk tubuh melalui ruang. Ruang tidak hadir secara netral, karena perancangnya membentuk cara manusia bergerak, duduk, memandang, dan bahkan merasakan.
Dalam ruang bioskop, kita bisa melihat bagaimana perancang menyusun bangku-bangku secara rapat, membentuk jalur masuk yang bertingkat, dan menempatkan layar lebar sejajar dengan barisan tengah sebagai titik pandang ideal.
Seluruh desain ini diam-diam menyampaikan pesan mengenai tubuh seperti apa yang dibayangkan oleh arsitek ruang tersebut. Tak lain, adalah tubuh yang dapat menaiki tangga tanpa kesulitan, melihat layar dari ketinggian tertentu, dan mampu menyesuaikan diri dengan posisi tubuh yang ditentukan.
Saat desain ruang dibuat berdasarkan satu standar tubuh, maka tubuh lain dianggap tidak pas. Foucault menyebutnya sebagai proses normalisasi. Ruang mendorong kita untuk memenuhi standar tersebut, sekaligus memperlihatkan siapa saya yang tidak cocok dengannya.
Maka, ya bisa saya katakan, desain ruang bioskop menempatkan tubuh difabel sebagai tubuh di luar standar. Alhasil merekalah yang harus menyesuaikan diri dengan ruang, bukan sebaliknya.
Ketidaknyamanan yang Tak Terlihat
Barisan paling depan sering menjadi contoh nyata bagaimana ruang bisa mengutamakan sebagian orang dan mengabaikan yang lain. Bagi sebagian besar pengunjung, duduk di depan adalah pilihan terakhir karena pandangan terlalu dekat dan mata, leher, dan kepada cepat lelah.
Namun bagi banyak penonton difabel, posisi ini bukan lagi soal pilihan karena bioskop hanya menyediakan satu opsi itu. Mereka tidak mendapatkan kemungkinan untuk menikmati film dari bagian tengah atau belakang studio karena tidak ada ramp, jalur datar yang aman, bahkan kursi yang dapat ditempati bersama rombongan. (Kendati, di satu atau dua bioskop sudah memberikan fasilitas pintu masuk melalui kursi paling belakang, tetapi masih sangat jarang saya temukan).
Di titik ini saya menyadari bahwa ketidaknyamanan yang saya rasakan sesekali, adalah ketidaknyamanan yang harus mereka terima setiap kali. Bagi penonton difabel, ruang yang tersedia bukan hanya tidak nyaman, tetapi juga mengirim pesan bahwa kenyamanan mereka tidak menjadi prioritas. Pemisahan itu membuat pengalaman menonton menjadi tidak setara. Ruang yang seharusnya menjadi tempat rekreasi justru memisahkan siapa pun yang tidak sesuai dengan standar tubuh ideal.
Ruang Hiburan, Sebenarnya Hak Siapa?
Melalui lensa Rawlesian, kita bisa melihat ketimpangan ini dengan lebih tajam. John Rawls mengatakan bahwa sebuah ketidaksamaan hanya dapat diterima apabila hal itu menguntungkan kelompok yang paling tidak beruntung.
Namun pada kasus bioskop, ketidaksamaan justru bergerak sebaliknya. Mereka yang memiliki kemampuan fisik lebih fleksibel mendapat lebih banyak pilihan kursi, lebih banyak kenyamanan, dan lebih banyak ruang untuk menikmati film bersama teman-teman. Sebaliknya, mereka yang berada dalam posisi lebih rentan justru harus menerima area yang paling sempit, paling tidak nyaman, dan paling jauh dari pengalaman audio-visual yang terbaik.
Nah, kita bisa melihat bahwa desain ruang bioskop saat ini tidak memenuhi prinsip keadilan. Ketidaksamaan dalam penempatan kursi tidak memberikan keuntungan apa pun bagi kelompok yang paling rentan. Dalam konteks ini, desain ruang tidak lagi berdiri sebagai keputusan arsitektural semata, melainkan mencerminkan keputusan moral tentang siapa yang pantas menerima kenyamanan dan siapa yang tidak.
Hak atas Budaya dan Kerangka Hukum
Dengan kerangka ini, akses bukanlah kemurahan hati, melainkan kewajiban. Kursi roda yang hanya “diparkir” di deret depan, ketiadaan jalur datar menuju barisan tengah dan belakang, serta absennya pilihan duduk bersama rombongan tidak sejalan dengan semangat pemenuhan hak. Ruang hiburan seharusnya memungkinkan semua orang menikmati film dengan kualitas pengalaman yang setara. Bukannya memaksa sebagian penonton menerima kenyamanan yang tersisa.
Menuju Ruang Menonton yang Lebih Setara
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah kondisi ini dapat berubah. Jawabannya dapat kita temukan ketika bioskop mulai menempatkan penonton difabel sebagai bagian dari pengguna utama ruang.
Artinya adalah bioskop perlu kembali merancang jalur masuk, posisi kursi, dan akses ke barisan tengah dan belakang sehingga penonton difabel juga dapat memilih di mana mereka ingin duduk. Dalam praktiknya, ini bukan hanya persoalan teknis. Namun persoalan bagaimana kita membayangkan siapa saja yang berhak menikmati sebuah film dengan kualitas yang terbaik.
Menghadirkan ruang yang lebih setara berarti memberikan pilihan yang sama kepada semua orang. Ruang inklusif tidak boleh berhenti pada penambahan tanda khusus atau area kecil di sisi depan. Ruang inklusif harus lahir dari kesadaran bahwa semua tubuh berbeda dan semua tubuh memiliki hak yang sama atas kenyamanan.
Pada akhirnya, isu mengenai desain ruang bioskop bukan hanya persoalan teknis tentang ramp, kursi, atau denah studio. Masalah ini berkaitan dengan bagaimana kita memahami keadilan dalam ruang publik.
Foucault mengingatkan bahwa ruang membentuk manusia, sedangkan Rawls mengajak kita melihat apakah ruang tersebut telah memperlakukan setiap orang secara adil. Ketika bioskop hanya memberi sebagian orang pengalaman menonton yang ideal, ruang itu sesungguhnya belum memenuhi tugasnya sebagai ruang hiburan yang adil. []












































