Mubadalah.id – Peringatan Hari Toleransi Internasional seharusnya menjadi momentum bagi setiap bangsa untuk melihat kembali sejauh mana prinsip toleransi benar-benar dihayati dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun bagi Indonesia, hari ini justru menjadi pengingat betapa jauhnya kita tertinggal dalam memenuhi komitmen tersebut, khususnya dalam menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinanberagama dan berkeyakinan.
Negara Indonesia telah gagal menjalankan amanat konstitusi, terutama dalam memberikan perlindungan yang setara bagi setiap warga negara tanpa memandang keyakinannya. Catatan SETARA Institute menunjukkan bahwa dari tahun 2024 hingga pertengahan 2025 terjadi 402 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Termasuk 260 tindakan intoleran.
Angka ini adalah potret nyata bahwa negara yang seharusnya menjadi pelindung utama kebebasan warganya, justru gagal menjalankan amanat konstitusinya.
Kasus Intoleransi yang Terus Berulang
Di berbagai daerah, kelompok minoritas agama dan kepercayaan masih menghadapi penolakan, pembubaran kegiatan ibadah, persekusi, bahkan perusakan rumah ibadah. Kondisi ini menegaskan bahwa jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijanjikan dalam konstitusi belum benar-benar hadir sebagai perlindungan konkret di tingkat akar rumput.
Pola ini kembali terlihat dalam kasus terbaru yang menimpa Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Pada awal November lalu, JAI berencana mengadakan Musabaqah Tilawatil Qur’an Nasional (MTQN) untuk memperingati 100 tahun keberadaan mereka di Indonesia. Sebagai warga negara yang sah, mereka berhak merayakan sejarah komunitasnya dan menjalankan ibadah sebagaimana umat beragama lainnya.
Namun, alih-alih memberikan ruang sebagaimana mestinya, acara tersebut justru dilarang oleh pemerintah daerah melalui rekomendasi Kesbangpol. Larangan itu kembali merujuk pada regulasi seperti SKB 3 Menteri dan sejumlah aturan daerah yang sejak lama, sangat bertentangan dengan hak dasar warga negara.
Larangan terhadap aktivitas JAI bukanlah kasus pertama terjadi. Ia merupakan bagian dari rantai panjang kebijakan dan tindakan diskriminatif yang dilegitimasi oleh negara melalui regulasi yang kabur dan kerap dijadikan alat untuk membatasi kelompok minoritas. Regulasi-regulasi seperti SKB 3 Menteri tidak hanya melanggengkan stigma, tetapi juga membuka ruang pembenaran bagi aparat untuk melakukan pembatasan.
Dalam konteks inilah, negara tampak tidak sekadar gagal, tetapi juga sering kali menjadi aktor yang memperburuk keadaan. Ketika warga negara harus merasa takut menjalankan keyakinannya sendiri karena intervensi negara. Maka kita seang menyaksikan bagaimana fungsi negara sebagai pelindung hak telah tergeser menjadi sumber ancaman.
Dalih Ketertiban Umum
Di banyak kasus, aparat berdalih menjaga “ketertiban umum”. Padahal, yang sering terjadi justru negara tunduk pada tekanan kelompok intoleran dan memilih jalan pintas dengan cara membatasi korban. Bukan menindak pelaku.
Padahal Pasal 28E dan 29 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak fundamental yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Mandat ini seharusnya menjadi dasar kuat untuk merevisi atau mencabut semua regulasi diskriminatif yang masih berlaku. Serta memastikan bahwa aparat tidak lagi menggunakan aturan-aturan tersebut untuk membatasi hak-hak warga negara.
Dalam momentum Hari Toleransi Internasional, kita harus mengingatkan kembali bahwa toleransi tidak bisa tumbuh di tengah pembiaran intoleransi. Negara harus memastikan bahwa setiap warga, termasuk mereka yang berbeda keyakinan mereka lindungi haknya secara setara.
Selama kasus seperti pelarangan aktivitas Ahmadiyah masih terus terjadi. Maka jangan berharap nilai toleransi benar-benar hidup dalam kehidupan berbangsa. Pasalnya, negara harus hadir sebagai penjamin kebebasan yang harus konstitusi jamin. []











































