Mubadalah.id – Dalam rangkaian peringatan Hari Lahir ke-25, Fahmina menggelar Kelas Diskusi Refleksi dan Inovasi Gerakan Pendidikan Transformatif dan Inklusif, di Ruang Konvergensi ISIF, Selasa (25/11/2025).
Kegiatan ini menjadi momentum evaluasi bersama sekaligus memperkuat komitmen gerakan pendidikan yang berpihak pada kelompok rentan, khususnya penyandang disabilitas.
Fasilitator, Roziqoh dalam sambutannya menegaskan bahwa momen seperempat abad Fahmina bukan hanya selebrasi, tetapi juga ruang untuk menajamkan daya kritis dan kesadaran publik terhadap isu disabilitas di dunia pendidikan.
Setelah sambutan, para peserta memperkenalkan diri. Mereka datang dari berbagai lembaga dan latar belakang: Umah Cirebon Inklusi, Dinas Sosial, SD Aulia Fahmina, Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), serta sejumlah komunitas dan pegiat pendidikan lainnya.
Peta Masalah Pendidikan Inklusif
Diskusi dimulai dengan pemetaan kondisi pendidikan saat ini. Ulya Aufiya menjadi peserta pertama yang menyampaikan pandangannya. Menurutnya, masih banyak sekolah yang enggan menerima siswa disabilitas.
“Banyak guru belum bisa menerima siswa disabilitas. Setelah saya telusuri, penyebabnya beragam: siswa lain merasa terganggu, guru tidak punya perspektif disabilitas, dan sekolah belum siap,” ujar Ulya.
Senada dengannya, Dosen ISIF, Samud, menambahkan bahwa faktor fasilitas dan stigma orang tua juga menjadi penghalang.
“Fasilitas belum tersedia, sementara sebagian orang tua merasa malu memiliki anak berkebutuhan khusus. Akhirnya mereka menutup diri dan tidak terinformasi,” jelasnya.
Perwakilan Dinas Sosial turut memberikan pandangan. Ia menyebut kebijakan daerah sebenarnya terus berkembang, tetapi belum memiliki sinergi yang kuat dengan lembaga pendidikan.
“Setiap kota punya kebijakan awareness, tapi sinerginya dengan sekolah atau organisasi belum kuat,” ungkapnya.
Berbeda dari paparan kendala, salah satu guru SD Aulia Fahmina berbagi praktik baik tentang penerapan pendidikan inklusif di sekolah mereka.
“Kami menyiapkan shadow teacher atau Guru Pembimbing Khusus. Kami juga memiliki psikolog yang mencatat perkembangan anak dan menyusunnya menjadi PPI (Program Pendidikan Individual),” jelas perwakilan SD Aulia.
Merumuskan Solusi Bersama
Memasuki sesi rekomendasi, Roziqoh membagi peserta ke dalam tiga kelompok beranggotakan 5–7 orang. Setiap kelompok diminta merumuskan solusi atas persoalan yang muncul.
Hasil diskusi melahirkan lima rekomendasi penting:
Pertama, Edukasi dan sosialisasi kepada keluarga dan lembaga pendidikan, disertai penguatan perspektif bersama.
Kedua, Konsolidasi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan untuk meningkatkan kualitas dan akses layanan pendidikan bagi anak disabilitas.
Ketiga, Pendirian unit konseling serta pembentukan forum komunikasi antara sekolah dan orang tua.
Keempat, Peningkatan aksesibilitas fisik bagi penyandang disabilitas di fasilitas publik dan lembaga pendidikan.
Kelima, Penyusunan dokumen ramah disabilitas, baik kurikulum maupun panduan lain, dengan kemungkinan kerja sama bersama Fahmina dan Mubadalah.
Diskusi refleksi ditutup dengan pesan dari Roziqoh agar gerakan pendidikan inklusif terus berlanjut dan tidak berhenti pada forum hari itu.
“Semoga refleksi ini menjadi awal, bukan akhir. Masih banyak ruang diskusi yang harus kita hidupkan. Ini bicara tentang hak manusia,” tukasnya. []






































