Mubadalah.id – Istilah ‘anak durhaka’ telah sering menghiasi obrolan sehari-hari. Biasanya, istilah ini merujuk pada anak badung atau nakal yang berkelakuan buruk dan berani kepada orang tuanya.
Salah satu cerita rakyat legendaris ihwal anak durhaka yang terkenal di masyarakat tentu kisah Malin Kundang. Ketika telah sukses, Malin Kundang enggan mengakui ibunya. Sang ibu yang sakit hati lantas mengutuknya menjadi batu.
Kisah ini kerap menjadi tuturan dan nasihat untuk anak-anak agar mereka taat dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Namun, siapa sangka, selain anak, orang tua juga bisa durhaka kepada anaknya.
Bagaimana mungkin?
Meski belum banyak diketahui, hal itu sangat mungkin terjadi. Kisah orang tua durhaka kepada anaknya tertuang dalam Kitab Tanbihul Ghafilin karangan Abu Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim As Samarqandi. Pada bab perihal hak-hak anak, muncul sebuah riwayat menarik.
Ayah, anak, serta Amirul Mukminin
Seorang ayah membawa anak lelakinya menghadap kepada Khalifah Umar bin Khattab. Setibanya di kediaman sang amir, ayah tersebut lantas menyampaikan maksud kedatangannya. Ia mengadu tentang perangai anaknya.
“Wahai Amirul Mukminin! Ketahuilah bahwasanya anakku ini telah durhaka kepadaku!” lapor si ayah.
Mendengar laporan itu, Khalifah Umar Al Faruq diam sejenak. Ia tak buru-buru menghakimi. Amirul Mukminin itu lantas menjelaskan hak-hak orang tua yang wajib bagi anak untuk menunaikannya. Seusai menjelaskan, si anak lelaki lalu menyambung.
“Adakah hak-hak anak yang mesti orang tua tunaikan?” tanyanya lugu.
“Tentu, yakni memilihkan ibu yang baik, memberikan nama yang mulia, serta mengajarkan anak untuk mengenal kitab sucinya,” jawab Umar.
Mendengar jawaban tersebut, si anak segera menimpali, “Sungguh ayahku tak memilihkan ibu yang baik untukku. Ia hanya membeli seorang budak seharga 400 dirham untuk diperistri.”
“Ia tidak memilihkan nama yang baik. Ia memberi nama yang buruk untukku. Ia memilihkan nama Ja’lan yang berarti kelelawar jantan. Ia juga tak mengajariku satu ayat saja dari Alquran,” curhat sang anak.
Mendengar curhatan tersebut, Khalifah Umar segera merah padam wajahnya. Ia lalu berujar, “Katamu anakmu durhaka? Kau sendiri telah durhaka padanya. Kembali!”
Tiga Hak Wajib bagi Anak
Kisah lelaki beserta anaknya yang menemui Khalifah Umar bin Khattab di atas menunjukkan jika orang tua yang tidak menunaikan hak-hak anak bisa disebut durhaka. Ini membuka pemahaman yang mungkin selama ini kabur, bahwa kedurhakaan seringkali hanya menisbat pada anak saja.
Pada tuturan tadi, tiga hak anak yang mesti orang tua penuhi adalah memilihkan ibu yang baik, memberikan nama mulia, serta mendidik anak untuk mengenal kitab suci. Artinya, anak berhak “mapan” secara biologis, atributif, serta intelektual.
Selain ketiganya, dalam hadits riwayat Abi Hurairah, satu kewajiban lain bagi orang tua ialah menikahkan anaknya tatkala ia telah dewasa. Kesemuanya merupakan wujud bakti orang tua kepada anaknya (birrul aulad) agar anak dapat menjadi pribadi yang sesuai harapan.
Teladan Khaulah binti Tsa’labah
Teladan orang tua yang sungguh-sungguh berbakti kepada anak-anaknya barangkali datang sosok Khaulah binti Tsa’labah. Ia adalah cucu dari Malik dan buyut dari Ad-Dakhsyim yang berasal dari kalangan Anshar Madinah.
Kitab tafsir Murah Labid karya Syekh Nawawi Al Bantani menyebut namanya sebagai figur kunci di balik asbabun nuzul Surat Al Mujadalah. Hal itu lantaran protesnya terhadap syariat di waktu itu yang menurutnya tak berpihak kepada kaum perempuan (isteri).
Kisahnya, suami Khaulah, yakni Aus bin Ash Shamit, telah melakukan sumpah zihar kepadanya. Di masa itu, zihar dan ila‘ hukumnya sama dengan talak. Khaulah merasa ini memberatkan, sebab ia memiliki banyak anak-anak.
Saat melapor pada Nabi Muhammad guna menggugat hukum itu, Khaulah menununjukkan betapa ia memperhatikan masa depan anak-anaknya. Selain anaknya banyak, ia pun masih punya anak kecil.
“Wahai, Rasulullah! Sesungguhnya aku masih memiliki seorang anak kecil. Anakku pun banyak. Seandainya aku menyerahkan mereka pada Aus saja (karena talak), maka sungguh anak-anakku akan terlantar. Namun, jika aku merawat mereka sendirian, pastilah mereka bakal kelaparan,” iba Khaulah.
Pada akhirnya, Khaulah binti Tsa’labah lantas pulang dan bermunajat. Ia memohon agar Allah menurunkan wahyu kepada Nabi agar hukum yang berlaku saat itu dapat berubah. Kesungguhan Khaulah terjawab. Allah menurunkan Surat Al Mujadalah sebagai jawaban atas gugatannya. []










































