Mubadalah.id – Krisis ekologis yang kita hadapi hari ini bukan sekadar persoalan teknis lingkungan, melainkan juga krisis makna dan spiritualitas. Kerusakan hutan, pencemaran air, perubahan iklim, serta punahnya keanekaragaman hayati menunjukkan adanya relasi yang timpang antara manusia dan bumi. Dalam konteks ini, ekoteologi hadir sebagai upaya reflektif yang mengaitkan iman, etika, dan tanggung jawab ekologis.
Merawat Bumi: Tanggung Jawab Etis dan Teologis
Merawat bumi merupakan panggilan etis yang sudah lama digaungkan dalam diskursus lingkungan dan teologi. Dalam banyak tradisi keagamaan, manusia dipahami sebagai penjaga ciptaan, bukan pemilik mutlak atas alam.
Konsep ini menekankan tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan, keberlanjutan, dan kelangsungan hidup seluruh makhluk. Merawat bumi berarti melakukan tindakan nyata seperti mengurangi eksploitasi sumber daya alam, menjaga kebersihan lingkungan, serta mengembangkan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan.
Dalam kerangka ekoteologi, merawat bumi berakar pada keyakinan bahwa alam memiliki nilai intrinsik karena merupakan bagian dari ciptaan Tuhan. Alam tidak hanya berfungsi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan manusia, melainkan juga sebagai ruang kehadiran ilahi. Oleh karena itu, merusak alam berarti merusak relasi sakral antara manusia, Tuhan, dan ciptaan lainnya.
Namun, pendekatan merawat bumi sering kali berhenti pada tataran moral dan praktis. Ia menekankan apa yang harus kita lakukan, tetapi belum sepenuhnya menyentuh dimensi batin manusia yang menjadi sumber dari perilaku eksploitatif.
Ketika krisis ekologis dipandang hanya sebagai masalah teknis, solusi yang ditawarkan pun bersifat parsial. Di sinilah kita perlukan pendalaman spiritual yang lebih radikal, yang tidak hanya mengubah tindakan, tetapi juga cara pandang dan relasi manusia dengan bumi.
Meruwat Bumi: Dimensi Penyembuhan dan Rekonsiliasi
Konsep meruwat berasal dari tradisi Jawa yang berarti membebaskan, membersihkan, atau memulihkan dari malapetaka dan ketidakseimbangan. Berbeda dengan merawat yang bersifat preventif dan berkelanjutan, meruwat mengandung dimensi penyembuhan terhadap sesuatu yang telah rusak atau terluka.
Dalam konteks ekologis, meruwat bumi berarti mengakui bahwa bumi telah mengalami luka mendalam akibat keserakahan, kekerasan struktural, dan dominasi manusia.
Meruwat bumi menuntut keberanian untuk melakukan refleksi kritis dan pengakuan dosa ekologis. Kerusakan lingkungan bukan peristiwa netral, melainkan hasil dari pilihan-pilihan manusia yang berorientasi pada keuntungan semata. Oleh karena itu, meruwat bumi mencakup proses pertobatan ekologis, yaitu perubahan cara berpikir, merasa, dan bertindak terhadap alam.
Dalam lanskap ekoteologi, meruwat bumi juga berarti memulihkan relasi yang retak: relasi manusia dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan alam. Alam tidak lagi terposisikan sebagai objek, tetapi sebagai sesama ciptaan yang memiliki martabat. Proses ruwatan ekologis dapat diwujudkan melalui ritus, doa, maupun praktik budaya yang menegaskan kembali kesakralan bumi. Di sini, kearifan lokal memainkan peran penting sebagai jembatan antara spiritualitas, budaya, dan ekologi.
Dengan demikian, meruwat bumi bukan sekadar simbolik, melainkan praksis transformatif. Ia mengajak manusia untuk tidak hanya “mengelola” alam secara lebih baik, tetapi juga untuk menyembuhkan luka-luka ekologis melalui rekonsiliasi dan solidaritas kosmik.
Spiritualitas Ekoteologis: Dari Aksi ke Transformasi Diri
Perjalanan dari merawat ke meruwat bumi menandai pergeseran spiritualitas ekoteologis dari orientasi aksi menuju transformasi diri. Spiritualitas ini mengajak manusia untuk melihat bumi sebagai ruang perjumpaan dengan Yang Ilahi, sekaligus sebagai cermin kondisi batin manusia. Krisis ekologis, dalam hal ini, mencerminkan krisis spiritual: keterasingan manusia dari alam dan dari dirinya sendiri.
Spiritualitas ekoteologis menumbuhkan kesadaran bahwa setiap tindakan ekologis memiliki dimensi spiritual, dan setiap praktik spiritual memiliki implikasi ekologis. Doa, ibadah, dan refleksi iman tidak dapat dipisahkan dari komitmen merawat dan meruwat bumi. Sebaliknya, tindakan ekologis yang tidak berakar pada spiritualitas berisiko menjadi dangkal dan tidak berkelanjutan.
Dalam konteks masyarakat majemuk, spiritualitas ekoteologis juga membuka ruang dialog antara iman dan budaya. Konsep meruwat bumi dapat menjadi bahasa bersama yang menjembatani teologi dengan kearifan lokal. Ia menawarkan cara baru untuk memahami keselamatan bukan hanya sebagai urusan manusia, tetapi sebagai pemulihan seluruh ciptaan.
Pada akhirnya, jalan spiritualitas ekoteologis mengajak manusia untuk hidup lebih rendah hati, penuh syukur, dan bertanggung jawab. Merawat bumi adalah langkah awal yang penting, tetapi meruwat bumi adalah panggilan yang lebih mendalam: menyembuhkan relasi, memulihkan keseimbangan, dan merajut kembali harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Dalam proses inilah, ekoteologi menemukan relevansinya sebagai spiritualitas yang membumi dan membebaskan. []












































https://shorturl.fm/3lUmT