Mubadalah.id – Aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Siti Maimunah, mengungkapkan perjuangan panjang masyarakat adat Mollo di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), dalam mempertahankan gunung batu dari aktivitas pertambangan marmer. Hal tersebut disampaikannya melalui tulisan yang dipublikasikan di Kupipedia.id.
Dalam tulisannya, Siti Maimunah menceritakan kunjungannya ke Mollo sekitar lima belas tahun lalu. Ia menuturkan bahwa wilayah tersebut memiliki lanskap alam yang subur, dengan pepohonan, savana, dan lahan pertanian yang hidup di sekitar gunung-gunung batu atau faut.
Kondisi tersebut, menurutnya, bertolak belakang dengan stigma umum yang kerap melekat pada wilayah NTT sebagai daerah kering dan tidak subur.
Namun, keindahan dan keseimbangan alam Mollo terancam oleh kehadiran industri tambang marmer. Siti Maimunah mencatat setidaknya terdapat empat perusahaan yang memperoleh izin konsesi pertambangan dari pemerintah daerah, yakni PT Setia Pramesti di Ajobaki, PT Semesta Alam Mermer di Desa Tunua, PT Sagared Mining di Desa Fatumnutu, serta PT Teja Sekawan di wilayah Fatumnasi–Kuanoel.
Keempat perusahaan tersebut, tulis Siti, menargetkan empat gunung batu yang memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat Mollo, yakni Nuamolo, Naususu–Anjaf, Naitapan, dan Fautlik.
Aktivitas penambangan menyebabkan kerusakan ekologis serius, mulai dari hancurnya bentang alam hingga terganggunya sumber-sumber penghidupan masyarakat.
Menurut Siti Maimunah, perbedaan mendasar antara masyarakat adat Mollo dan pemerintah serta perusahaan terletak pada cara pandang terhadap alam. Jika perusahaan melihat alam sebagai sumber daya ekonomi yang bisa mereka eksploitasi. Maka masyarakat Mollo memandang alam sebagai ruang hidup yang menyatu dengan identitas mereka.
Ia menegaskan bahwa perjuangan menolak tambang di Mollo bukan hanya persoalan lingkungan. Melainkan juga perjuangan mempertahankan budaya, dan keberlanjutan hidup masyarakat adat. []










































