Mubadalah.id – Akhir November 2025 menjadi periode kelam bagi Pulau Sumatra dan Aceh. Dalam rentang 25–30 November, bencana banjir besar dan longsor menerjang Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh.
Sejumlah wilayah terdampak parah, mulai dari Aceh Tamiang, Sibolga, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, hingga Tapanuli Selatan. Ribuan rumah terendam, akses transportasi lumpuh, dan ribuan warga terpaksa mengungsi.
Para ahli lingkungan, akademisi, dan kelompok masyarakat sipil menyebutkan bahwa banjir dan longsor ini adalah akumulasi dari kerusakan ekologis yang dibiarkan berlangsung bertahun-tahun.
Data menunjukkan skala bencana yang mencengangkan. Hingga awal Desember 2025, tercatat lebih dari 900 orang meninggal dunia, ratusan lainnya masih hilang, dan ribuan warga mengalami luka-luka.
Lebih dari tiga juta penduduk terdampak langsung, sementara ratusan ribu lainnya harus mengungsi. Puluhan ribu bangunan rusak, dari rumah warga hingga fasilitas umum.
Cuaca Ekstrem dan Ekologi yang Rapuh
Para pakar dari Institut Teknologi Bandung menjelaskan bahwa bencana ini dipicu oleh dua faktor utama. Pertama, dinamika atmosfer global yang memicu pembentukan awan kumulonimbus dalam skala besar. Bibit siklon tropis di Selat Malaka berkembang menjadi siklon yang memperpanjang hujan hingga lebih dari 24 jam, bahkan berlangsung beberapa hari berturut-turut. Fenomena ini memang jarang terjadi di wilayah khatulistiwa.
Namun faktor kedua justru lebih pada kerusakan ekologis. Hutan-hutan di wilayah hulu sungai telah lama digerus oleh penebangan liar, tambang ilegal, dan alih fungsi lahan tanpa kendali. Ketika hujan ekstrem datang, alam sudah tidak memiliki daya tahan.
Hutan sebenarnya adalah tempat menyerap air hujan, menahannya di tanah, lalu melepaskannya secara perlahan. Ketika hutan hilang, air tidak lagi tertahan. Ia langsung mengalir ke sungai, membawa tanah, batu, dan lumpur, lalu berubah menjadi banjir bandang dan longsor yang mematikan.
Tambang, Sawit, dan Penebangan Liar
Sumatra adalah bukti bagaimana eksploitasi berlebihan menciptakan bencana. Ribuan izin usaha pertambangan mineral dan batubara tersebar di pulau ini, mencakup jutaan hektare lahan.
Bahkan, perkebunan sawit juga terus meluas, sering kali mengorbankan hutan alam dan daerah resapan air. Belum lagi pembangunan infrastruktur skala besar seperti bendungan dan PLTA yang mengubah bentang alam secara drastis.
Terlebih, penebangan liar memperparah kondisi ini. Kita bisa melihat bagaimana gelondongan kayu yang terbawa arus banjir, menghantam rumah dan jembatan. Ini bukan kebetulan. Ini jejak kejahatan lingkungan.
Ketika hutan tersisa diperkirakan tinggal sekitar 30 persen, jangan heran jika alam tak lagi mampu menahan amukan air. Yang rusak bukan hanya lingkungan, tetapi juga keselamatan manusia.
Sementara itu, kerugian ekonomi akibat bencana ini diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah. Rumah hancur, lahan pertanian rusak, jembatan putus, dan sumber penghidupan warga lenyap.
Bantuan kemanusiaan begitu banyak, baik dari pemerintah maupun solidaritas publik. Namun bantuan tidak akan pernah cukup jika akar persoalan tidak kita selesaikan.
Organisasi masyarakat sipil dan lembaga kajian ekonomi mendesak pemerintah untuk menghentikan tambang ilegal, menindak penebangan liar, mengevaluasi izin sawit, dan memperketat pengawasan kawasan hutan. Tanpa itu, bencana serupa hanya menunggu waktu untuk terulang.
Larangan Merusak Bumi dalam Ajaran Islam
Dalam agama Islam, perusakan lingkungan adalah pelanggaran. Al-Qur’an dengan tegas melarang manusia membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.
Imam Ibnu Katsir menafsirkan bahwa kerusakan lingkungan akan membawa mudarat bukan hanya bagi pelakunya, tetapi juga bagi orang-orang yang tidak bersalah.
Inilah yang kita saksikan hari ini. Mereka yang tidak menebang hutan, tidak menambang, dan tidak meraup keuntungan justru menjadi korban. Nyawa melayang, rumah hilang, dan masa depan hancur.
Oleh karena itu, banjir dan longsor di Sumatra dan Aceh bukanlah karena alam. Ia adalah peringatan keras atas keserakahan manusia.
Dengan begitu, kita perlu menyadari bahwa alam memiliki hukum sebab-akibat. Ketika ia dijaga, ia melindungi. Ketika ia dirusak, ia membalasnya. []



















































