Mubadalah.id – Setiap pergantian tahun baru, ruang publik kembali dipenuhi euforia yang nyaris seragam. Kembang api menghiasi langit, pesta digelar hingga larut malam, dan hiruk-pikuk menjadi penanda bahwa waktu sedang berganti. Namun, di balik kemeriahan itu, muncul pertanyaan mendasar. Apakah semua yang kita rayakan benar-benar membawa faedah, atau justru sekadar pengulangan yang kehilangan makna?
Pergantian Tahun: Antara Euforia dan Muhasabah
Euforia kolektif seakan menjadi penanda sah bahwa satu tahun telah berlalu dan tahun baru kita mulai. Namun, di balik kemeriahan yang berulang itu, muncul pertanyaan sederhana tetapi mendasar. Apakah pergantian tahun hanya akan terus terisi dengan euforia, atau semestinya menjadi ruang muhasabah?
Perayaan tahun baru telah kita terima sebagai tradisi sosial yang nyaris tak kita pertanyakan. Kembang api dianggap simbol kebaruan, pesta kita pahami sebagai cara melepas penat. Sayangnya, kebiasaan ini sering berhenti pada kesenangan sesaat.
Setelah asap kembang api menghilang, kehidupan berjalan kembali seperti semula, tanpa perubahan berarti. Tahun berganti, tetapi cara hidup, cara berpikir, bahkan cara bersikap, tetap sama. Di titik inilah euforia perlahan menjelma menjadi sesuatu yang unfaedah: ramai, tetapi kosong dari makna.
Dalam perspektif Islam, waktu bukan sekadar penanda kronologis. Ia adalah amanah. Al-Qur’an secara tegas mengingatkan manusia tentang nilai waktu melalui firman-Nya, “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian” (QS. Al-‘Asr: 1–2).
Ayat ini bukan sekadar sumpah, melainkan peringatan bahwa waktu yang berlalu tanpa makna dan amal adalah kerugian itu sendiri. Karena itu, pergantian tahun seharusnya menjadi momen refleksi, bukan hanya perayaan.
Orientasi Perayaan Tahun Baru
Rasulullah SAW juga mengingatkan bahwa manusia kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas umurnya: untuk apa dihabiskan. Pesan ini relevan ketika pergantian tahun justru diisi dengan aktivitas yang melalaikan, menguras energi, bahkan tak jarang membawa mudarat, baik sosial maupun lingkungan. Islam tidak memusuhi kegembiraan, tetapi memberi batas agar kegembiraan tidak berubah menjadi kelalaian.
Masalahnya bukan pada perayaan itu sendiri, melainkan pada orientasinya. Ketika euforia menjadi tujuan utama, sementara refleksi dan perbaikan diri terabaikan, maka pergantian tahun kehilangan makna etiknya. Kembang api memang indah, tetapi keindahannya singkat. Pesta memang meriah, tetapi kemeriahannya cepat usai. Yang sering tertinggal justru sampah, kebisingan, dan kelelahan tanpa ada pembaruan nilai dalam diri.
Muhasabah menawarkan alternatif yang kerap kita lupakan. Dalam tradisi Islam, muhasabah adalah upaya menilai diri sebelum dinilai. Pergantian tahun menyediakan jeda simbolik untuk itu. Meninjau kembali hubungan dengan Tuhan, kepedulian kepada sesama, serta tanggung jawab terhadap alam. Sayangnya, ruang sunyi untuk refleksi ini sering kalah oleh hiruk-pikuk perayaan.
Tahun Baru, di Antara Dua Persimpangan
Padahal, memaknai tahun baru tidak harus selalu kita lakukan dengan keramaian. Ia bisa hadir dalam bentuk yang lebih sederhana tetapi bermakna. Memperbanyak doa, menata ulang niat hidup, memperbaiki relasi yang renggang, atau meneguhkan komitmen untuk lebih bermanfaat bagi orang lain. Bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya?
Di tengah berbagai persoalan sosial, ketimpangan, krisis lingkungan, dan melemahnya empati-energi kolektif yang habis untuk euforia sesaat patut kita kritisi. Tahun baru seharusnya tidak hanya kita rayakan, tetapi kita maknai. Kebaruan sejati bukan terletak pada tanggal yang berubah, melainkan pada kesadaran yang kita perbarui.
Akhirnya, pergantian tahun baru memang selalu berada pada ruang kejenakaan yakni persimpangan antara euforia dan muhasabah. Kita bebas memilih jalan mana yang akan kita tempuh. Apakah sekadar larut dalam perayaan yang cepat berlalu, atau menjadikan waktu sebagai guru yang menuntun pada perubahan. Sebab, yang paling penting bukanlah seberapa meriah kita menyambut tahun baru, melainkan seberapa sungguh-sungguh kita memperbarui diri setelahnya. []



















































