Mubadalah.id – Beberapa hari yang lalu, akun instagramku @Faqih Abdul Kodir ditag akun @voxdei19 a.n. Muhammad Alwi Al-Maliki tentang sebuah hadits larangan perempuan memakai parfum. Teks hadits itu, yang dipublikasikan akun @ala_nu, berupa terjemahan sebagai berikut:
“Seorang perempuan yang memakai wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki, agar mereka mencium bau harum yang dia pakai, maka perempuan tersebut adalah seorang pelacur” (HR. an-Nasai, Abu Dawud, Turmudzi, dan Ahmad).
Aku sendiri sudah membalas secara singkat dengan merujuk pada metode Syekh Muhammad Thahir Ibn Asyur, ulama besar Tunisia. Untuk teks-teks seperti ini, beliau menyarankan fokus pada klausul “agar mereka mencium bau harum” lebih dari pada klausul “memakai wewangian”. Karena memakai wewangian pada dasarnya baik dan boleh, tetapi maksud buruklah yang membuatnya menjadi tidak baik dan dilarang. Tentu saja, responku menggunakan perspektif mubadalah.
Untuk melengkapi respon itu, sebaiknya kita merujuk terlebih dahulu kepada teks asli berbahasa Arab tentang hadits larangan perempuan memakai parfum ini.
عَنِ أبي موسى الأَشْعَرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِىَ زَانِيَةٌ (سنن النسائي، رقم الحديث: 5143).
Dari Abu Musa ra berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Seorang perempuan yang memakai wewangian (atau parfum), lalu melewati sekelompok orang dengan maksud agar mereka mencium keharumannya, maka ia (seperti) pezina”. (Sunan Nasai, no. hadits: 5143).
Terjemahan @ala-nu “maka perempuan tersebut adalah pelacur” tidak tepat. Karena teks Arab-nya menggunakan kata “pezina” (زانية). Teks hadits riwayat Imam Ahmad juga sama, memakai kata ini (no. hadits: 20025). Begitupun Imam Turmuzi (no.hadits: 3015). Imam Abu Dawud malah lebih samar dengan kata: “maka perempuan itu adalah ini dan itu, sebuah pernyataan yang cukup keras” (no. hadits: 4175).
Syekh Nawawi Banten menjelaskan kata “pezina” dalam Kitab Syarh Uqud al-Lujjayn, dengan kalimat: “ia seperti pezina, atau mendapat dosa pezina, sekalipun tentu berbeda (dari dosa pezina sebenarnya), seperti juga hadits bahwa mata yang melihat hal yang haram dianggap mata berzina” (Syarh ‘Uqud al-Lujjayn, hal. 14, Maktabah Karya Toha, Semarang).
Artinya, merujuk pada pernyataan Syekh Nawawi, perempuan yang melakukan hal tersebut seperti pezina. Ia akan memperoleh dosa zina dengan level lebih rendah dari zina hubungan kelamin yang haram. Ungkapan ini serupa dengan hadits yang menyatakan mata juga berzina ketika melihat yang haram, tangan juga berzina melakukan hal haram, kaki juga berzina ketika melangkah ke hal yang haram (Musnad Ahmad, no. hadits: 8644).
Untuk itu, hadits ini harus dimaknai secara holistik sebagai peringatan mengenai pergaulan sosial yang sehat dan tidak menjerumuskan pada perbuatan haram. Ketika sesuatu yang baik dan sehat, tetapi dilakukan dengan tujuan pada yang haram, ia akan menjadi haram.
Penafsiran atas Hadits Perempuan Memakai Parfum
Perempuan memakai parfum, atau wewangian, pada dasarnya adalah baik dan diperintahkan Islam. Tetapi, ketika menggunakannya untuk menggoda orang lain agar mau melakukan yang haram, ia akan dihukumi dosa dan haram juga.
Hadits larangan perempuan memakai parfum ini, dalam metode Qira’ah Mubadalah, juga berlaku bagi laki-laki. Artinya, hadits ini menyasar siapapun, laki-laki maupun perempuan, yang melakukan tindakan menebar pesona, seperti memakai parfum atau yang lain, untuk menjerat orang dan menjerumuskannya pada dosa zina.
Laki-laki seperti ini juga masuk kategori “seperti pezina” atau “memperoleh dosa pezina”. Jadi, siapapun ketika berada di ruang publik harus berperilaku baik, sehat, dan tidak secara sengaja menggoda dan menjerumuskan orang pada perbuatan nista dan dosa. Demikianlah makna yang benar dari hadits ini.
Sehingga, tidaklah tepat jika hadits ini digunakan untuk membesarkan narasi keagamaan kita untuk terus menyasar perempuan dengan mendaftar dosa-dosanya ketika tampil di publik. Sementara laki-laki diberikan keleluasaan yang paripurna, tanpa ditakuti dengan dosa-dosa yang sama.
Sekalipun, pada praktiknya banyak laki-laki yang melakukan dosa-dosa di ranah publik, tetapi tidak pernah dosa-dosa ini digunakan sebagai basis untuk melarang mereka beraktifitas di publik. Demikian juga seharusnya bagi perempuan.
Di sisi lain, hadits larangan perempuan memakai parfum ini juga harus dimaknai dalam semangat positif dimana Islam juga menganjurkan setiap orang untuk tampil pantas, baik, dan menyenangkan pandangan orang lain. Simak apa yang dikatakan Ibu Hj. Shinta Nuriyah Wahid dan Tim FK3 (Forum Kajian Kitab Kuning) mengenai teks hadits larangan perempuan memakai parfum ini:
“Hadits ini sering dipahami sebagai dasar untuk melarang perempuan tampil pantas dan indah, lebih-lebih di hadapan publik. Padahal tampil jelek, tidak bersih dan berbau badan yang mengganggu orang lain adalah tidak sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya kebersihan dan kesucian diri. Dengan kebersihan dan kesucian seseorang akan merasa nyaman dengan dirinya, demikian pula orang-orang yang ada di sekitarnya. Wajibnya wudhu setiap kali hendak shalat, disunatkannya wudhu dan bersiwak (menggosok gigi) setiap saat menunjukkan bahwa kesucian dan kebersihan diri sangat diutamakan” (Kembang Setaman Perkawinan, hal. 252, Jakarta: Kompas, 2005).
Dalam Islam, laki-laki dan perempuan adalah hamba Allah Swt dan khalifah-Nya untuk memakmurkan dan menghadirkan segala kemaslahatan di muka bumi ini. Perempuan, sebagaimana laki-laki, memiliki tanggung-jawab untuk berperan aktif mewujudkan kebaikan (amar ma’ruf) untuk dirinya, keluarga, masyarakat, dan lingkungan alam sekitar.
Begitupun untuk menghalau keburukan (nahi munkar) dari mereka semua. Tanggung-jawab ini melekat pada setiap manusia, laki-laki dan perempuan. Al-Qur’an bahkan menegaskan semua itu harus dilakukan dalam kemitraan dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan yang beriman (QS. At-Taubah, 9: 71).
Demi kemitraan ini, janganlah sesuatu yang tidak ingin kita salahkan pada laki-laki, kita menyematkannya pada perempuan. Jika perempuan memakai parfum yang menggiurkan dan menggoda itu tidak baik dilakukan, maka ia juga tidak baik dilakukan laki-laki.
Sehingga, ketika ada seorang laki-laki yang berbuat salah dalam hal demikian, para laki-laki lain tidak akan disalahkan dan tidak akan pernah dilarang beraktifitas di publik. Begitupun seharusnya perlakuan kita kepada perempuan. Kita harus mengajak keduanya untuk saling berelasi secara patut, sehat, dan bermartabat agar dapat memberi manfaat seluas-luasnya pada kehidupan di muka bumi ini. Wallahu a’lam. []