Mubadalah.id – Dalam Islam, al-Qur’an telah menegaskan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama sebagai subjek keimanan dan amal saleh. Mereka dua mitra yang saling melengkapi dalam menjalankan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang menjadi ruh ajaran Islam.
Penegasan itu tampak jelas dalam sejumlah ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit menyebut laki-laki dan perempuan secara berdampingan dalam konteks keimanan dan amal saleh.
Allah berfirman dalam QS. Ali Imran [3]: 195, QS. at-Taubah [9]: 71, QS. al-Ahzab [33]: 35, QS. an-Nisaa’ [4]: 124, QS. an-Nahl [16]: 97, dan QS. al-Mu’min [40]: 40.
Dalam ayat-ayat itu, Allah tidak hanya memanggil kaum laki-laki untuk beriman, berbuat baik, dan menegakkan keadilan, tetapi juga perempuan. Keduanya disebut sebagai penerima wahyu, pelaku amal, dan penerima pahala. Inilah bentuk afirmasi Tuhan terhadap kesetaraan manusia.
Afirmasi yang Revolusioner
Jika menengok sejarah sosial Arab pra-Islam, penegasan ini merupakan revolusi moral dan teologis yang luar biasa. Di tengah masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Bahkan sering dijadikan objek kepemilikan dan kekuasaan, al-Qur’an datang dengan seruan yang menyetarakan mereka di hadapan Allah.
Dalam Buku Qiraah Mubadalah, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang paling eksplisit dalam menyebut perempuan sebagai subjek penuh.
“Lima belas abad yang lalu,” tulisnya, “al-Qur’an sudah melakukan sesuatu yang sekarang kita kenal sebagai penegasan afirmatif terhadap perempuan.”
Lebih jauh, Kiai Faqih menjelaskan bahwa enam ayat di atas seharusnya menjadi dasar pijakan utama dalam memahami seluruh ayat dan hadis yang berbicara tentang relasi laki-laki dan perempuan.
Artinya, setiap tafsir yang berpotensi mendiskriminasi perempuan harus dikembalikan pada semangat dasar al-Qur’an yaitu kesetaraan, keadilan, dan kemitraan.
Bahkan, al-Qur’an tidak hanya menegaskan kesetaraan dalam aspek spiritual. Tetapi juga mengajarkan kemitraan dalam ranah sosial.
QS. at-Taubah [9]: 71 menggambarkan laki-laki dan perempuan sebagai awliya’ ba’dhuhum ‘ala ba’dh—sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka bersama-sama melakukan amar ma’ruf nahi munkar, membangun masyarakat yang berkeadilan dan beradab.
Dalam tafsir Mubadalah, konsep ini tidak menempatkan laki-laki sebagai penguasa dan perempuan sebagai yang dikuasai. Sebaliknya, keduanya dipanggil untuk bekerja sama menghadirkan kebaikan dan menolak keburukan, baik di ranah keluarga, sosial, maupun politik.
Relasi kesalingan inilah yang menjadi inti dari ajaran Islam tentang keluarga sakinah, masyarakat khairu ummah. Hingga negara baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. []