Mubadalah.id – Niatan untuk menulis sepucuk surat kepada bundanya Aisyah muncul seketika saya berjumpa dengan Aisyah kecil untuk pertama kalinya.
Siang lalu, saat wangi mentari bersinar terik menghangatkan bumi Magelang, Aisyah bergelayut manja kepada Bu Tutik (bukan nama sebenarnya).
Ia yang belum berulang tahun kelima itu tampak begitu damai di pangkuan Bu Tutik. Barangkali ia merasakan kehangatan belaian seorang bunda pada diri perempuan yang merangkulnya itu.
Kedua bola matanya melirik ke kiri dan kanan. Ia seakan tahu tentang kehadiran saya dan rombongan yang bersilaturahmi ke kediaman Bu Tutik. Kedua matanya itu seolah menyapa kami dengan penuh kehangatan.
“Anak ini buta sejak lahir,” Bu Tutik menerangkan sebelum kami bertanya.
Sejurus bakda mendengar kalimat Bu Tutik, nala kami trenyuh. Kami tak sanggup menahan hancur. Selaksa hati kami lebur dalam sakitnya belas kasih seorang anak difabel.
Bu Tutik melanjutkan, “Ditinggal pergi bundanya. Tidak ada yang mengurus.”
Hati saya seketika berasa penuh dengan tusukan jarum. Anak difabel sekecil itu, semungil dan semanis itu belum Allah izinkan untuk menatap mahakarya-Nya.
Andai Aisyah bisa melihat, mungkin surat ini ia tulis sendiri. Ia kirimkan kepada bundanya yang kini merantau jauh hingga negeri Singapura.
Sulitnya Mensyukuri Kelahiran Anak Difabel
Sejatinya, saya pribadi merasa berat untuk mengangkat tulisan ini. Ada rasa kalut yang menyelimuti jiwa. Muncul setali duka yang menjerat jemari untuk mengetikkan aksara. Mungkin, Aisyah adalah satu dari sekian banyak kisah yang menegaskan sulitnya mensyukuri kelahiran anak difabel.
Kelahirannya seringkali tak bersambut semarak perayaan seperti halnya anak kebanyakan. Padahal, kesemuanya sama-sama merupakan karunia Allah. Kedua orang tuanya enggan mengurusnya. Mereka lebih memilih bekerja dan menekuni kesibukan masing-masing. Sementara, putri kecilnya mereka lepas tangankan.
“Semula, anak ini dikurung oleh bundanya. Takut kalau ada orang datang,” mata Bu Tutik sembab lagi berkaca-kaca kala megutarakan kalimat ini.
Ruang tamu rumah Bu Tutik yang sebenarnya cukup luas berasa makin sesak oleh kepedihan. Kami semua yang bertamu memandangi Aisyah dengan pandangan kasih nan iba. Sadar akan pedih yang lekas menghinggapi para tamunya, suami Bu Tutik yang turut membersamai mencoba melegakan suasana. Ia melempar guyon ringan, tanpa menyinggung difabilitas Aisyah sedikitpun.
Seperti halnya Bu Tutik, suaminya itu pun tak kurang sabar turut merawat putri tetangganya itu. Ia bahkan menyampaikan kebisaan Aisyah yang telah hapal seluk-beluk rumahnya.
“Sudah tidak nabrak-nabrak lagi. Ke kamar mandi pun bisa sendiri,” ujarnya dengan sesungging senyum.
Silaturahmi siang itu membikin saya teringat dengan tulisan kawan Faricha Cahya pada 6 Maret 2025 silam. Dengan kalimat persuasif ia menegaskan bila amanah Allah berupa anak difabel mestilah dirawat dengan penuh cinta.
Namun, peristiwa yang menimpa Aisyah membuat saya sadar diri. Jalan panjang menuju kesadaran akan anak difabel sebagai anugerah Tuhan masihlah penuh dengan onak dan kerikil tajam.
Saya rasa, kita semua tak bisa mengelak. Tantangan yang menghadang memanglah tak kurang dahsyat dari gelombang ombak Segara Kidul. Akankah kita cukup bertenaga untuk menerjangnya?
Menjadi seperti Bu Tutik
Perasaan iba terhadap apa yang menimpa Aisyah sedikit berkurang berkat hadirnya Bu Tutik dan suami. Sepasang laki bini itu telah menjelma menjadi dua malaikat yang benar-benar memandang manusia dengan ‘ain ar rahmah; pandangan penuh cinta kasih.
Saya yakin Bu Tutik dan suami memang tidak aktif menulis tentang kepedulian kepada difabel. Keduanya juga mungkin tidak pernah mendengar tentang Akademi Mubadalah 2025 yang gaungnya telah mengudara. Namun, suami istri itu telah mengejawantahkan nilai-nilai kepedulian kepada anak difabel seperti Aisyah yang selama ini menjadi ruh di sebalik tulisan-tulisan di Mubadalah.id.
Karenanya, semangat Bu Tutik seyogyanya menjadi pelecut bagi kalangan pengkampanye yang selama ini berkutat pada pena dan tinta. Ada realitas keseharian yang menuntut respon langsung dan seketika, tanpa ada pilihan untuk abai atau mengesampingkan.
Sudah selayaknya bila apa yang kita tulis bersama-sama dapat bermanifestasi dalam kehidupan nyata. Saya pribadi banyak belajar dari Bu Tutik, suaminya, serta Aisyah tentunya.
Saya berharap agar bundanya Aisyah berkenan dan berkesempatan membaca sepucuk surat ini. Kelak, saya menyimpan optimisme agar Aisyah sendiri yang menulis surat untuk bundanya. Semoga, bersama aamiin dari alam raya. []