Mubadalah.id – Suasana Sabtu pagi (27/7) di Masjid At-Tanwir, Curug, Depok terasa berbeda dari biasanya. Di hari itu, ratusan anak dan keluarga dari wilayah Depok dan Tangerang Selatan memadati halaman dan aula masjid untuk mengikuti rangkaian acara peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2025 dan Milad ‘Aisyiyah ke-108 yang diselenggarakan oleh Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah Bojongsari, Depok.
Mengusung tema nasional HAN “Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045” dan tagline “Anak Indonesia Bersaudara,” kegiatan ini tidak sekadar lomba menggambar biasa. Lebih dari itu, acara ini menjadi ruang edukasi bagi keluarga untuk memperkuat peran bersama dalam mendidik dan melindungi anak—generasi masa depan bangsa.
Menggambar Impian, Merayakan Cita-Cita
Pagi itu, puluhan anak usia 4 hingga 10 tahun tampak sibuk dengan krayon, pensil warna, dan kertas gambar. Mereka mengikuti lomba “Menggambar dan Mewarnai Anak Hebat” yang dibagi dalam dua kategori usia: 4–7 tahun untuk mewarnai, dan 8–10 tahun untuk menggambar bebas sesuai tema.
Salah satu peserta yang menyita perhatian juri adalah Ernest Muhammad Ruska (10 tahun), siswa SD Al Ziyan Depok. Ia menggambar sebuah pesawat bertuliskan “Garuda Indonesia” dengan gradasi warna dan detail teknis yang mengesankan. Di atas kertasnya, Ernest menulis: “Aku ingin menjadi insinyur yang bisa membuat pesawat untuk Indonesia.”
“Dari segi detail, tema, dan pesan, gambar Ernest paling kuat. Ia juga satu-satunya anak laki-laki yang masuk dalam deretan juara dari dua kategori,” kata Nur Baiti, salah satu panitia lomba.
Semua peserta, juara atau tidak, tetap pulang membawa bingkisan. Kegembiraan dan antusiasme terlihat dari wajah-wajah kecil yang merasa kita hargai atas partisipasinya.
Diskusi Keluarga: Merawat Harapan Anak
Selagi anak-anak sibuk dengan lomba, para orang tua diajak mengikuti diskusi interaktif bertajuk “Mimpiku, Cita-Citaku untuk Indonesia Hebat.”
Dua narasumber utama hadir dalam forum ini: Prof. Maila Dinia Husni Rahiem, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PCA Bojongsari, serta Tunggal Pawestri, aktivis gender dan Direktur Eksekutif HUMANIS Foundation.
Ketua PC ‘Aisyiyah Bojongsari Depok, Yulianti Muthmainnah, yang akrab disapa Yuli Muth menyampaikan anak terlahir dalam keadaan fitrah, tidak ada satu kekurangan pun. Tapi dunia—mungkin kita semua—yang memperlakukan mereka secara berbeda.
Ia mengutip prinsip Fikih Perlindungan Anak Perspektif Muhammadiyah, yang menegaskan bahwa tanggung jawab pendidikan anak tidak semata berada di pundak ibu. Ayah juga wajib hadir aktif.
“Islam melalui QS. Luqman ayat 13–19 mengajarkan pendidikan yang menyeluruh. Rasulullah saw pun terlibat langsung dalam pengasuhan, bahkan melakukan pekerjaan domestik sebagai bentuk tanggung jawab sosialnya sebagai ayah,” lanjutnya.
Pesan ini disambut hangat oleh peserta, terutama saat para narasumber mengupas bagaimana cara terbaik mendampingi tumbuh kembang anak.
Prof. Maila mengajak orang tua untuk menerapkan pola komunikasi untuk terus semangat. “Mendidik anak itu seperti membuat burger,” ujarnya. “Apresiasi adalah roti dan sayur yang membungkus, kritik membangun adalah dagingnya. Anak akan tetap merasa utuh dan kita hargai, meski kita kritik.”
Membangun Dialog
Sementara itu, Tunggal Pawestri mengangkat isu yang kerap luput: label dan stereotip yang menempel pada anak-anak dalam keluarga. Mulai dari cap “anak yang malas belajar”, “anak susah diatur”, hingga pemaksaan aktivitas seperti les renang.
“Label itu membekas. Kita sering membandingkan anak tanpa sadar,” kata Tunggal. “Padahal yang kita butuhkan anak adalah ruang dialog. Bertanya kenapa ia tidak suka berenang—bukan langsung memaksa atau menyerah.”
Ia mengajak orang tua membuka ruang komunikasi dua arah yang lebih manusiawi dan empatik, terutama dalam menghadapi anak-anak yang mengalami hambatan emosi atau trauma.
Peserta diskusi tampak aktif bertanya, menanggapi, bahkan berbagi pengalaman. Diskusi ini tidak sekadar ajang ceramah satu arah, tetapi menjadi ruang belajar bersama dalam merawat harapan dan cita-cita anak-anak.
Menanam Benih Generasi Emas
Acara yang berlangsung hingga siang ini akhirnya ditutup dengan pengumuman para pemenang lomba. Para panitia, seperti Kamilla Unso, menegaskan bahwa lebih dari sekadar kompetisi, acara ini adalah ikhtiar bersama menanam benih generasi Indonesia Emas 2045.
“Kami ingin anak-anak merasa bangga atas karyanya. Kami juga ingin orang tua pulang dengan pemahaman baru tentang pengasuhan dan perlindungan anak,” ujarnya.
Dengan semangat kolaboratif dan nuansa religius yang kuat, kegiatan ini menjadi salah satu bentuk konkret bagaimana organisasi keagamaan seperti ‘Aisyiyah Bojongsari bisa hadir memperkuat peran keluarga dan komunitas dalam mempersiapkan masa depan bangsa. Bahwa anak-anak bukan hanya pemilik mimpi, tetapi juga pewaris harapan Indonesia yang lebih adil, tangguh, dan penuh kasih.
“Kita ingin Indonesia diwarisi generasi yang cemerlang,” tutup Yuli Muth. “Dan itu dimulai dari hari ini, dari kita, dari cara kita memperlakukan anak-anak kita.” []