Mubadalah.id – Tulisan ini muncul dari banyaknya pertanyaan tentang alasan kenapa saya dan suami memilih sekolah inklusi untuk pendidikan anak. Sekolah inklusi adalah sekolah regular yang di dalamnya terdapat siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Berbagai riset memang menyatakan bahwa banyak orang tua dari siswa non ABK yang memiliki kekhawatiran tinggi jika harus satu kelas dengan siswa ABK.
Kekhawatiran tersebut sangat bisa kita pahami, karena setiap orang tua pasti memprioritaskan keamanan dan kenyamanan bagi anak. Jika kita gabungkan dengan siswa ABK khawatir akan ada serangan fisik, perilaku eksesif, dan berbagai penyesuaian yang harus anak jalani karena menyesuaikan kebutuhan teman ABK.
Pun demikian dengan kami sebagai orang tua, tentu juga mengalami kekhawatiran yang sama. Namun ada alasan besar yang mendasari pemilihan sekolah inklusi untuk anak kami yang non ABK.
Menumbuhkan Rasa Kemanusiaan
Tentunya kita sepakat bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya mencetak insan academia saja. Namun juga menumbuhkan rasa kemanusiaan. Dalam Islam pun kita mengenal pentingnya mengajarkan akhlak dahulu sebelum ilmu. Mengajarkan akhlak tak cukup hanya sekedar doktrin saja, namun juga harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Agar anak melihat, dan meniru akhlak mahmudah tersebut untuk berinteraksi dengan masyarakat.
Anak kami sekolah di SD Immersion Ponorogo yang menerapkan system inklusi penuh. Artinya ABK dan non ABK sepanjang hari berada di kelas yang sama dengan menggunakan kurikulum yang sama. Dalam satu kelas, terdapat kurang lebih 5 siswa ABK dengan jenis yang berbeda, dan ada 3 guru yang sekaligus merangkap sebagai shadow. Sejauh pengamatan saya ada autism, ADHD, dan tunarungu.
Di hari pertama sekolah, saya dan suami sengaja ambil cuti kerja untuk menemani anak full seharian di sekolah. Kami ingin melihat bagaimana respon anak saya ketika melihat teman-temannya dengan berbagai latar belakang.
Dan sesuai dengan yang kami duga, dia mengalami kebingungan dan memusatkan perhatiannya kepada teman-teman ABK nya dengan penuh tanda tanya. Ini memang pertama kali anak kami bertemu dengan teman-teman istimewanya.
Di situlah kami sebagai orang tua menjelaskan tentang bagaimana Tuhan menciptakan manusia terbaik versi Tuhan. Segala kelebihan dan kekurangan di mata manusia sejatinya sama di depan Tuhan. Karena Tuhanlah yang paling mengetahui kenapa Ia menciptakan makhluk-Nya dengan berbagai keistimewaan.
Saling Menghargai Antar Manusia
Tugas kita sebagai sesama manusia adalah menghargai manusia lain tanpa harus memandang latar belakangnya. Kami juga memberi nasehat tentang bagaimana ia harus bersikap di dalam kelas. Baik dengan guru, dengan teman ABK, maupun dengan teman non ABK.
Saat menjemput sekolah, saya benar-benar terharu dengan interaksi yang dibangun di kelas. Saat memakai sepatu, anak saya mendatangi teman autism nya untuk membantu melekatkan kretekan sepatu. Dan di saat yang sama, beberapa anak otomatis jaga jarak ketika anak ADHD sedang tantrum dan mengarah ke tindakan eksesif.
Ya, mereka dibiasakan untuk bisa menghargai teman lain yang istimewa. Saya yakin ada didikan dari guru-guru hebat yang setiap saat mengarahkan. Di usianya yang masih belia, mereka sudah diajarkan untuk mengambil sikap dengan tanpa menyakiti teman lainnya.
Alih-alih menanyakan capaian akademik, setiap hari kami justru menanyakan apakah ia terganggu saat belajar di kelas? apakah hari ini dia bahagia? Apakah hari ini di disakiti guru atau temannya? Pertanyaan ini yang setiap hari kami lontarkan. Dan ia selalu punya cerita haru yang membuat kami semakin yakin bahwa sekolah inklusi adalah pilihan terbaik kami.
Menumbuhkan Rasa Empati
Suatu saat dia menceritakan teman ADHD nya yang meskipun sering melakukan tindakan eksesif namun sangat penyayang dan kerap memberikan pelukan. Ia juga menceritakan kepeduliannya kepada teman autism (ringan) yang kesulitan menirukan tulisan Ibu Guru di depan papan tulis. Dia bertanya apa yang bisa dia lakukan untuk membantu temannya? Bolehkan saya membantunya menulis di buku?
Dia juga menunjukkan empati pada salah satu temannya yang memiliki sakit tertentu sehingga terpaksa tidak bisa mengikuti kegiatan outdoor. Ia bersyukur karena bisa main bola, main sepeda, dan petak umpet, namun di satu sisi ia juga trenyuh melihat temannya dan berharap temannya segera sembuh agar bisa bermain bersama.
Setiap membawa bekal, dia juga selalu minta jatah double untuk ia bagikan pada temannya. Anak yang biasanya cuek dengan teman-temannya itu saat ini telah berubah menjadi anak yang memiliki empati tinggi. Tanpa perlu kami cekoki teori, rasa kemanusiaan tersebut terbentuk oleh lingkungannya.
Untuk menambahkan pelajaran akademik yang mungkin tertinggal karena kurikulum inklusi penuh, kami menambahkan jam belajar di rumah yang langsung kami mentori.
Tantangan Mendidik Anak yang Berakhlak Mulia
Sebagai orang tua yang juga bergelut dengan dunia pendidikan, kami menyadari bahwa menyampaikan materi pelajaran bukanlah perkara yang sulit. Selama orang tua harus mengatur alokasi waktu khusus untuk membersamai belajar anak. Karena disitulah bounding orang tua dan anak terbentuk. Yang jauh lebih menantang adalah bagaimana mendidik anak yang berakhlak mulia dan bisa menghargai orang lainnya.
Bukan berarti sekolah lain yang non inklusi tidak mengajarkan kemanusiaan dan akhlah mahmudah. Kami meyakini setiap lembaga pendidikan pasti mengedepankan pendidikan akhlak. Namun dengan memilih sekolah inklusi, rasa kemanusiaan tersebut muncul karena keadaan dan setting kurikulum yang membuat anak menyadari pentingnya rasa kemanusiaan dan empati secara natural.
Sekolah inklusi adalah wujud nyata pendidikan tanpa diskriminasi. Di mana anak ABK dan non ABK mendapatkan hak dan akses yang sama untuk mendapatkan fasilitas pendidikan. Disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing sehingga anak ABK menerima pendidikan setara di kelas.
Sedangkan anak non ABK bisa belajar untuk lebih menghargai keistimewaan yang dimiliki oleh teman lainnya. Apapun program pendidikan tentunya tak luput dari kritik dan kekurangan. Namun yang terpenting adalah bagaimana memkasimalkan potensi yang ada untuk mencapai tujuan bersama. yaitu menciptakan lembaga pendidikan tanpa diskriminasi. []