Mubadalah.id – KH. Maimoen Zubair atau biasa disapa Mbah Moen merupakan ulama kharismatik dari Rembang, jawa Tengah. Pada masa hidupnya ia pernah bicara soal istri dan bidadari surga. Bagi Mbah Moen, istri dan bidadari surga itu hal yang berbeda namun saling melengkapi.
Habib Husein Al-Aydrus Semarang pernah menceritakan ceramah Mbah Moen soal ini. Gara-gara ceramah tersebut, akhirnya Habib Husein memutuskan untuk menikah pada usianya yang sudah Lanjut. Cerita ini saya kutip dari buku Mbah Maimun, Kisah-Kisah Kemuliaan Guru Semua Golongan.
Salah satu bab di buku tersebut menceritakan bahwa habib Husain Al-Aydrus sampai umur 60 masih saja belum menikah. Tapi pada suatu saat pada tahun 1985-an, Habib Husain menghadiri undangan akad nikah di Demak, Jawa Tengah. Pengisi ceramah pada acara tersebut kebetulan adalah KH.Maimoen Zubaer yang masih kerabat dengan mempelai perempuan.
Di antara berbagai nasihatnya, KH. Maimoen Zubair dalam salah satu isi ceramahnya adalah tentang pengantin. Kurang lebih seperti ini: “Sepasang pengantin itu, kalau sudah duduk berdampingan begini, jangan kira hanya orang di dunia saja yang melihat. Seorang pengantin nanti di akhirat juga akan duduk berdampingan, bersama-sama masuk ke dalam surga.”
KH. Maimoen Zubair juga mengatakan bahwa hanya istri dari alam dunia saja yang bisa mendampingi seseorang di surga kelak. Sedangkan menurutnya bidadari itu tidak bisa. Ia juga mengatakan “Istri itu ibarat makanan pokok, sedangkan bidadari itu cuma snack. Kalau dia butuh bidadari, maka bidadari baru dapat melayani, jika tidak butuh maka tidak bisa dekat-dekat dengannya.”
Ia juga mengibaratkan bidadari itu sebagai jajanan, sedangkan istri adalah ibarat nasi (makanan pokok). Jadi kita tidak bisa hidup kalau tidak memakan nasi. Namun, pernyataan KH. Maimoen Zubair ini bukan bermaksud obyektifikasi perempuan, melainkan ia menjelaskan tentang kemuliaan perempuan yang akan kita bahas pada sub-bab berikutnya.
Mbah Moen dan Pesan Untuk Memberi Mahar yang Banyak
Buku tersebut juga menjelaskan mengenai pesan-pesan Mbah Moen kepada santrinya yang hendak menikah. Ia berkata bahwa uang mas kawin kepada calon istri jangan hanya seperangkat alat salat saja, tetapi yang banyak.
Kurang lebih seperti ini redaksinya: “Nak, kamu kalau nikah usahakan mahar istrimu yang banyak walaupun calon istrimu hanya minta seperangkat alat salat. Kalau tidak punya uang usaha dulu. Karena uang mahar itu berkah untuk modal usaha. Jadi nanti setelah nikah, kamu minta izin istri. Jika uang itu kamu pakai untuk modal usaha insyaallah usahamu berkah.”
Hal yang KH. Maimoen Zubair katakan ternyata sesuai dengan narasi yang ada dalam kitab Fathul Qarib, bahwa sunnah hukumnya memberi mas kawin tidak kurang dari 10 dirham dan tidak lebih dari 500 dirham murni.
ولكن يسن عدم النقص عن عشرة دراهم وعدم الزيادة على خمسمائة درهم خالصة
Artinya : “akan tetapi mahar disunnahkan tidak kurang dari 10 dirham dan tidak lebih dari 500 dirham murni.”
sebab lima ratus dirham adalah maskawin Rasulullah saw. kepada istri-istrinya. sebagaimana yang tertera dalam Sahih Muslim no. 1426:
عن أبي سلمة بن عبد الرحمن أنه قال سألت عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم كم كان صداق رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قالت : كان صداقه لأزواجه ثنتي عشرة أوقية ونشا قالت : أتدري ما النش قال قلت : لا قالت نصف أوقية فتلك خمس مئة درهم فهذا صداق رسول الله صلى الله عليه وسلم لأزواجه
Dari Abu Salamah bin Abdur Rohman r.a, ia bertanya kepada Sayyidah Aisyah, istri Rasulullah saw., berapakah mas kawin (mahar) Rasulullah? Aisyah menjawab, “Mas kawin untuk para istri-istri beliau ialah 12 uwqiyah dan satu nasy. Tahukah engkau berapa satu nasy itu?” Lalu Abu Salamah menjawab, “Tidak”, Aisyah mengatakan, “Yaitu setengah uwqiyah”. Kesemuanya setara dengan lima ratus dirham. Sekianlah mas kawin Rasulullah saw. kepada istri- istri beliau.” (HR. Muslim). Dengan demikian, bukankah bukti Rasulullah simbol renaissance bagi perempuan adalah nyata?
Mbah Moen, Tentang Istri dan Bidadari Surga
Analogi KH. Maimoen Zubaer terhadap istri dan bidadari surga bukan merupakan objektifikasi perempuan. Justru analogi bahwa istri itu makanan pokok, dan bidadari surga sebagai snack malah membuktikan bahwa perempuan itu mulia. Dengan anlalogi demikian secara tidak langsung KH. Maimoen Zubaer mengatakan bahwa laki-laki tidak akan bisa hidup tanpa perempuan seperti halnya makanan pokok.
Bila analogi ini kita tinjau dari perspektif mubadalah, berarti laki-laki juga bisa kita anggap sebagai makanan pokok dari perempuan. Sehinga dapat kita katakan keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Kalau saja masih menganggap hal ini termasuk objektifikasi perempuan. Menurut perspektif mubadalah seharusnya hal ini juga merupakan objektifikasi laki-laki juga.
Jadi, Inti yang KH. Maimoen Zubair sampaikan adalah anjuran untuk segera menikah untuk orang yang sudah mampu. Ia juga berpesan agar memberikan mahar yang banyak ketika akan menikah. Sebab mahar merupakan harta yang berkah untuk kita gunakan sebagai modal usaha.
Pesan yang ia sampakan tak lain adalah semata-mata perpanjangan tangan Nabi Saw dalam mengangkat derajat perempuan. masalah salah tafsir terhadap analoginya itu tergantung pada pribadi masing-masing. Bagaimana mungkin seorang Waratsatul Anbiya berbeda visi dan tujuan dengan Nabinya sendiri? []