Mubadalah.id – Setiap keluarga punya cara tersendiri untuk mendidik dan mengasuh anak sesuai dengan apa yang diinginkan, mengutip dari tirto.id ada empat jenis pola asuh yang kerapkali dipakai oleh para orangtua yakni otoriter, pengabaian, permisif dan otoritatif. Empat pola asuh keluarga ideal ini, memiliki perbedaan serta dampak terhadap tumbuh kembang anak termasuk karakter yang kelak dimiliki sang anak.
Sikap otoriter, bukan bagian dari pola asuh keluarga ideal. Pasalnya sikap otoriter menerapkan posisi ibu dan ayah sebagai subjek paling dominan dengan anak sebagai objek yang harus patuh dan nurut absolut, anak yang dianggap melakukan kesalahan akan diberi hukuman dan segala bentuk larangan diterapkan dengan dalih kasih sayang. Celakanya cara ini amat berbahaya karena akan menganggu daya kritis dan kreativitas anak karena dihantui oleh ketakutan dan bayang-bayang hukuman yang akan diterima.
Selanjutnya pengabaian, juga tidak masuk dalam kategori pola asuh keluarga ideal. Parenting ini juga dianggap kurang baik karena berpengaruh negatif pada sang anak. Umumnya cara yang digunakan adalah dengan memberi kebebasan tanpa kontrol dan terlalu sibuk dengan hal yang tidak menjadikan anak sebagai prioritas, masalah yang mungkin terjadi adalah anak merasa kesepian, dan kurang kasih sayang termasuk nekad melakukan hal yang menyimpang dari norma sosial, kemampuan komunikasi juga buruk akibat tidak diajarkan secara berkala.
Kemudian pola asuh permisif, anak Garsel biasanya menyebut parenting ini sebagai ‘asuhan olo-olo’ Ya: manja. Kerapkali orangtua salah kaprah dengan memberikan segala apa yang anak inginkan (lagi-lagi) dengan dalih kasih sayang, umumnya ditandai dengan memberi kebebasan kepada anak tanpa kontrol (mau apa dan butuh apa sat set dipenuhi).
Kabar baiknya, melalui pola asuh keluarga ideal ini anak akan tumbuh dengan penuh kehangatan keluarga, biasanya supel dan punya komunikasi yang baik namun celakanya anak dengan jenis asuhan ini juga akan tumbuh sebagai pribadi yang mau disokong, kurang mandiri dan punya ambisi ingin selalu diberi dan dilayani.
Terakhir adalah pola asuh otoritatif (mohon tidak tertukar dengan poin pertama ya kawan-kawan) mereka yang menganut ‘madzhab’ asuhan ini akan memperlakukan anak sesuai porsi dan periodisasi pertumbuhan. Para ahli psikologi meyakini bahwa jenis pola asuh inilah yang paling ideal diantara yang lainnya sebab fokus yang disasar adalah karakter anak yang mandiri, terbuka, bertanggungjawab, kreatif dan tumbuh sebagai manusia yang utuh.
Para orang tua akan memberi kebebasan anak sesuai daya pikirnya, namun memberitahu juga batasan-batasan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan dengan memberikan alasan kuat termasuk resiko yang akan diterima. Tentu saja bonus dari penerapan pola asuh keluarga ideal ini adalah terciptanya anak baik hati tidak insekyuran gemar menolong tidak body shaming taat ibadah saleh secara sosial dan menjadi candu belajar.
Dampak dan manfaat dari praktik pola asuh keluarga ideal
Jika sudah begitu, pemahaman sudah didapat referensi sudah dikantongi saatnya para orangtua memperoleh kesepakatan. Oh tentu, mengasuh adalah perkara saling (mubadalah) harus ketok palu sistem asuhan apa yang akan diberikan. Di tengah gempuran zaman dan hingar-bingar hidup yang serba cepat dan mudah ini saya rasa para orang tua juga harus berhati-hati karena bisa saja meski hubungan keluarga adem tentrem diam-diam anak mengakses ideologi-ideologi dan paham ekstrim yang ia dapat dari internet.
Tugas orang tua adalah membentengi anak dengan nilai-nilai spiritualitas, emosional dan intelektual yang ramah. Toh mengajarkan nilai-nilai kebangsaan pada anak tidak haram, lagi pula apa artinya negara demokratis jika dalam ranah keluarga nilai-nilai keterbukaan tidak dipupuk.
Saya rasa selain memang harus menerapkan pola asuh keluarga yang ideal, hal lain yang mesti diberikan adalah sikap tidak antipati terhadap perbedaan, mengajarkan anak tentang sikap budi pekerti adalah keharusan, menjadikan anak sebagai pribadi yang easy going di tongkrongan, tidak rasis terhadap golongan, pantang menyerah dan haus belajar adalah sebuah cita-cita yang tak boleh padam digelorakan.
Akhir kata, saya berterimakasih kepada ibu dan bapak di rumah yang saat menjelang tidur bapak selalu memutar siaran wayang golek di radio dan ibu yang membaca surat al-waqiah tatkala subuh menyapa (dilanjut dengan musik legendaris ibu-ibu progresif: Nasidaria). Kalian luarbiasaaa! []