• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Bagaimana Proses Menjadi Ulama Perempuan?

Muhammad Ridwan Muhammad Ridwan
08/07/2020
in Pernak-pernik
0
Ilustrasi: mubadalah

Ilustrasi: mubadalah

141
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Sesungguhnya menjadi ulama perempuan adalah sesuatu yang mulia. Sehingga, dalam kesempatan ini, saya ingin membatasi diri untuk mengambil tema yang spesifik tentang ulama perempuan. Pertama, saya ingin mengajak anda untuk menelusuri sejarah ulama perempuan.

Saya ingin mengajak anda untuk mengenal Siti Aisyah. Istri Nabi yang menjadi kontoversial sepanjang sejarah. Baik dari sisi perkawinannya yang banyak juga diperdebatkan oleh banyak orang. Juga kontroversialnya secara politik, saat dalam perang Jamal, beliau harus berhadapan dengan Sayyidina Ali yang notabene adalah menantunya sendiri.

Padahal, dari sisi yang lain saya melihat beliau adalah sosok yg multi dimensi. Beliau adalah salah seorang ulama perempuan. Ada banyak sesungguhnya tokoh perempuan dalam Islam. Diantaranya adalah : Siti Khodijah, Siti Fatimah, Siti Zainab binti Ali, Robiatul Adawiyyah, dan lain lain.

Namun, untuk saat ini saya ingin mengungkapkan tentang satu tokoh perempuan yang sudah saya ceritakan di atas, yakni Siti Aisyah, RA. Kenapa Siti Aisyah? Karena, beliau bisa digambarkan sebagai produsen pengetahuan. Salah satu ciri ulama adalah produsen pengetahuan. “Siapa yang menguasai produksi pengetahuan dialah yang menguasai masyarakat”. Begitu beliau (Gus Ulil Abshar Abdala) menambahkan. Begitupun patriarkihi. Patriarkhi lahir karena sebagian produsennya adalah laki-laki.

Oke, kembali ke kyai (ulama) perempuan. Kita bisa cek di kitab-kitab hadits, seperti, Bulughul Marom, Shohih Bukhari, Kutubus Sittah, Sunnan An-Nasai, dan lain-lain. Di sana banyak kita temukan hadits, khususnya hadits-hadits tentang ahwal syakhsiyah yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah. Sehingga beliau adalah benar-benar seorang ulama perempuan yang produksi pengetahuan berasal darinya.

Baca Juga:

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Bersama Ulama dan Guru Perempuan, Bangkitlah Bangsa!

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Misalnya, saya ingin membacakan satu hadits yang “panas” agar teman-teman mahasantri memberikan perhatian terhadap hadits ini. Apakah wajib wudhu setelah ciuman? Haditsnya seperti ini :

عن عائشه رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقبل بعض أزواجه ثم يصلى ولم يتوضء.

Hadits ini menjelaskan bahwa Nabi pernah mencium sebagian istrinya (bukan Siti Aisyah) lalu sholat tanpa berwudhu, lagi. Artinya itu tidak membatalkan wudhu. Kalau kita perhatikan lebih jauh lagi, hadits-hadits tentang masalah ahwal syakhsiyah (private message), kebanyakan adalah diriwayatkan oleh Siti Aisyah.

Contoh hadits yang lain, adalah hadits yang menceritakan bahwa Nabi itu kalau sholat malam, siti Aisyah (pernah) terlentang di hadapan beliau, lalu Nabi menggelitik kakinya (فغمز رجلى) agar tidak menghalangi sholatnya Nabi.

Siti Aisyah punya peranan penting dalam periwayatan hadits. Siti Aisyah adalah produsen pengetahuan. Tidak hanya sebatas hadits domestik, banyak juga hadits yang terkait publik. Termasuk dalam riwayat qiroah dalam Al-Qur’an. Imam Suyuthi, dalam kitab Al-Itqan meriwayatkan tentang hal ini. Siti Aisyah itu pernah mengoreksi salah satu bacaan Al-Qur’an dari salah seorang sahabat.

Kita tahu, beliau backgroundnya adalah keluarga bangsawan, terhormat, putri dari seorang sahabat terdekat Nabi, Abu Bakar As-Shidiq. Sehingga pelajarannya adalah bahwa memang salah satu cara untuk memberdayakan perempuan adalah melalui Ning (putri/keturunan seorang kyai).

Namun, pengertian ini bisa diperluas dengan tidak membatasi istilah “Ning” secara biologis, tetapi juga secara sosial. “Ning Sosial” istilah Bu Lies. Sehingga siapapun, sesungguhnya bisa menjadi ulama perempuan kalau punya akses dan kemampuan sebagaimana istilah “Ning” secara biologis.

Karena dengan hal itu perempuan bisa semakin lebih berdaya dari yang lain. Sebagaimana Siti Aisyah. Lebih dari itu, beliau adalah seorang sahabat yang millenial. Saya juga sangat mendukung kepada para ibu nyai dan Ning yang sudah mulai terjun berdakwah di berbagai dimensi kehidupan. Dalam berbagai cara bentuknya.

Sebagian adalah dengan mulai banyaknya novel-novel pesantren yang ditulis oleh Ning pesantren dengan kesadaran keadilan gendernya. Mereka adalah Ning millenial. Penting dijadikan sebagai network dalam gerakan perempuan. Itu merupakan sumber kultural.

Siti Aisyah adalah model ulama perempuan, Ning, ibu nyai dan millenial. Untuk menjadi seorang ulama, termasuk ulama perempuan. Setidaknya kita harus menguasai tiga hal. Pertama adalah alat pengetahuan. “Jika Anda ingin menjadi produsen pengetahuan, maka anda harus menguasai peralatan pengetahuan.” Begitu kata beliau (Gus Ulil).

Salah satu alat yang penting dalam keilmuan Islam adalah harus menguasai bahasa Arab. Karena banyak literatur pengetahuan Islam hingga yang dianggap otentik itu kebanyakan bahasa Arab. Sehingga tidak bisa kita hindari dan menjadi sebuah keniscayaan untuk kita menguasai bahasa Arab sebagai alat pengetahuan tersebut.

Karena melalui alat tersebut kita bisa memahami kitab-kitab karya ulama terdahulu. Waroqot, Lubb Ushul, Jam’ul Jawami’, Jauhar Maknun, dan lain lain. Kedua, harus menguasai alat pemikiran. Alat pemikiran yang paling krusial adalah ilmu Ushul Fiqh. Paling tidak, Ushul Fiqih tingkat sederhana.

Jangan pernah meremehkan kitab Mukhtasar. Mukhtasarnya Ushul fiqh itu adalah matan waroqot, naik sedikit, lubb Ushul, baru Jam’ul Jawami’. Walaupun ini berat sekali. Qowaidhul fiqh itu juga penting. Seperti kitab Al-Faroidul Bahiyah nadzam dasar qoidah fiqhiyah Atau kalau lebih atasnya lagi adalah Al-Asbah Wa Nadzoir.

Kemudian, ketiga adalah terkait bagaimana alat pengetahuan untuk menganalisa keilmuan modern yaitu ilmu Sosiologi. Sehingga, dengan demikian tiga hal itu adalah menguasai ilmu bahasa sebagai alat linguistik dan menguasai ilmu ushul Fiqh dan sosiologi sebagai alat pikiran.

Terakhir, wujud fisik pengetahuan adalah bentuk tulisan. Sehingga kalian belum bisa dikatakan produsen pengetahuan kalau belum bisa menuliskannya. Wa Allahu A’lam bis Showab. []

*)Dituliskan langsung dari penyampaian Gus Ulil Abshar Abdalla saat acara Muhadhoroh Iftitahiytah Ma’had Aly Kebon Jambu Babakan Cirebon.

Tags: agamailmu agamaislamperempuantokohulama
Muhammad Ridwan

Muhammad Ridwan

Santri di Pondok Kebon Jambu Al-Islamy Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

Terkait Posts

Pemukulan

Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

18 Mei 2025
Gizi Ibu Hamil

Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

17 Mei 2025
Pola Relasi Suami Istri

Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an

17 Mei 2025
Peluang Ulama Perempuan

Peluang Ulama Perempuan Indonesia dalam Menanamkan Islam Moderat

16 Mei 2025
Nusyuz

Membaca Ulang Ayat Nusyuz dalam Perspektif Mubadalah

16 Mei 2025
Poligami dalam

Menggugat Poligami, Menegakkan Monogami

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version