Mubadalah.id – Dalam kehidupan yang semakin dipermudah dengan adanya sambungan internet ini saya merasa semakin menghayati peran sebagai digital native. Hampir semua aspek kehidupan sehari-hari saya telah tersambung dan terpusat dalam gawai saja. Mulai dari mengakses informasi, belanja keperluan, pembayaran dengan dompet digital, hingga order makanan ketika saya mager untuk keluar.
Dulu saya harus mendatangi kedai atau cafe ketika ingin makan sesuatu, sekarang makanan yang justru ‘mendatangi’ saya. Tinggal klik aplikasi pesan-antar makanan, maka selang berapa menit driver akan mengantarkan makanan atau minuman yang telah dipesan.
Pernah suatu ketika saya mendapatkan driver pengantar makanan seorang Teman Tuli. Ia memberi tahu saya melalui fitur chat box aplikasi. Kemudian bertanya saya memakai baju warna apa, agar dia bisa lebih mudah mengenali saya ketika mengantar makanan.
Bagi saya, hal ini adalah pengalaman baru karena saya belum pernah sama sekali berinteraksi dengan Teman Tuli. Ada rasa takut sekaligus penasaran. Takut karena saya tidak tahu bagaimana cara komunikasinya. Juga bersemangat karena ini kali pertama saya akan bertemu Teman Tuli.
Saya membayangkan, dalam situasi ini jika saya telah menguasai bahasa isyarat, akan ada komunikasi yang terbangun antara saya dan driver tersebut. Tetapi sayangnya, saya belum bisa berbahasa isyarat, bahkan hingga saat ini.
Sejak belajar perspektif disabilitas saya merasa memiliki ketertarikan untuk belajar bahasa isyarat. Agar dapat berinteraksi dan menyambung komunikasi dengan teman disabilitas. Saat itu, saya hanya bisa mengacungkan jempol sebagai ucapan terima kasih kepada driver. Saya tersenyum kecut, merutuki diri yang tidak segera belajar bahasa isyarat ini.
Cerita Kecil di Balik Kesunyian
Selang beberapa waktu setelah saya bertemu dengan driver tersebut, ada video menarik yang berhasil menyita perhatian saya. Video yang dibagikan oleh akun Instagram @jkt.visit. Menampilkan seorang perempuan yang sedang membeli makanan di kedai pedagang kaki lima yang tidak sengaja bertemu Teman Tuli.
Sembari menunggu makanan, perempuan tersebut mengajak komunikasi Teman Tuli yang ternyata adalah anak dari pemilik kedai. Tentunya ia telah meminta izin orang tua anak tersebut untuk diajak ngobrol.
Dalam konten tersebut, antara pembeli perempuan dan Teman Tuli saling berkenalan dengan menyebutkan nama melalui bahasa isyarat. Dalam percakapan itu mereka bisa membangun komunikasi satu sama lain, lewat gerakan tangan dan ekspresi wajah. Perempuan tersebut bercerita bahwa dia belajar BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia) yang dikembangkan oleh komunitas Teman Tuli.
Sedangkan anak tersebut bercerita kalau dia bisa bahasa isyarat karena ia bersekolah. Kemudian ibunya menambahkan bahwa anaknya pintar dalam bidang matematika. Percakapan berlanjut dengan anak tersebut yang menanyakan berapa usia sang pembeli perempuan.
Pembeli perempuan itu menjawab bahwa usianya 26 tahun dan berkelakar bahwa ia sudah tua, sedangkan anak itu masih muda karena usianya masih 12 tahun. Jawaban tersebut membuat si anak tertawa. Juga ayah dan ibunya.
Dari konten yang hanya beberapa detik ini, hati saya terasa sangat terharu. Rasanya konten ini terlalu emosional dan sentimentil karena memperlihatkan bagaimana Teman Tuli terlihat bahagia ketika dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Barangkali, dari interaksi kecil itu, ia merasakan bagaimana dirinya menjadi subjek yang terlibat dalam kehidupan ini. Ia tidak dilihat sebagai “yang berbeda”, namun sebagai yang setara.
Membangun Kesadaran melalui Prinsip Martabah
Hal yang saya soroti juga adalah, bagaimana ayahnya tersenyum bahagia ketika melihat anaknya berkomunikasi dengan pembeli. Tangis saya begitu saja pecah. Momen itu sungguh hanya sekian detik dan terlampau sederhana.
Namun, justru dari hal sederhana itulah momen tersebut sangat berarti. Membayangkan betapa bahagianya sang ayah ketika anaknya bertemu dengan orang dan mengajaknya berkomunikasi. Mungkin senyum itu bukan sekedar ekspresi bahagia, tetapi wujud rasa lega, karena ada “pengakuan” yang datang terhadap anaknya.
Di titik ini, saya seperti melihat dengan nyata salah satu prinsip KUPI yang saya pelajari, yakni martabah. Membangun pola pikir bahwa semua makhluk memiliki martabat yang sama dalam pandangan Tuhan. Bukan melihat dari takaran kemampuan. Dari momen itu, saya melihat bagaimana pertemuan yang tidak disangka kemudian menjelma menjadi ruang mempraktikkan prinsip martabah, alih-alih membicarakannya saja.
Pada akhirnya rasa haru itu timbul karena sedang menyaksikan bagaimana kebaikan bekerja dalam bentuk yang sederhana, yakni bertukar cerita melalui bahasa isyarat. Betapa kehidupan di dunia ini terasa menyenangkan jika bisa berpegang pada prinsip menghargai sesama. Mengamalkan akhlak hablum minannas ideal yang dicita-citakan agama.
Menyuarakan Hak Disabilitas melalui Konten Sederhana
Di tengah banjirnya konten-konten yang bikin sakit kepala, konten interaksi antara perempuan dan Teman Tuli ini seperti oase yang menenangkan. Dalam videonya, perempuan tersebut menuliskan caption singkat namun mengandung maknanya yang mendalam. “Nothing feels better than being able to connect with deaf people through sign”.
Dari tulisan singkat itu, seolah perempuan tersebut ingin mengingatkan bahwa sebaiknya kita memiliki kemampuan berbahasa isyarat untuk membangun interaksi dengan Teman Tuli. Lebih dari itu, tulisan singkat ini seolah menyiratkan pesan terhadap kita semua untuk menghadirkan ruang komunikasi sebagai penghormatan yang setara bagi Teman Tuli.
Di tengah budaya digital yang kerap mereproduksi jarak dan misinformasi, konten video ini justru membangun narasi yang mengandung harapan. Ketimbang membuat konten ala donation crowdfunding yang terkadang melebih-lebihkan narasi keadaan disabilitas yang akhirnya malah mengundang belas kasihan, saya lebih condong untuk menyuarakan isu disabilitas dengan konten lebih sederhana namun bermakna. Memakai pola pikir bahwa disabilitas adalah subjek, bukan objek untuk diperdayakan demi meraih engagement dan keuntungan semata.
Maka, mari membangun optimisme bahwa ruang-ruang internet yang sudah sesak oleh konten-konten “sampah” itu masih bisa kita “rebut” dengan menghadirkan pesan tentang kesetaraan dan kesalingan. Melalui konten yang telah kita bahas di atas, ada upaya untuk menghadirkan pesan bahwa bahasa isyarat bukan sekedar alat komunikasi. Tetapi menjadi jembatan yang untuk membangun interaksi dalam titik yang sama, dengan martabat yang utuh pula. []












































