Mubadalah.id – Dalam rangka mengisi waktu akhir semester 1 tahun ini, sekolahku mengadakan kegiatan nonton bareng (nobar). Film yang kami putar berjudul Jembatan Pensil.
Sebenarnya film ini sudah rilis sejak tahun 2017. Namun, masih sangat relevan sekali untuk ditayangkan sekarang. Apalagi banyak hikmah yang bisa kita petik dari film tersebut. Aku rasa setelah menonton film ini anak-anak akan sedikit banyak termotivasi.
Di antara pelajaran yang bisa anak-anak ambil dari film tersebut yaitu tentang perjuangan dalam menempuh pendidikan, ketulusan, persahabatan, adab terhadap orang tua, tentang alam, dan masih banyak yang lainnya.
Film Jembatan Pensil ini mengisahkan tokoh utamanya yaitu seorang anak penyandang disabilitas yang tetap semangat menjalani kehidupan terutama dalam menempuh pendidikan. Namanya Ondeng.
Ondeng merupakan seorang anak yang mengalami keterbelakangan mental. Walau begitu, ia tetap semangat untuk sekolah agar bisa mencapai cita-citanya. Ia memiliki keinginan untuk membangun jembatan yang biasa dilalui oleh temannya untuk pergi ke sekolah. Jembatan yang sudah rusak dan menunjukkan tanda-tanda akan roboh.
Tetap Semangat dalam Keterbatasan
Belajar dari Ondeng, walalupun ia mengalami keterbelakangan mental ia tetap bersemangat untuk belajar di sekolah. Sedangkan banyak anak-anak yang normal dan memiliki fisik yang sempurna yang bermalas-malasan dalam belajar.
Bersama teman-temannya, Ondeng melewati perjalanan yang cukup jauh dan melalui berbagai rintangan untuk sampai di sekolah. Termasuk melalui jembatan yang sudah rusak.
Berjalan melewati hutan dengan sepatu yang mereka kalungkan ke leher. Bahkan sepatu robek juga masih mereka pakai. Inal, salah satu teman Ondeng yang mengalami keterbatasan penglihatan juga terlihat begitu antusias dalam belajar.
Apa kabar dengan beberapa anak generasi sekarang yang sudah diberikan fasilitas begitu baik namun hanya sesuka hati saja ketika sekolah. Bolos sekolah misalnya. Mereka harus bisa introspeksi diri.
Cobalah lihat saudara kita yang berada di pedalaman melalui film ini. Bangunan tempat mereka menuntut ilmu memang tidak sebagus di daerah yang maju. Hanya berbentuk bilik yang terbuat dari papan. Namun, mereka tetap menunjukkan semangat belajar yang tinggi.
Kepedulian Ondeng
Aku merasa trenyuh saat film ini menampilkan adegan di mana jembatan yang dilalui oleh teman-teman Ondeng ini roboh saat akan berangkat sekolah. semua temannya terjatuh ke sungai.
Ondeng yang selalu menunggu teman-temannya di ujung jembatan panik. Ia langsung terjun ke sungai dan berenang untuk menolong mereka. Setelah memastikan semua temannya selamat, mereka masih harus berjalan jauh dengan baju yang basah kuyup menuju ke sekolah.
Belajar dari film ini bahwa keterbatasan tidak menjamin baik buruknya akhlak atau karakter seseorang. Ondeng sebagai tokoh utama yang mengalami keterbelakangan mental justru memiliki rasa empati dan kepedulian yang tinggi kepada teman-temannya.
Disabilitas Selalu Dipandang Sebelah Mata
Ondeng yang memiliki keterbelakangan mental selalu dipandang sebelah mata. Tak jarang ia menjadi bahan bullyan teman-temannya yang merasa mempunyai fisik dan mental yang sempurna. Padahal di balik keterbatasan tersebut, Ondeng memiliki sifat kepedulian yang tinggi.
Mereka mengolok- olok Ondeng yang tidak lulus-lulus dari sekolah. Namun, Ondeng yang menerima bullyan dari temannya tak pernah menyimpan dendam kepada mereka. Bahkan Ia tak segan untuk menolong teman yang sudah mengejeknya ketika mereka memerlukan bantuan.
Terlihat jelas relasi kuasa yang muncul dari film ini. Mereka anak-anak yang tidak memiliki keterbatasan fisik merasa berhak untuk mengejek temannya yang berkebutuhan khusus, yang berbeda dari mereka.
Padahal, Allah saja tidak membedakan hamba-Nya hanya dari bentuk fisik, kekayaan, ataupun jabatannya saja. Yang membedakan hanya tingkat ketaqwaan seseorang. Walaupun Ondeng memiliki keterbatasan ia tak pernah lupa untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim yaitu melaksanakan salat.
Pendidikan di Indonesia yang Belum Merata
Sebuah tamparan keras datang dari film ini. Cerita yang ada di film tidak sepenuhnya fiktif. Nyatanya kondisi pendidikan di Indonesia saat ini memang belum merata. Apalagi untuk daerah pedalaman yang sangat sulit menerima akses pendidikan.
Selain itu, pendidikan anak disabilitas hendaknya mendapatkan perhatian khusus. Sangat kita sayangkan sekali jika anak-anak yang memiliki keterbatasan tidak bisa maksimal dalam memperoleh pendidikan karena harus belajar bersama teman yang normal.
Metode dan cara yang digunakan seharusnya berbeda karena tingkat pemahaman mereka juga tidak sama. Harus kita berikan ruang khusus untuk penyandang disabiltas. Rasanya sedih sekali jika mereka tidak mendapatkan pelayanan pendidikan yang sama dengan anak-anak normal yang tidak memiliki keterbatasan fisik.
Pesan yang Sampai ke Hati
Film ini diakhiri dengan meninggalnya Ondeng. Semua teman sekolah, guru, maupun orang yang dekat dengan Ondeng merasa kehilangan. Ondeng begitu baik. Ia pernah membantu teman yang sudah mengejeknya ketika terjatuh. Ondeng pernah memotong satu pensilnya untuk dibagikan kepada beberapa temannya yang tidak membawa. Ia pernah menggendong Inal ke sekolah sehabis jatuh dari sungai.
Ondeng selalu terkenang. Ia adalah sosok teman yang setia dan peduli, anak yang berbakti dan murid yang menghormati guru. Setelah kepergiannya, semua orang bergotong royong membangun jembatan yang pernah roboh. Itu adalah cita-cita Ondeng, membangun jembatan. Karena jembatan tersebut adalah satu-satunya jalan yang bisa dilalui oleh ke empat temannya untuk pergi ke sekolah.
Di sesi akhir film ini, aku terpaku menatap seorang siswa laki-laki yang duduk beberapa meter di depanku. Bahunya bergetar. Oh ternyata Ia menangis tepat di mana tokoh utama dalam film ini yaitu Ondeng meninggal dunia. Dari sini aku tersenyum kecil, ternyata pesan dalam Film Jembatan Pensil ini sampai ke hati anak. []