Dalam penyelesaian tugas akhir perkuliahan, saya mengangkat judul skripsi tentang “Khitan Perempuan di Desa Rumpa Kec. Mapillli, Kabupaten Polewali Mandar”. Praktik Khitan perempuan di kampung ini merupakan tradisi yang masih mengakar kuat dan umumnya dilakukan pada rentang usia 1-7 tahun, bahkan ada yang melakukannnya pada hari ketujuh kelahiran sang anak sekaligus dirangkaikan dengan upacara aqiqah (ma’akeka’).
Cara khitan yang dipraktikkan, cukup mencubit ujung klitoris dengan benda tajam berupa pisau, atau hanya sebatas melewatkan pisau tersebut di atas klitoris.
“Kenapa perempuan harus dikhitan, puang” tanyaku kepada juru khitan perempuan kampung tersebut.
“Sebagai bentuk kesempurnaan keislaman dan hal tersebut sudah dilakukan sejak dulu” tegas juru khitan.
Lantas, bagaimana jika seandainya ada seorang perempuan yang baru masuk Islam (mu’allaf ) dan dia sudah dewasa, apakah masih harus dikhitan? Apakah keislamannya tidak sempurna? Tanyaku.
“Jika sudah dewasa, maka tidak perlu lagi dikhitan, pasti dia akan malu, tapi Islamnya tidak sempurna.
Mendengar jawaban tersebut, dalam hati saya mendebat “apa iya berkhitan itu menjadi ukuran kesempurnaan Islam seorang perempuan?” Namun, saya tidak berani mendebati informan, karena bagaiman pun saya harus menjaga etika sebagai peneliti.
Dalam sebuah hadis dijelaskan :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسِ، قَالَ: «الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ (رواه التبراني).
“Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata “adapun khitan sunah bagi laki-laki dan kehormatan bagi perempuan.” (HR Al-Tabrani).
Dari hadis tersebut terlihat jelas, bahwa khitan bagi laki – laki itu sunnah (sesuatu yang sangat dianjurkan), sementara bagi perempuan adalah sebuah kehormatan dan kehormatan itu sifatnya bukan perintah ataupun anjuran. Lebih jauh, hadis ini pun dipertentangkan statusnya, ada yang mengatakan dhaif (lemah), ada yang mengatak hasan, tidak sampai pada derajat shahih.
Tidak ada satu kata pun dari hadis di atas yang menyatakan bahwa khitan perempuan itu adalah penyempurna kemuslimahan seorang perempuan dan realitanya khitan tidak memberikan kemaslahatan bagi perempuan, justru merugikan jika sampai terjadi pelukaan, apalagi pemotongan. Hal tersebut akan berefek pada masa depannya baik secara fisik maupun psikis.
Sehingga penting kiranya menggarisbawahi bahwa tidak semua yang baik bagi laki-laki itu baik pula bagi perempuan, tetap saja harus mempertimbangkan kemaslahatan dan kemudharatannya.[]