• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Berhenti Menjadikan Anak sebagai Alasan Ketidakberdayaan Dirimu!

Perempuan harus percaya diri dan berhenti menjadikan anak sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab atas ketidakberdayaan mereka

Retno Daru Dewi G. S. Putri Retno Daru Dewi G. S. Putri
02/08/2021
in Personal
0
Perempuan

Perempuan

4.7k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Beberapa bulan terakhir saya dipercaya untuk bekerja di dalam beberapa tim. Dalam tim-tim tersebut saya juga diminta membimbing para anggotanya agar dapat mencapai tujuan dari tugas kami dengan baik. Akan tetapi, bekerja di dalam kelompok bukanlah hal yang mudah. Ada kalanya rekan kerja yang dikenal secara personal ternyata tidak kooperatif ketika harus bekerja sama secara profesional.

Puncaknya adalah ketika saya dihubungi oleh atasan yang menyerah dalam membimbing salah satu anggota tim kami. Yang mengherankan, tim lain juga baru saja mengeluhkan salah satu anggotanya yang tidak bisa diajak kerja sama. Setelah ditelusuri, kedua rekan kerja saya ini tidak hanya sulit diajak bekerjasama tetapi juga sering berkelit dari ketidakberdayaan mereka. Rasa tidak percaya diri seolah-olah mendominasi segala alasan mereka dalam menunda pekerjaan.

Selain itu, yang patut disayangkan adalah sikap mereka yang gemar mengeluhkan hambatan yang katanya disebabkan oleh anak-anak mereka. Setelah ditelusuri, ternyata kedua rekan kerja saya terperangkap dalam pola pikir masyarakat yang usang. Mereka berdua adalah perempuan yang menjadi korban patriarki sehingga tidak mampu mencetak prestasi.

Dogma Agama Sebagai Sumber Ketidakberdayaan Perempuan

Rekan kerja saya yang pertama terperangkap dogma agama. Sebagai perempuan, dia memiliki pemahaman bahwa seorang akhwat memiliki tugas melahirkan keturunan-keturunan yang mampu meneruskan perjuangan dalam Islam. Sayangnya, dia tidak memahami sanggup atau tidaknya tubuh yang dia miliki untuk menjalani proses reproduksi. Akan tetapi, karena doktrin yang menyalahgunakan agama dipahaminya sejak usia yang sangat muda, dia seolah-olah tidak memiliki kuasa untuk menunda kehamilan yang jaraknya berdekatan.

Baca Juga:

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

Lemahnya posisi rekan kerja saya sangat terlihat setelah mengalami keguguran sebanyak dua kali. Saya dan rekan-rekan kerja yang lain berekspektasi dia akan beristirahat dan menunda kehamilan untuk memulihkan tubuhnya kembali. Akan tetapi, setiap suaminya pulang dinas luar kota, tidak lama kemudian dia pasti mengandung lagi. Sehingga rekan kerja saya ini tidak mendapatkan kesempatan untuk pulih dari kegugurannya secara sempurna.

Selain itu, ketidaksetaraan dalam pengasuhan di dalam rumah tangga membuatnya kesulitan berprestasi dalam bekerja. Tidak hanya sering meminta keringanan dan perubahan jadwal ini-itu, dia selalu minta dimaklumi karena kerepotan mengasuh keempat orang anaknya.

Keluhan tersebut tidak semudah itu membuat empati saya dan rekan-rekan kerja yang lain muncul. Bagaimana tidak, kami dipimpin oleh banyak perempuan yang juga memiliki keluarga dan anak. Akan tetapi, mereka tidak pernah menjadikan anak mereka alasan dari lambatnya kinerja mereka yang terkadang tidak dapat dihindari.

Pola Asuh Sebagai Sumber Ketidakberdayaan Perempuan

Selain dogma, pola asuh yang dialami perempuan juga mempengaruhi perannya sebagai seorang ibu. Berbeda dengan yang pertama, rekan kerja saya yang kedua dibesarkan oleh orang tua yang memaksanya untuk selalu menjadi yang terbaik. Peringkat satu di sekolah hanya satu dari sekian contoh prestasi yang harus diraihnya sejak kecil. Akan tetapi, motivasinya tidak didampingi oleh kebebasan melainkan paksaan. Sehingga, sampai di usia dewasa rekan kerja saya ini akan merasa panik apabila melakukan kesalahan kecil dalam bekerja.

Tidak hanya itu, sikapnya yang sempat merepotkan adalah keputusannya untuk berkali-kali menyerah dan mengundurkan diri dari pekerjaan. Rasa tidak percaya diri tersebut muncul sebelum dia mau mencoba mengerjakan tugas yang sama menantangnya bagi seluruh tim. Sehingga, tidak hanya saya, seluruh anggota tim merasa direpotkan oleh sikapnya tersebut.

Serupa dengan rekan kerja yang pertama, rekan kerja saya yang kedua sering menjadikan anak sebagai alasan dari kinerjanya yang kurang baik. Jika ditanya oleh atasan kami mengenai perkembangan tugas, dia selalu minta dimaklumi karena pekerjaannya diselingi dengan mengasuh anak. Alasan lain dari pekerjaannya yang tidak maksimal adalah pemilihan waktu bekerja di tengah malam untuk menghindari gangguan dari anak-anaknya yang belum tidur.

Alasan-alasan yang dikemukakannya tentu tidak dimaklumi oleh atasan kami. Tim saya dipimpin oleh seorang perempuan pekerja keras yang sempat mengemban pendidikan di Eropa sembari mengurus ketiga orang anaknya. Wajar saja alasan rekan kerja saya tidak mendapatkan empati semudah itu. Apalagi atasan kami paham betul bahwa orang yang mengeluh sebenarnya tidak direpotkan oleh anak melainkan oleh rasa tidak percaya dirinya sendiri.

Sikap Tidak Adil Perempuan Berkeluarga terhadap Perempuan Lajang

Hal lain yang semakin menyulitkan proses pemberdayaan rekan-rekan kerja perempuan saya ini adalah pandangan mereka yang tidak adil terhadap kami, perempuan lajang. Walaupun dikelilingi oleh pemimpin-pemimpin perempuan hebat lainnya, sulit sekali untuk meyakinkan kedua rekan saya bahwa mereka juga mampu memainkan peran ganda dengan baik.

Kesulitan tersebut biasanya datang dari pandangan mereka terhadap perempuan lajang yang selalu ditempatkan pada posisi yang rendah. Perempuan lajang seperti saya dianggap tidak akan pernah mengerti kondisi mereka. Padahal jika berbicara tentang pengasuhan, kami yang belum menikah dan punya anak juga pernah mengasuh bayi, adik, atau keponakan. Selain itu, bukan berarti kami yang lajang tidak paham wawasan tentang keluarga dan pengasuhan. Seringkali empati dan pemahaman yang kami miliki menjadi motivasi untuk belajar dan mencari tahu hal-hal yang dekat dengan ranah keluarga dan perempuan.

Ketidakadilan lainnya yang seringkali dibebankan kepada kami adalah pekerjaan. Orang-orang seperti kedua rekan kerja saya seringkali mengira kami yang lajang tidak punya kehidupan. Sehingga mereka dengan santainya mendelegasikan pekerjaan yang seharusnya bukan menjadi kewajiban kami. Padahal kaum lajang juga punya keluarga, teman, atau peliharaan yang harus mereka perhatikan.

Dari kedua contoh yang terjadi di dekat saya, terbukti bahwa masih ada perempuan-perempuan yang tidak menyadari bahwa diri mereka adalah korban patriarki. Mereka juga tidak paham bahwa mereka memiliki pilihan atas hak reproduksinya sendiri. Selain itu, pemahaman peran ibu yang mereka anut tidak diikuti oleh pemberdayaan yang baik. Sehingga menjalankan peran ganda yang dapat mencetak prestasi jarang terbesit di pikiran mereka.

Hal ini masih menunjukkan bahwa perjuangan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan belum usai. Masih banyak wawasan yang harus disebarluaskan untuk menghentikan perkembangan pola pikir patriarki di sekeliling kita. Dimulai dari orang terdekat, pemberdayaan dapat dilakukan secara perlahan. Sehingga perempuan menjadi lebih waspada dan mandiri serta berhenti menjadikan anak-anak sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab atas ketidakberdayaan mereka sendiri. []

 

 

 

 

 

Tags: beban gandaBudaya PatriarkiDogma AgamaHak Kesehatan Reproduksi PerempuanIbu BekerjakeluargaLajangperempuanPola Pengasuhan Anak
Retno Daru Dewi G. S. Putri

Retno Daru Dewi G. S. Putri

Daru adalah staf redaksi Jurnal Perempuan dan seorang pengajar bahasa Inggris di Lembaga Bahasa Internasional, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Anggota Puan Menulis ini memiliki minat seputar topik gender, filsafat, linguistik, dan sastra.

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID