Jumat, 3 Oktober 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Soka Gakkai

    Pimpinan Soka Gakkai Jepang: Dialog Antaragama Hilangkan Salah Paham tentang Islam

    Gus Dur dan Ikeda

    Masjid Istiqlal Jadi Ruang Perjumpaan Dialog Peradaban Gus Dur dan Daisaku Ikeda

    Fasilitas Ramah Disabilitas

    Teguhkan Komitmen Inklusif, Yayasan Fahmina Bangun Fasilitas Ramah Disabilitas

    UIN SSC Kampus Inklusif

    UIN SSC Menuju Kampus Inklusif: Dari Infrastruktur hingga Layanan Digital Ramah Disabilitas

    Makan Bergizi Gratis

    Ironi Makan Bergizi Gratis: Ketika Urusan Dapur Menjadi Kebijakan Publik

    Nyai Sinta Nuriyah

    Kunjungi Aktivis yang Ditahan, Nyai Sinta Nuriyah Tunjukkan Keteguhan Ulama Perempuan dalam Membela Rakyat

    Hari Tani

    Hari Tani Nasional 2025: Menghargai Petani dan Menjaga Pangan Negeri

    Jaringan WPS

    5 Tuntutan Jaringan WPS Indonesia atas Penangkapan Perempuan Pasca Demonstrasi

    Kampanye Inklusivitas

    Inklusivitas di Era Digital: Strategi Baru Kampanye di Media Sosial

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    kerja domestik

    Meneladani Nabi Muhammad dalam Kerja Domestik

    Fiqhul Bina'

    Belajar dari Musibah Ponpes Al Khoziny: Menghidupkan Fiqhul Bina’ di Dunia Pesantren

    Ekosistem mangrove

    Perempuan Pangkal Babu: Menjaga Ekosistem Mangrove Lewat Batik

    Pipiet Senja

    Mengenang Pipiet Senja; Terima Kasih telah Mewarnai Masa Remajaku

    Rumah Tinggal

    Mencari Rumah Tinggal bagi Keluarga Sakinah

    Kerja Domestik

    Kerja Domestik Laki-Laki dan Perempuan Sama-Sama Ibadah

    Difabel Grahita

    Fikih Inklusif : Meneguhkan Hak Ekonomi Dan Sosial Difabel Grahita

    Kerja Domestik

    Kerja Domestik dalam Perspektif Mubadalah

    Kehilangan Mama

    Apa Rasanya Kehilangan Mama?

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Keluarga Mubadalah

    Keluarga dalam Perspektif Mubadalah

    Syafaat Nabi

    Lima Syafaat Nabi di Tengah Lesunya Ekonomi

    Akhlak Nabi

    Dakwah Nabi di Makkah: Menang dengan Akhlak, Bukan Kekerasan

    Teladan Nabi dan Abu Bakar terhadap Umat Berbeda Agama

    Teladan Nabi dan Abu Bakar terhadap Umat Berbeda Agama

    Akhlak Nabi yang

    Akhlak Nabi Tak Pernah Berubah, Meski pada yang Berbeda Agama

    Nabi Muhammad Saw

    Kesaksian Khadijah Ra atas Kemuliaan Akhlak Nabi Muhammad Saw

    Berbeda Agama

    Membaca Kembali Relasi Nabi dengan Umat Berbeda Agama

    Akhlak Nabi dalam

    Meneladani Akhlak Nabi dalam Relasi Antarumat Beragama

    Akhlak Luhur Nabi

    Meneladani Akhlak Luhur Nabi Muhammad Saw

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Soka Gakkai

    Pimpinan Soka Gakkai Jepang: Dialog Antaragama Hilangkan Salah Paham tentang Islam

    Gus Dur dan Ikeda

    Masjid Istiqlal Jadi Ruang Perjumpaan Dialog Peradaban Gus Dur dan Daisaku Ikeda

    Fasilitas Ramah Disabilitas

    Teguhkan Komitmen Inklusif, Yayasan Fahmina Bangun Fasilitas Ramah Disabilitas

    UIN SSC Kampus Inklusif

    UIN SSC Menuju Kampus Inklusif: Dari Infrastruktur hingga Layanan Digital Ramah Disabilitas

    Makan Bergizi Gratis

    Ironi Makan Bergizi Gratis: Ketika Urusan Dapur Menjadi Kebijakan Publik

    Nyai Sinta Nuriyah

    Kunjungi Aktivis yang Ditahan, Nyai Sinta Nuriyah Tunjukkan Keteguhan Ulama Perempuan dalam Membela Rakyat

    Hari Tani

    Hari Tani Nasional 2025: Menghargai Petani dan Menjaga Pangan Negeri

    Jaringan WPS

    5 Tuntutan Jaringan WPS Indonesia atas Penangkapan Perempuan Pasca Demonstrasi

    Kampanye Inklusivitas

    Inklusivitas di Era Digital: Strategi Baru Kampanye di Media Sosial

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    kerja domestik

    Meneladani Nabi Muhammad dalam Kerja Domestik

    Fiqhul Bina'

    Belajar dari Musibah Ponpes Al Khoziny: Menghidupkan Fiqhul Bina’ di Dunia Pesantren

    Ekosistem mangrove

    Perempuan Pangkal Babu: Menjaga Ekosistem Mangrove Lewat Batik

    Pipiet Senja

    Mengenang Pipiet Senja; Terima Kasih telah Mewarnai Masa Remajaku

    Rumah Tinggal

    Mencari Rumah Tinggal bagi Keluarga Sakinah

    Kerja Domestik

    Kerja Domestik Laki-Laki dan Perempuan Sama-Sama Ibadah

    Difabel Grahita

    Fikih Inklusif : Meneguhkan Hak Ekonomi Dan Sosial Difabel Grahita

    Kerja Domestik

    Kerja Domestik dalam Perspektif Mubadalah

    Kehilangan Mama

    Apa Rasanya Kehilangan Mama?

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Keluarga Mubadalah

    Keluarga dalam Perspektif Mubadalah

    Syafaat Nabi

    Lima Syafaat Nabi di Tengah Lesunya Ekonomi

    Akhlak Nabi

    Dakwah Nabi di Makkah: Menang dengan Akhlak, Bukan Kekerasan

    Teladan Nabi dan Abu Bakar terhadap Umat Berbeda Agama

    Teladan Nabi dan Abu Bakar terhadap Umat Berbeda Agama

    Akhlak Nabi yang

    Akhlak Nabi Tak Pernah Berubah, Meski pada yang Berbeda Agama

    Nabi Muhammad Saw

    Kesaksian Khadijah Ra atas Kemuliaan Akhlak Nabi Muhammad Saw

    Berbeda Agama

    Membaca Kembali Relasi Nabi dengan Umat Berbeda Agama

    Akhlak Nabi dalam

    Meneladani Akhlak Nabi dalam Relasi Antarumat Beragama

    Akhlak Luhur Nabi

    Meneladani Akhlak Luhur Nabi Muhammad Saw

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

“Cantik”, Tak Lebih Dari Sekadar Konstruksi Ontologis Sempit

Cantik tak seharusnya jadi ukuran nilai seorang perempuan. Ia bisa menjadi ekspresi keberanian menolak.

Siti Roisadul Nisok Siti Roisadul Nisok
7 Agustus 2025
in Personal
0
Cantik

Cantik

1.6k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Mirror, mirror on the wall, who’s the fairest of them all ?

Mubadalah.id – Waktu kecil, saya sangat menyukai karakter-karakter Disney Princess, terutama Snow White. Maka tak heran kalau kalimat itu terasa begitu familiar di telinga saya. Kalimat itu memang muncul dari dongeng, tapi hari ini, ia hidup dalam benak banyak orang. Mengapa demikian ?

Setiap kali membuka kamera depan, mengatur angle kamera, menghapus bekas jerawat menggunakan filter, atau mengunggah foto selfie setelah menyuntingnya. Cermin hari ini tak lagi sekadar benda kaca, tapi algoritma. Dan yang lebih menyedihkan, saya dan mungkin kebanyakan perempuan terus memainkan permainan ini tanpa sadar, tunduk pada aturan yang budaya dominan rancang dan pasar kuatkan.

“Cantik”, Apakah Ilusi yang Dikolektifkan?

Kita hidup di tengah masyarakat yang tak sekadar mengagumi kecantikan, tapi mengorganisasikannya. Cantik bukan lagi soal selera pribadi, tapi telah menjadi sistem nilai, bahkan nyaris seperti kewajiban eksistensial. Pertanyaan seperti “apa itu cantik?” tak bisa lepas dari status ontologisnya.

Apakah kita sedang membicarakan sesuatu yang benar-benar ada dalam dirinya sendiri, atau hanya makna yang kita sepakati dan wariskan secara sosial?

Apakah “cantik” sungguh ada sebagai entitas yang tetap dan universal, atau hanya hasil konstruksi sosial yang menyamar sebagai kebenaran?

Setiap bayi perempuan lahir dalam keadaan kosong dari label estetis. Ia belum tahu apa itu pipi tirus atau rambut lurus. Namun begitu ia tumbuh, dunia memperkenalkannya pada boneka yang berkulit pucat dan berkaki jenjang, cerita putri dengan pinggang ramping, dan wajah-wajah yang dikultuskan karena simetris. Konstruksi ini pun mulai bekerja sejak saat itu. Cantik bukan entitas metafisik yang otonom, melainkan hasil dari dialektika antara tubuh, bahasa, dan kekuasaan.

Apabila kita mengakui bahwa keberadaan tidak pernah netral, maka kecantikan pun mengikuti sistem nilai yang masyarakat bentuk sendiri. Cantik bukan sesuatu yang kita temukan, melainkan sesuatu yang masyarakat ciptakan dan pelihara secara kolektif

Kesepakatan diam-diam itu tumbuh dari generasi ke generasi. Budaya membingkainya, media menghaluskannya, dan norma-norma sosial terus mengukuhkannya dalam keseharian kita. Maka, ketika kita mengatakan “cantik”, yang sebenarnya kita lakukan adalah mengafirmasi realitas sosial yang sedang bekerja. Realitas yang terus memilih, menyortir, dan menetapkan siapa yang layak tampil dan siapa yang mereka dorong keluar dari bingkai perhatian

Tubuh Perempuan sebagai Medan Kuasa

Dalam kerangka ini, kiranya tak ekstrem mengatakan bahwa masyarakat terus memperlakukan tubuh perempuan layaknya teks, Mereka membaca, menafsirkan, dan menetapkan makna atasnya tanpa henti.. Ia tak pernah berdiri sendiri, karena nilai atasnya selalu bersandar pada persepsi luar.

Michel Foucault, misalnya, mengajarkan bahwa kekuasaan modern tidak lagi bekerja melalui represi langsung atau kekerasan yang kasatmata, melainkan melalui produksi wacana, normalisasi, dan pengawasan internal yang tak terlihat. Kekuasaan tak lagi hadir sebagai sosok otoriter, tapi menjelma sebagai sistem disipliner yang menysusup ke dalam cara kita melihat diri sendiri.

Dalam konteks tubuh perempuan, kekuasaan ala Foucauldian ini beroprasi melalui institusi sosial seperti media dan industri kecantikan yang secara halus menetapkan standar fisik tertentu sebagai ideal.

Cantik, dalam hal ini, adalah mekanisme kontrol. Kuasa tidak hanya menyasar tubuh, tetapi juga mengarahkan keinginan dan menyusun kesadaran. Sistem sosial membentuk perempuan agar terus mengawasi diri, menilai dirinya dari kacamata luar, dan menyesuaikan hidup dengan norma-norma yang tidak mereka bangun sendiri.

Inilah yang Foucault sebut sebagai Social Panopticon—sebuah situasi ketika individu merasa terus-menerus dalam sorotan, meski tanpa pengawasan langsung. Hingga akhirnya membentuk disiplin tubuh menjadi otomatis. Cantik, dalam sistem ini, bukan hanya identitas visual. Namun juga bentuk kepatuhan.

Disiplin Tubuh dan Citra Ideal: Kuasa yang Menyusup Halus

Tubuh yang dianggap indah adalah tubuh yang jinak terhadap pasar, terhadap norma, terhadap tata sosial patriarkal. Maka, tubuh perempuan bukan lagi sekadar organik atau biologis, melainkan politik.

Dalam kacamata Foucauldian, tubuh berperan sebagai pusat operasi rezim kuasa modern. Bukan melalui kekerasan fisik, melainkan melalui teknik pengendalian yang halus dan berhasil menyusup ke kesadaran. Kekuasaan tak memaksa perempuan secara langsung, tetapi menanamkan imajinasi kolektif tentang apa itu ‘tubuh ideal’. Disiplin diri, melalui prosedur kosmetik yang beroprasi dalam logika kuasa—yang nyaris tak kasat mata.

Narasi seperti “perawatan diri” adalah bentuk baru dari praktik disipliner. Ia tampak membebaskan, padahal bisa saja bekerja dalam mekanisme normalisasi yang membuat perempuan secara sukarela tunduk pada standar yang tidak mereka rumuskan sendiri. Namun penting untuk membedakan: merawat tubuh tidak serta-merta berarti tunduk. Tidak semua praktik diet atau skincare lahir dari paksaan sistemik. Ada pula yang lahir dari kasih sayang terhadap tubuh itu sendiri.

Merawat Diri Bukan Berarti Kehilangan Otonomi

Menjaga kesehatan, memberi nutrisi, merawat kulit, atau memilih berpakaian rapi bisa menjadi bentuk perawatan yang berangkat dari kesadaran dan kedaulatan diri. Bukan dari desakan untuk memenuhi ekspektasi luar.

Kita tidak sedang mempermasalahkan aktivitas merawat itu sendiri, melainkan logika kuasa yang menyelusup di baliknya—logika yang mendorong individu terus-menerus mengerahkan tenaga untuk menyempurnakan tubuh demi mengejar validasi sosial tanpa henti.

Di sinilah kecantikan menjadi problematis: ketika ia tak lagi netral, melainkan bekerja sebagai instrumen kuasa. Kuasa terus mendorong masyarakat untuk menerima, memuji, dan extremnya menjual tubuh-tubuh tertentu yang telah sesuai dengan standar dominan. Yang patut kita gugat bukan tindakan merawat tubuh itu sendiri, melainkan sistem nilai yang menjadikan tubuh perempuan sebagai komoditas kapital dan sarana pelestarian norma.

Konstruksi ini tidak bebas nilai. Ia bekerja dalam sistem patriarki yang menjadikan perempuan sebagai objek, bukan subjek. Ketika masyarakat hanya menghargai perempuan karena rampingnya pinggang atau beningnya kulit, mereka sedang memangkas eksistensi perempuan ke dalam kerangka hasrat laki-laki.

Bahkan di ruang-ruang yang mengklaim diri progresif. Hal tersebut masih menjadi modal sosial: semakin “cantik”, semakin besar nilai jualnya. Lebih tragis lagi, banyak perempuan yang akhirnya ikut menggandakan dan merawat mitos ini, terkadang tanpa sadar, bahkan terhadap sesamanya.

Melampaui “Cantik”: Tafsir, Perlawanan, dan Otoritas Diri

Dalam filsafat kritis, ahli teori gender, Judith Butler menyodorkan gagasan tentang gender performativity—bahwa identitas gender (dan identitas pada umumnya) bukan sesuatu yang kita miliki secara esensial, melainkan sesuatu yang kita lakukan secara terus-menerus.

Identitas adalah aksi, bukan substansi. Dalam konteks ini, “cantik” bukanlah kualitas tetap yang melekat pada tubuh, melainkan hasil dari tindakan-tindakan sosial dan kultural yang mengulang terus-menerus. Perempuan memperoleh label cantik bukan karena mereka memilikinya secara esensial, melainkan karena mereka memperagakan cantik sesuai skenario yang budaya dominan mainstreaming-kan.

Dengan demikian, performativitas membuka ruang radikal untuk penolakan dan pembongkaran. Jika cantik adalah performa, maka siapa pun bisa memilih untuk tidak ikut serta dalam pertunjukan itu. Perempuan bisa mengacaukan skrip yang sudah industri tulis, kemudian bisa menciptakan skrip baru yang membebaskan. Dalam setiap tindakan, dalam setiap pengulangan yang menyimpang dari norma, di sanalah letak perlawanan.

Alih-alih menerima “cantik” sebagai kebenaran ontologis mutlak, kita bisa memahaminya sebagai medan tafsir. Tafsir yang seharusnya inklusif, subjektif, dan membebaskan. Di sinilah pentingnya menghadirkan cara pandang yang adil secara relasional.

Bukan dalam bentuk jargon, tapi dalam praksis sehari-hari, bahwa tubuh bukan untuk dikurung oleh ekspektasi, melainkan untuk dijalani dengan penuh otoritas diri. Bukan demi memuaskan mata luar, tapi demi merayakan eksistensi dalam bentuknya yang paling utuh.

Cantik tak seharusnya jadi ukuran nilai seorang perempuan. Ia bisa menjadi ekspresi keberanian menolak. Keberanian meredefinisi. Cantik bisa berarti lantang, bisa berarti sunyi yang bermakna, bisa berarti perempuan yang menjahit sendiri lukanya diam-diam, tanpa gembar-gembor. Semua itu adalah wajah-wajah cantik yang luput dari kamera. []

 

 

Tags: CantikfeminismeIndustri KecantikanKesadaran KritisKonstruksi Sosialperempuan
Siti Roisadul Nisok

Siti Roisadul Nisok

Siti Roisadul Nisok is an M.Phil student in the Faculty of Philosophy at Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia. Her research interests include religious studies, digitization, philosophy, cultural studies, and interfaith dialogue. She can be reached on Instagram via the handle: @roisabukanraisa.

Terkait Posts

Ekosistem mangrove
Publik

Perempuan Pangkal Babu: Menjaga Ekosistem Mangrove Lewat Batik

2 Oktober 2025
Kerja Domestik
Keluarga

Kerja Domestik Laki-Laki dan Perempuan Sama-Sama Ibadah

2 Oktober 2025
Perempuan Akar Rumput
Personal

Perempuan Akar Rumput sebagai Influencer Perdamaian

29 September 2025
Batasan Menjalin Relasi
Personal

Mengapa Penting bagi Perempuan Memiliki Batasan dalam Menjalin Relasi?

24 September 2025
Kekerasan Pada Perempuan
Publik

Menilik Kasus Kekerasan pada Perempuan: Cinta Harusnya Merangkul Bukan Membunuh!

26 September 2025
Jaringan WPS
Aktual

5 Tuntutan Jaringan WPS Indonesia atas Penangkapan Perempuan Pasca Demonstrasi

23 September 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Difabel Grahita

    Fikih Inklusif : Meneguhkan Hak Ekonomi Dan Sosial Difabel Grahita

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenang Pipiet Senja; Terima Kasih telah Mewarnai Masa Remajaku

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Pangkal Babu: Menjaga Ekosistem Mangrove Lewat Batik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kerja Domestik Laki-Laki dan Perempuan Sama-Sama Ibadah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pimpinan Soka Gakkai Jepang: Dialog Antaragama Hilangkan Salah Paham tentang Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Meneladani Nabi Muhammad dalam Kerja Domestik
  • Belajar dari Musibah Ponpes Al Khoziny: Menghidupkan Fiqhul Bina’ di Dunia Pesantren
  • Perempuan Pangkal Babu: Menjaga Ekosistem Mangrove Lewat Batik
  • Mengenang Pipiet Senja; Terima Kasih telah Mewarnai Masa Remajaku
  • Pimpinan Soka Gakkai Jepang: Dialog Antaragama Hilangkan Salah Paham tentang Islam

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID