“Mirror, mirror on the wall, who’s the fairest of them all ?
Mubadalah.id – Waktu kecil, saya sangat menyukai karakter-karakter Disney Princess, terutama Snow White. Maka tak heran kalau kalimat itu terasa begitu familiar di telinga saya. Kalimat itu memang muncul dari dongeng, tapi hari ini, ia hidup dalam benak banyak orang. Mengapa demikian ?
Setiap kali membuka kamera depan, mengatur angle kamera, menghapus bekas jerawat menggunakan filter, atau mengunggah foto selfie setelah menyuntingnya. Cermin hari ini tak lagi sekadar benda kaca, tapi algoritma. Dan yang lebih menyedihkan, saya dan mungkin kebanyakan perempuan terus memainkan permainan ini tanpa sadar, tunduk pada aturan yang budaya dominan rancang dan pasar kuatkan.
“Cantik”, Apakah Ilusi yang Dikolektifkan?
Kita hidup di tengah masyarakat yang tak sekadar mengagumi kecantikan, tapi mengorganisasikannya. Cantik bukan lagi soal selera pribadi, tapi telah menjadi sistem nilai, bahkan nyaris seperti kewajiban eksistensial. Pertanyaan seperti “apa itu cantik?” tak bisa lepas dari status ontologisnya.
Apakah kita sedang membicarakan sesuatu yang benar-benar ada dalam dirinya sendiri, atau hanya makna yang kita sepakati dan wariskan secara sosial?
Apakah “cantik” sungguh ada sebagai entitas yang tetap dan universal, atau hanya hasil konstruksi sosial yang menyamar sebagai kebenaran?
Setiap bayi perempuan lahir dalam keadaan kosong dari label estetis. Ia belum tahu apa itu pipi tirus atau rambut lurus. Namun begitu ia tumbuh, dunia memperkenalkannya pada boneka yang berkulit pucat dan berkaki jenjang, cerita putri dengan pinggang ramping, dan wajah-wajah yang dikultuskan karena simetris. Konstruksi ini pun mulai bekerja sejak saat itu. Cantik bukan entitas metafisik yang otonom, melainkan hasil dari dialektika antara tubuh, bahasa, dan kekuasaan.
Apabila kita mengakui bahwa keberadaan tidak pernah netral, maka kecantikan pun mengikuti sistem nilai yang masyarakat bentuk sendiri. Cantik bukan sesuatu yang kita temukan, melainkan sesuatu yang masyarakat ciptakan dan pelihara secara kolektif
Kesepakatan diam-diam itu tumbuh dari generasi ke generasi. Budaya membingkainya, media menghaluskannya, dan norma-norma sosial terus mengukuhkannya dalam keseharian kita. Maka, ketika kita mengatakan “cantik”, yang sebenarnya kita lakukan adalah mengafirmasi realitas sosial yang sedang bekerja. Realitas yang terus memilih, menyortir, dan menetapkan siapa yang layak tampil dan siapa yang mereka dorong keluar dari bingkai perhatian
Tubuh Perempuan sebagai Medan Kuasa
Dalam kerangka ini, kiranya tak ekstrem mengatakan bahwa masyarakat terus memperlakukan tubuh perempuan layaknya teks, Mereka membaca, menafsirkan, dan menetapkan makna atasnya tanpa henti.. Ia tak pernah berdiri sendiri, karena nilai atasnya selalu bersandar pada persepsi luar.
Michel Foucault, misalnya, mengajarkan bahwa kekuasaan modern tidak lagi bekerja melalui represi langsung atau kekerasan yang kasatmata, melainkan melalui produksi wacana, normalisasi, dan pengawasan internal yang tak terlihat. Kekuasaan tak lagi hadir sebagai sosok otoriter, tapi menjelma sebagai sistem disipliner yang menysusup ke dalam cara kita melihat diri sendiri.
Dalam konteks tubuh perempuan, kekuasaan ala Foucauldian ini beroprasi melalui institusi sosial seperti media dan industri kecantikan yang secara halus menetapkan standar fisik tertentu sebagai ideal.
Cantik, dalam hal ini, adalah mekanisme kontrol. Kuasa tidak hanya menyasar tubuh, tetapi juga mengarahkan keinginan dan menyusun kesadaran. Sistem sosial membentuk perempuan agar terus mengawasi diri, menilai dirinya dari kacamata luar, dan menyesuaikan hidup dengan norma-norma yang tidak mereka bangun sendiri.
Inilah yang Foucault sebut sebagai Social Panopticon—sebuah situasi ketika individu merasa terus-menerus dalam sorotan, meski tanpa pengawasan langsung. Hingga akhirnya membentuk disiplin tubuh menjadi otomatis. Cantik, dalam sistem ini, bukan hanya identitas visual. Namun juga bentuk kepatuhan.
Disiplin Tubuh dan Citra Ideal: Kuasa yang Menyusup Halus
Tubuh yang dianggap indah adalah tubuh yang jinak terhadap pasar, terhadap norma, terhadap tata sosial patriarkal. Maka, tubuh perempuan bukan lagi sekadar organik atau biologis, melainkan politik.
Dalam kacamata Foucauldian, tubuh berperan sebagai pusat operasi rezim kuasa modern. Bukan melalui kekerasan fisik, melainkan melalui teknik pengendalian yang halus dan berhasil menyusup ke kesadaran. Kekuasaan tak memaksa perempuan secara langsung, tetapi menanamkan imajinasi kolektif tentang apa itu ‘tubuh ideal’. Disiplin diri, melalui prosedur kosmetik yang beroprasi dalam logika kuasa—yang nyaris tak kasat mata.
Narasi seperti “perawatan diri” adalah bentuk baru dari praktik disipliner. Ia tampak membebaskan, padahal bisa saja bekerja dalam mekanisme normalisasi yang membuat perempuan secara sukarela tunduk pada standar yang tidak mereka rumuskan sendiri. Namun penting untuk membedakan: merawat tubuh tidak serta-merta berarti tunduk. Tidak semua praktik diet atau skincare lahir dari paksaan sistemik. Ada pula yang lahir dari kasih sayang terhadap tubuh itu sendiri.
Merawat Diri Bukan Berarti Kehilangan Otonomi
Menjaga kesehatan, memberi nutrisi, merawat kulit, atau memilih berpakaian rapi bisa menjadi bentuk perawatan yang berangkat dari kesadaran dan kedaulatan diri. Bukan dari desakan untuk memenuhi ekspektasi luar.
Kita tidak sedang mempermasalahkan aktivitas merawat itu sendiri, melainkan logika kuasa yang menyelusup di baliknya—logika yang mendorong individu terus-menerus mengerahkan tenaga untuk menyempurnakan tubuh demi mengejar validasi sosial tanpa henti.
Di sinilah kecantikan menjadi problematis: ketika ia tak lagi netral, melainkan bekerja sebagai instrumen kuasa. Kuasa terus mendorong masyarakat untuk menerima, memuji, dan extremnya menjual tubuh-tubuh tertentu yang telah sesuai dengan standar dominan. Yang patut kita gugat bukan tindakan merawat tubuh itu sendiri, melainkan sistem nilai yang menjadikan tubuh perempuan sebagai komoditas kapital dan sarana pelestarian norma.
Konstruksi ini tidak bebas nilai. Ia bekerja dalam sistem patriarki yang menjadikan perempuan sebagai objek, bukan subjek. Ketika masyarakat hanya menghargai perempuan karena rampingnya pinggang atau beningnya kulit, mereka sedang memangkas eksistensi perempuan ke dalam kerangka hasrat laki-laki.
Bahkan di ruang-ruang yang mengklaim diri progresif. Hal tersebut masih menjadi modal sosial: semakin “cantik”, semakin besar nilai jualnya. Lebih tragis lagi, banyak perempuan yang akhirnya ikut menggandakan dan merawat mitos ini, terkadang tanpa sadar, bahkan terhadap sesamanya.
Melampaui “Cantik”: Tafsir, Perlawanan, dan Otoritas Diri
Dalam filsafat kritis, ahli teori gender, Judith Butler menyodorkan gagasan tentang gender performativity—bahwa identitas gender (dan identitas pada umumnya) bukan sesuatu yang kita miliki secara esensial, melainkan sesuatu yang kita lakukan secara terus-menerus.
Identitas adalah aksi, bukan substansi. Dalam konteks ini, “cantik” bukanlah kualitas tetap yang melekat pada tubuh, melainkan hasil dari tindakan-tindakan sosial dan kultural yang mengulang terus-menerus. Perempuan memperoleh label cantik bukan karena mereka memilikinya secara esensial, melainkan karena mereka memperagakan cantik sesuai skenario yang budaya dominan mainstreaming-kan.
Dengan demikian, performativitas membuka ruang radikal untuk penolakan dan pembongkaran. Jika cantik adalah performa, maka siapa pun bisa memilih untuk tidak ikut serta dalam pertunjukan itu. Perempuan bisa mengacaukan skrip yang sudah industri tulis, kemudian bisa menciptakan skrip baru yang membebaskan. Dalam setiap tindakan, dalam setiap pengulangan yang menyimpang dari norma, di sanalah letak perlawanan.
Alih-alih menerima “cantik” sebagai kebenaran ontologis mutlak, kita bisa memahaminya sebagai medan tafsir. Tafsir yang seharusnya inklusif, subjektif, dan membebaskan. Di sinilah pentingnya menghadirkan cara pandang yang adil secara relasional.
Bukan dalam bentuk jargon, tapi dalam praksis sehari-hari, bahwa tubuh bukan untuk dikurung oleh ekspektasi, melainkan untuk dijalani dengan penuh otoritas diri. Bukan demi memuaskan mata luar, tapi demi merayakan eksistensi dalam bentuknya yang paling utuh.
Cantik tak seharusnya jadi ukuran nilai seorang perempuan. Ia bisa menjadi ekspresi keberanian menolak. Keberanian meredefinisi. Cantik bisa berarti lantang, bisa berarti sunyi yang bermakna, bisa berarti perempuan yang menjahit sendiri lukanya diam-diam, tanpa gembar-gembor. Semua itu adalah wajah-wajah cantik yang luput dari kamera. []