Mubadalah.id – Suatu ketika aku bertemu dengan teman lamaku sewaktu kuliah, kami sudah lama tak bertemu. Lalu tiba-tiba saja dia melontarkan tanya kepadaku, “Apakah kamu bahagia dengan pernikahanmu?” Dari ekspresi dan nada pertanyaannya, aku melihat ada ketakutan dalam dirinya untuk berumah tangga. Bagaimana cara mengatasi takut menikah menurut Islam?
Entah apa yang ditakutkan, tetapi dia kemudian menceritakan alasan ketidaksiapannya untuk menjalankan rumah tangga. Dia bahkan bercerita mengenai pasangannya yang terpaksa putus karena dia belum siap berumah tangga. Hal itu wajar terjadi. Banyak dari teman-teman termasuk juga aku pernah mengalami ketakutan dalam menjalin rumah tangga.
Apa saja ketakutan itu?
- Tidak bisa bersilaturahmi dengan teman lagi.
Tidak sedikit orang yang menunda pernikahan karena belum siap meninggalkan dunianya bersama teman-teman. Atau juga berhenti berorganisasi atau berkarir ketika sudah menikah.
- Terjadi kekerasan di dalam rumah tangga.
Kasus-kasus kriminal yang sering diberitakan di televisi atau di lingkungan sekitar membuat sebagian orang berpikir ulang untuk cepat menikah meski usianya sudah matang.
- Kehilangan kebebasan akibat harus mengabdikan diri kepada pasangan.
Pengabdian diri dalam rumah tangga selalu diidentikan hanya kepada perempuan. Mengurusi semua kebutuhan suami dan rumah tangga hingga seharian memang membuat sebagian perempuan memilih menghabiskan masa lajangnya lebih lama.
Pertanyaanya, apakah betul perempuan yang sudah menikah harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada suami? Apakah setelah berumah tangga perempuan akan kehilangan hak-hak sebelumnya yang dia dapat?
Mengenai pertanyaan temanku tadi, aku menjawab “Tidak ada alasan untukku tak bahagia bersama pendamping hidupku, terlebih ia adalah mitra untukku. Bagaimana mungkin aku tak bahagia ketika mendapatkan seorang teman yang selalu ada untukku?”
Ya, pernikahan bukanlah sebuah pengekangan terhadap salah satu pihak, baik istri ataupun suami. Bukan berarti setelah menikah kita akan kehilangan kebebasan, teman, karir dan hak lainnya akibat harus mengurusi pasangan kita sepenuhnya.
Yang benar adalah bukan hanya seorang istri yang harus mendedikasikan hidupnya untuk sang suami. Tetapi suami pun ketika sudah menikah juga harus mampu mendedikasikan hidupnya untuk sang istri.
Dalam berumah tangga haram hukumnya menyakiti salah satu pasangan, apalagi saling menyakiti. Pernikahan bukanlah ajang pembuktian siapa yang berkuasa dan dikuasai melainkan untuk mencari kebahagiaan dan ketentraman hidup.
Sejalan dengan bunyi Surah Al-Rum, 30:21 sebagai berikut :
“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya: Dia menciptakan pasangan-pasangan (bagi kalian) dari jenis kalian sendiri, agar kalian memperoleh ketentraman, dan Dia menjadikan di antara kalian rasa cinta kasih. Sesungguhnya pada hal demikian benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi orang-orang yang berpikir”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa dalam pernikahan haruslah menghasilkan ketentraman, menanamkan cinta kasih diantara keduanya. Mereka harus saling bekerjasama dalam berumah tangga dan selalu bermusyawarah menentukan kesepakatan agar di antara mereka mempuanyai kenyamanan.
Jika pernikahan dipandang sebagai pengekangan terhadap pasangan, tentu akan banyak orang yang takut untuk menikah. Pernikahan (sunah Rasul) bukanlah sesuatu yang akan membawa penderitaan bagi manusia.
Dalam rumah tangga relasi kesalingan di antara suami dan istri itu diperlukan, agar tidak ada perasaan paling menderita, merasa paling banyak berkorban, ataupun merasa paling berjasa di dalam rumah tangga dari salah satunya.
Untuk mencapai rumah tangga yang penuh kebahagiaan, maka kita harus menjadikan pasangan kita sebagai mitra dalam berelasi.
Ayo ciptakan rumah tangga yang sakinah, mawadah warahmah dimulai dari diri sendiri.[]