Mubadalah.id – Pada tahun 2000, tongkat estafet jejak perjuangan ulama perempuan itu disambut oleh Perhimpunan Rahima. Melalui Madrasah Rahima yang kemudian berkembang menjadi Pendidikan Ulama Perempuan (PUP) pada 2005, Rahima mengkader ulama perempuan dari berbagai daerah.
Sampai 2022, sudah ada lebih dari 271 alumni dari lima angkatan sebuah angka yang menunjukkan betapa seriusnya upaya memperkuat otoritas keulamaan perempuan melalui jalur pendidikan.
Kemudian, sejak 2003, Fahmina juga menyelenggarakan serangkaian program dawrah mulai dari Dawrah Fiqh Perempuan, Dawrah Kader Ulama Pesantren. Hingga Dawrah Kader Ulama Perempuan (DKUP) yang Fahmina mulai pada 2018.
Dari program inilah ratusan kader ulama perempuan lahir. Khusus DKUP saja, jumlah kelulusannya sudah mencapai 121 orang gabungan dari para ulama senior dan generasi muda pesantren yang kelak menjadi lokomotif perubahan.
Sementara itu, Alimat juga hadir sejak 2009 sebagai perhimpunan yang menyatukan individu dan lembaga yang mendorong keadilan relasi laki-laki-perempuan dalam Islam.
Meski tidak sebesar Rahima dan Fahmina dari segi intensitas program. Namun komitmen mereka memperkuat jembatan jaringan ulama perempuan tidak bisa kita abaikan.
Hal serupa juga banyak lembaga lakukan di berbagai daerah dari Aceh hingga Nusa Tenggara Barat yang membawa kekhasan masing-masing dalam menguatkan kerja-kerja pemberdayaan perempuan berperspektif Islam.
Semua inisiatif itu bermuara pada satu momentum penting yaitu Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama pada 2017. Yang digelar di Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy Cirebon.
Kongres ini bukan hanya peristiwa monumental. Karena untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, para ulama perempuan berkumpul secara resmi dan mengeluarkan fatwa-fatwa berbasis pengalaman perempuan. Serta menunjukkan kepada publik bahwa otoritas keagamaan bukan satu jenis kelamin. []








































