Mubadalah.id – Islam adalah agama yang secara tegas melarang pengguguran kandungan atau aborsi, kecuali ada alasan medis, yakni alasan fisik dan psikis yang dapat mengganggu kelangsungan hidup ibunya.
Sebagian ulama fikih berpendapat bahwa apabila ia lakukan setelah janin berusia 80 hari, hukumnya makruh. Dan bila janin sudah berusia 120 hari, hukumnya haram, karena perbuatan tersebut tergolong pidana (jinayah), yang ada sanksi hukumnya. Pendapat ini yang paling banyak dianut oleh para ulama fikih.
Al-Ghazali bahkan melarang aborsi sejak terjadi konsepsi, tetapi beliau membolehkan ‘azl sebagaimana disebutkan dalam Al-Ihya bahwa al-‘azl (sanggama terputus) dibolehkan, karena berbeda dengan aborsi.
Sementara aborsi hasil pembuahan (konsepsi) adalah haram karena hal itu merupakan jinayah, atau perbuatan dosa yang ada sanksi hukumnya.
Dosa pelaku aborsi semakin besar seiring dengan bertambahnya usia kehamilan, dan dosa si pelaku akan semakin besar manakala kandungan yang ia gugurkan ketika terpisah dari tubuh ibunya, sempat hidup lalu mati.
Adapun Dr. Mahmud Al-Qashbi yang juga Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo dalam Al-Islam wa al Thafulah mengemukakan bahwa pengguguran kandungan setelah peniupan ruh (ba’da nafkhir al-ruh) haram hukumnya, karena janin sudah hidup.
Masa penyawaan itu ia perkirakan ketika janin berusia empat bulan, yakni 120 hari, sebagaimana dalam al-Quran dan hadis Nabi Saw. Allah berfirman dalam Surat Al-Mu’minin (23) ayat 12-14:
“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari sari pati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) di tempat yang aman dan kukuh (rahim). Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuntu yang melekat. Lalu sesuatu yang melekat itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang. Lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah Pencipta yang Paling Baik.”