Mubadalah.id – Istilah ‘Pekerja Rumah Tangga’ bukanlah sekedar label untuk suatu jenis pekerjaan. Istilah ini terlahir dalam cara pandang sebagian masyarakat yang menganggap pekerjaan rumah tangga –belanja, memasak, mencuci, bebersih, merapikan baju, menata ruang, dsb — tidak cukup bernilai untuk disebut pekerjaan. Padahal dengan bekerja, sebagai bentuk tanggung jawab hidup, kemanusiaan menjadi aktual.
Meski seseorang menghabiskan seluruh hidupnya dengan kelelahan seberat apa pun, dalam cara pandang itu, seseorang belum dianggap bekerja dan karena dianggap tidak cukup bernilai untuk dikategorikan bekerja, kemanusiaan pelakunya tidak seberapa layak dihargai sebagaimana umumnya orang bekerja.
Cara pandang ini terlihat dari orang-orang yang sangat pelit memberi gaji layak, tidak memberi waktu libur, tidak memberi uang jaminan kesehatan pada PRT nya dan tidak memberi kondisi aman sebagaimana diberikan pada anggota keluarga. Akarnya adalah kenyataan bahwa masih banyak orang yang ‘belum rela semua orang diperlakukan secara terhormat sebagai manusia’. Masih banyak orang yang belum cukup hati untuk menghargai.
Dari masa-ke masa, jenis pekerjaan ini selalu ada. Tetapi bagaimana menyikapi pekerja dan pekerjaannya berbeda-beda, seiring dengan perubahan kesanggupan mewujudkan perilaku tolong menolong.
Pada jaman simbah-simbah saya orang-orang yang bekerja seperti ini disebut, rewang, pembatu, atau orang yang menjadi abdi yang bekerja apa saja sepanjang waktu menuruti perintah tuannya. Meski demikian, pada masa lalu, hubungan majikan dan pekerja ini ada nuansa kekeluagaan, misalnya ketika berhenti karena menikah, majikannya akan ikut memberi bekal untuk berrumah tangga, atau kadang majikan ikut mempertemukan dengan jodoh yang memiliki jaminan ekonomi dan latar belakang sosial menjanjikan.
Kadang anak mantan orang yang pernah bekerja dalam keluarga ini masih dibantu juga, misalnya untuk biaya pendidikan atau untuk mendapatkan pekerjaan. Dengan makin pesatnya pendidikan, apakah ada hubungan perbaikan hubungan pekerja rumah tangga dengan majikan?
Ketika kebutuhan hidup berubah, lapangan pekerjaan di daerah asal makin sempit tapi banyak orang yang tidak memenuhi kualifikasi kebutuhan dunia kerja, banyak laki-laki berangkat ke kota menjadi buruh apa saja. Sementara para perempuan banyak yang menjadi pekerja rumah tangga, karena makin banyak keluarga yang memiliki profesi sedemikian sehingga mereka tidak dapat menyelesaikan pekerjaan kerumahtanggaan.
Keluarga-keluarga sibuk ada kalanya memberi tekanan tersendiri pada para pekerja rumah tangga. Selain relasi menjadi tidak mendalam karena waktu berkomunikasi dan ngobrol menjadi makin kurang, sedikit ruang membangun saling pengertian, waktu untuk saling beradaptasi sangat sedikit dibanding tuntutan yang ada. Kelelahan dan berbagai masalah yang dihadapi majikan kadang terlampiaskan pada para pekerja, terutama mereka yang memandang pekerja hanya orang-orang yang butuh. Dalam segala jaman selalu ada orang-orang yang sok berkuasa.
Di sinilah sering terjadi kemarahan majikan kadang tidak hanya berupa umpatan atau kata-kata yang menyakiti hati, juga tindakan-tindakan yang melukai, gaji tidak lunas dibayar atau ditambah banyak beban lain. Ajaran dalam masyarakat untuk ‘menghargai orang lain’ adakalanya tidak berjalan terhadap pekerja rumah tangga. Meski peradaban secara material berkembang, tetapi cara pandang terhadap manusia –sebab pekerjaannya–tampaknya banyak yang belum beranjak lebih beradab.
Beberapa tahun silam, ada saudara muda yang tinggal sekitar 2 kilo dari rumah saya bertanya, apakah ada orang yang mau bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga di rumahnya, di kampung saya. Kebetulan ada tetangga satu RT yang pulang dari Jakarta dan butuh bekerja.
Saya bilang pada dia, “Tapi standar minimal UMR ya”. Saudara saya kaget, “Lho mba, ini tidak menginap, selesai pulang”. Saya jawab, “Ya tapi minimal UMR dibagi 8 jam, kira-kira sejam berapa rupiah. Nah dia bakal bekerja di rumahmu berapa jam rata-rata. Kalau ada pekerjaan tambahan di luar perjanjian, perlu ditambah uang lembur. Jangan lupa THR dan jatah libur…”Saudara saya menimpali, “Wah mahal sekali”.
Saya beralasan, “Coba kalau kamu membersihkan 4 kamar mandi, menyapu, ngepel seluruh rumah, masak, setrika, sudah tahu kan rasanya seperti apa? Padahal harga gula, minyak, telur yang dibeli para pekerja itu sama dengan harga yang kita beli. Aku yang golongan menengah ke bawah bisa, kamu pasti tidak berasa bayar segitu.”
Saudara saya masih berujar menyinggung temannya yang mengatakan kalau bayar Pekerja Rumah Tangga terlalu tinggi akan merusak pasaran, nanti PRT-PRT lain bakal minta tambah. Saya jawab, “Menurutmu yang benar mana, mengukur diri sendiri bagaimana capeknya melakukan pekerjaan rumah tangga dan gaji yang diterima dibandingkan dengan harga-harga di luar, atau apa kata orang yang hanya mau ambil keuntungan sendiri?”
Saudara saya tersipu-sipu kelihatan setuju, tapi masih cari argumentasi rupanya, “Ya kan namanya gaji tergantung keahlian, Mba. Orang yang bekerja dengan keahlian lebih ya dapat gaji besar. Kalau pekerjaan rumah tangga kan semua orang bisa.”
Saya merasa sering berhadapan dengan orang yang cara pikirnya begini. “Ok, keahlian yang menentukan. Masalah tidak semua orang dapat kesempatan dan lingkungan yang mendukung untuk punya keahlian yang mendapatkan banyak uang. Si mba temanmu itu tidak pernah minta lahir dari ibu seorang dosen, kan? Sama dengan si mba yang bekerja di rumahnya, dia juga tidak minta lahir dari keluarga miskin sehingga dia harus bekerja sekeras itu, seandainya dia lahir dalam situasi yang lebih baik, bisa kuliah, akan lain jalan ceritanya kan?
Di sini poinnya bukan pada keahlian, tapi bagaimana kemanusiaan kita tampak dalam bagaimana kita menghargai manusia lain, yang bekerja sungguh-sungguh, untuk hidupnya. Saudara saya sekian tahun bersikap lebih baik dari yang saya bayangkan.
Kapan ya, para Anggota Dewan Yang Terhormat (yang kehormatannya tergantung pada bagaimana mereka menghormati martabat kemanusiaan rakyat yang diwakilinya), menetapkan UU untuk melindungi Pekerja Rumah Tangga ini agar mendapatkan kesejahateraan dan tidak dilukai fisik maupun martabatnya, karena pekerjaan mereka adalah cara mereka menjaga martabat kemanusiaan diri dan keluarganya. Jadi saya mendukung agar DPR segera mensahkan RUU PPRT yang kian penting dan mendesak. []