Mubadalah.id – Entrok jika merujuk pada bahasa Jawa klasik bermakna bra. Ya, itulah kata yang Okky Madasari gunakan sebagai judul cover pada novel pertamanya. Novel tersebut mengisahkan tentang bagaimana perempuan selalu menjadi korban ketidakadilan. Sebuah ketimpangan dalam relasi laki-laki dan perempuan baik karena faktor sosial, budaya, politik, maupun agama di sekitarnya.
Di tengah banyaknya cerita tentang perjuangan perempuan melawan ketidakadilan, kisah Marni dalam novel Entrok menjadi salah satu hal yang patut kita renungkan. Selain mengisahkan tentang ketimpangan gender, novel ini juga mengajarkan tentang keberanian untuk bermimpi dan mengubah nasib. Hanya karena menjadi perempuan bukan berarti tidak boleh punya harapan, meski harus melawan arus budaya patriarkis yang mengekang.
Marni dan Entrok: Mimpi yang Membebaskan
Cerita bermula dari sosok Marni, seorang remaja perempuan desa yang hidup di tengah kemiskinan. Ia memiliki keinginan sederhana yang akhirnya menjadi titik balik hidupnya, memiliki entrok—istilah yang merujuk pada bra atau kemben yang biasa digunakan oleh perempuan Jawa. Di tahun 1950-an, sebagaimana setting waktu yang Oky Madasari gunakan, entrok bukan sekadar busana pribadi. Namun, menjadi simbol kemewahan dan prestise yang jarang perempuan desa miliki.
Seperti kata orang-orang di sekitar Marni, jangankan memikirkan untuk memiliki entrok, untuk makan setiap hari saja sudah susah. Apalagi pada saat itu perempuan hanya mendapat upah berupa bahan makanan dari hasil kerjanya. Saya jadi teringat cerita nenek saya sewaktu Ia muda. Setiap pagi Ia harus pergi ke rumah tetangga atau siapa saja yang membutuhkan tenaga untuk “nutu gabah”. Sebuah pekerjaan domestik yang selalu masyarakat identikkan dengan tugas perempuan. Dari sana, nenek saya mendapat upah berupa bahan makanan.
Kembali ke cerita Marni. Keinginannya untuk memiliki entrok mendorong Marni untuk melakukan sesuatu yang menurut masyarakat “tidak elok”, yakni bekerja menjadi kuli. Hal tersebut karena hanya dengan menjadi kuli, Ia akan mendapat upah berupa uang.
Imbalan yang hanya akan diberikan kepada laki-laki. Sebenarnya konsep “ra elok” bukan soal salah atau benar. Dalam pandangan masyarakat, konsep “ra elok” seolah-olah telah menjadi kesepakatan bersama yang tidak boleh seorangpun langgar karena bertentangan dengan tradisi dan budaya yang berkembang.
Akan tetapi, keinginan Marni yang sudah bulat membuatnya nekad untuk melakukan pekerjaan tersebut. Di tengah cibiran dan pandangan sinis, Ia melangkah keluar dari sistem budaya yang mengharuskan perempuan tunduk pada aturan patriarki. Perlahan namun pasti, kerja keras dan tekadnya membawa Marni untuk tidak hanya sekadar memiliki entrok, tetapi juga mengantarkannya menjadi seorang saudagar yang mapan nantinya.
Meskipun, di penghujung cerita Marni harus menghadapi konflik dengan anak perempuannya, Rahayu. Konflik tersebut terjadi hanya karena perbedaan kepercayaan atau agama yang mereka yakini. Apalagi di tengah orde baru di mana rezim penguasa melalui antek-anteknya selalu merugikan rakyat kecil, termasuk perempuan seperti Marni dan anaknya. Tentu rasa haru, takjub, dan bahkan geram akan menemani siapa saja yang membaca novel ini.
Resolusi untuk Berani Bermimpi
Sebenarnya konflik utama yang ingin Okky Madasari sampaikan dalam novel ini adalah perbedaan pandangan antara Marni dan Rahayu, dua orang perempuan dari generasi yang berbeda. Rahayu tidak menyukai kebiasaan ibunya, Marni, yang selalu melestarikan agama leluhur. Akibatnya dalam banyak hal mereka sering bertengkar dan pada akhirnya mengambil jalannya masing-masing.
Akan tetapi yang ingin saya soroti adalah keberanian Marni ketika ia masih remaja untuk bermimpi memiliki entrok. Sekecil apapun mimpi, ia memiliki kekuatan untuk mendorong perubahan besar.
Keinginan Marni untuk memiliki entrok mungkin tampak sepele bagi sebagian orang, tetapi itu menjadi sumber semangat yang menggerakkan langkahnya menuju kehidupan yang lebih baik. Entrok telah menjadi sebuah simbol kebebasan perempuan terhadap kontrol dirinya
Kisah Marni mengingatkan kita bahwa tidak ada mimpi yang terlalu kecil atau tidak penting. Resolusi tahun 2025 ini bisa menjadi kesempatan bagi perempuan untuk mulai percaya bahwa mimpi adalah pintu menuju perubahan.
Pun mimpi tidak selalu harus besar atau spektakuler. Bahkan keinginan sederhana—entah itu menyelesaikan pendidikan, memulai usaha kecil, atau memiliki waktu lebih untuk diri sendiri—adalah langkah awal menuju hidup yang lebih baik.
Yang terpenting adalah keyakinan dan tekad untuk mewujudkannya. Meski dunia sekitar, kadang menganggap mimpi itu tidak layak atau tidak sesuai dengan “kodrat” perempuan. Atau seperti kata JS Khairen dalam Novel “Dompet Ayah Sepatu Ibu”, untuk berani bermimpi saja harus tahu diri. Akan tetapi, hanya dengan mimpi, seseorang akan menemukan hasrat hidupnya kembali.
Melawan Pandangan yang Membatasi
Seperti Marni, banyak perempuan menghadapi tantangan dari sistem budaya atau sosial yang membatasi ruang gerak mereka. Perempuan seringkali dihadapkan pada pandangan bahwa bekerja keras, mengejar mimpi, atau mengambil keputusan yang mandiri adalah sesuatu yang “tidak pantas.” Belum lagi perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan. Memang budaya patriarki yang masih mendominasi menjadi sebuah tantangan yang perlu kita selesaikan bersama.
Melalui kisah Marni mengajarkan bahwa keberanian untuk keluar dari batasan inilah yang bisa mengubah hidup. Tidak perlu takut dianggap tidak sesuai norma, karena norma sering kali dibuat untuk mempertahankan ketimpangan dan hegemoni budaya. Asalkan apa yang kita lakukan tidak menyalahi hukum syariat dan membawa keburukan terhadap liyan. Percayalah bahwa perempuan memiliki hak untuk bermimpi dan berusaha, sama seperti siapa pun.
Di awal tahun ini, mulailah dengan menuliskan mimpi-mimpi yang ingin kamu raih. Jangan ragu untuk bermimpi besar atau kecil, selama itu adalah sesuatu yang benar-benar kamu inginkan. Beri ruang bagi diri sendiri untuk mencoba, gagal, dan belajar. Ingatlah bahwa setiap langkah kecil yang kamu ambil adalah bagian dari proses menuju perubahan besar.
Seperti Marni yang memulai perjalanan dari mimpi memiliki entrok, perempuan masa kini pun bisa memulai perubahan dari hal-hal sederhana. Jangan biarkan ketakutan atau cibiran membuatmu berhenti dalam melangkahkan kaki. Karena setiap perempuan, seperti Marni, memiliki potensi untuk mengubah dunia—dimulai dari dirinya sendiri. []