Mubadalah.id – Siapakah sosok Fatima Mernissi yang gencar memperjuangkan hak politik bagi kaum wanita ? Benarkah peran wanita dalam politik tidak begitu penting?
Sosok Fatima Mernissi, Feminis Arab Muslim
Fatima Mernissi merupakan seorang feminis Muslim di Maroko. Dia lahir di salah satu harem di Kota Fez Marokko Utara pada tahun 1940-an. Sebagai ilmuan Mernissi aktif menulis, terutama yang berkenaan dengan masalah wanita.
Pada masa remajanya dia aktif dalam gerakan menentang Kolonialisme Perancis, untuk merebut kemerdekaan Nasional.
Bersama remaja lainnya, baik laki-laki dan perempuan dia pernah turun ke jalan-jalan kota untuk menyanyikan “AHurriyat Jihaduna Hatta Narha” (Kami akan berjuang untuk kemerdekaan sampai kami memperolehnya).
Fatima mernissi memang sangat gencar memperjuangkan hak-hak kaum wanita di zamannya. Menurutnya, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kedudukan dan porsi yang sama dalam kehidupan.
Pemikiran Mernissi telah banyak membuka ruang kaum wanita untuk selalu berdaya dalam mengambil peran pada setiap lini kehidupan.
Kedudukan wanita dalam bidang politik
Dalam menguraikan pemikiran Mernissi tentang kedudukan wanita dalam bidang politik dapat kita sebutkan bahwa secara umum wanita dalam Islam mendapat porsi yang sama dengan kaum laki-laki.
Namun yang menjadi silang pendapat di kalangan para Ulama adalah seberapa besar porsi yang kita dapat sebagai seorang wanita dalam politik tersebut.
Pertanyaan yang muncul adalah “dapatkah wanita memimpin sebuah Negara Muslim ?”.
Perlu kita ketahui bahwa perdebatan tentang kepemimpinan wanita sudah setua Islam itu sendiri. Sebagian mengatakan “ya”, wanita dapat memimpin sebuah Negara Muslim. Dan “tidak”, karena ada Hadis yang melarang wanita untuk menduduki jabatan tersebut.
Sejarah telah mencatat bahwa ketika pertama kali Nabi menjadi Rasul, terdapat sosok Khadijah yang memberinya kehangatan dan ketenangan. Rasulullah Saw. bukannya pergi mencari kaum lelaki, tetapi justru beliau berlari menemui seorang wanita, istri terkasih dan tersayangnya, yaitu Khadijah.
Secara empiris, sejarah Islam telah membuktikan bahwa banyak wanita yang telah mengambil peran sebagai seorang pemimpin di berbagai Negara Muslim. Sebut saja Ratu Balqis yang merupakan sosok teladan kaum wanita yang berhasil melaksanakan kepemimpinannya dengan sukses.
Hadis Missogini
Dalam lingkungan akademisi, kita tidak asing dengan Hadis yang banyak menjadi landasan bagi golongan yang menolak kepemimpinan seorang wanita. Hadis yang menjadi dalil atau landasan mengucilkan kaum wanita dari politik, adalah:
“Suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita tidak akan memperoleh kesejahteraan.”
Hadis ini termaktub dalam Shahih Bukhari jilid ke-13 dari Kitab Fathal-Bari oleh Al-‘Asqalani. Menurut Yusuf al-Qaradhawi, Hadis tersebut Shahih, dan para ulama telah sepakat untuk menerimanya; dan lebih dari itu belum ada seorang kritikus yang mencelanya.
Bertitik tolak dari makna Hadis ini dan kita kaitkan dengan ayat ke-23 dari Surah An-Naml, yang artinya: “Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar”
Alquran menggambarkan bahwa berdasarkan laporan dari burung Hud-hud, Nabi Sulaiman menyeru Ratu Balqis untuk masuk Islam sekaligus melarangnya bersikap angkuh dan keras kepala. Menanggapi surat dari Nabi Sulaiman, Ratu Balqis tidak segera menjawabnya, akan tetapi terlebih dahulu mengadakan musyawarah dengan para pembesar kerajaan.
Mereka mendukung keputusan apa saja yang datang dari Ratu, sekalipun mereka tetap menyarankan: “kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan”.
Pada akhirnya Ratu Balqis memutuskan untuk menanggalkan kemusyrikannya dengan memeluk agama yang Nabi Sulaiman bawa, yaitu Islam.
Dari penggambaran Alquran tersebut, apakah benar bahwa Ratu Balqis gagal dalam memerintah negerinya? tentu tidak Salingers.
Mernissi menegaskan bahwa Alquran telah menggambarkan Ratu Saba’ (Balqis) sebagai seorang perempuan yang menggunakan dengan sebaik-baiknya kekuasaan yang telah ia pegang untuk membimbing rakyatnya mengikuti ajaran Nabi Sulaiman. Oleh karenanya, ia tentu merupakan model peranan yang amat positif dari seorang wanita yang menjadi Kepala Negara.
Hak Politik Wanita Pada Masa Nabi
Perlu kita ketahui bahwa kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak perempuan yang terlibat dalam bidang politik.
Sebut saja sosok figure Aisyah sebagai tokoh yang banyak mengambil peran. Beliau hadir dengan keberaniannya serta kepiawaiannya memimpin angkatan perang melawan pasukan Khalifah Ali bin abi Thalib.
Terdapat pula sosok Ummu Hani, dengan gagah berani memberikan jaminan keamanan kepada dua orang musyrik (salah satunya di bidang politik). Respon Nabi pun membenarkan sikap Ummu Hani tersebut.
Dari pemaparan di atas, penulis mengindikasikan bahwa ternyata banyak peristiwa zaman dahulu yang menampilkan sosok teladan kaum wanita yang mampu dan boleh aktif dalam bidang politik. []