Sejak kecil, tentunya masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi dengan legenda-legenda yang diceritakan turun-temurun dan terikat dengan suatu daerah atau tempat. Legenda-legenda ini ada yang memercayainya sebagai bagian dari sejarah setempat, dan ada juga yang hanya menganggapnya sebagai bagian dari kisah-kisah non fiksi yang disampaikan oleh para leluhur terdahulu.
Beragamnya suku bangsa negeri ini juga memberikan kontribusi yang beragam atas kisah-kisah rakyat yang dikenal masyarakat secara umum. Jika kita tilik kembali, kisah-kisah tersebut sebagian besar memberikan perhatian khusus kepada sosok, peran, dan keberadaan perempuan dari berbagai relasi yang ada.
Ada kisah Malin Kundang dari Sumatra Barat, atau kisah Batu Menangis dari Kalimantan Barat, kedua kisah ini merupakan kisah yang menceritakan seorang anak yang mendapat kutukan dari ibunya karena membuat hati sang ibu sedih atas keangkuhan anak yang tidak mengakui sang ibu sebagai ibu kandungnya.
Padahal, ibu mereka merupakan single parent yang juga menjadi kepala rumah tangga dengan susah payah membesarkan sang anak seorang diri. Semua kebutuhan dan permintaan sang anak dengan sukarela dipenuhi untuk kebahagiaannya. Namun, saat anak-anak telah mendapatkan kedudukan, harta, dan status sosial yang diharapkan, mereka justru melupakan sosok ibu yang telah susah payah bermandikan keringat untuk kesejahteraan hidup dan masa depan anaknya.
Pesan dalam kisah ini sejalan dengan semangat dalam ajaran Islam tentang bagaimana hendaknya memuliakan dan menghargai seorang ibu. Bahkan, Rasulullah Saw. dalam HR. Bukhori No.5971 menyebutkan tiga kali berturut-turut bahwa yang harus terlebih dahulu kita berikan bakti kepadanya adalah kepada sosok “IBU”.
Cerita rakyat lainnya, sebut saja kisah asal mula Banyuwangi. Cerita ini berakhir tragis, karena seorang perempuan harus mengorbankan jiwanya tenggelam di lautan untuk membuktikan kesetiaannya kepada sang suami. Dan apa yang menjadi perkataannya sungguhlah sebuah kebenaran, karena air laut tersebut kemudian berubah menjadi wangi yang menunjukkan bahwasanya selama ditinggal sang suami ia tidak pernah bermain serong seperti yang dituduhkan kepadanya, dan kemudian dipercayai oleh sang suami.
Apa mau dikata, pembuktian ini tidak membuat sang istri kembali lagi, dan hanya menyisakan penyesalan bagi sang suami. Cerita ini mengajarkan banyak hal kepada masyarakat tentang makna hal-hal yang harus dijaga dalam relasi pernikahan. Suami-istri hendaknya saling percaya, saling menjaga, saling melindungi, saling melengkapi, saling membahagiakan, saling menghargai, saling menghormati, dan kesalingan lainnya. Hal ini tentunya sejalan dengan ruh ajaran agama Islam yang secara gamblang terdapat dalam tulisan-tulisan Dr. Faqih dan kader-kader ideologis Mubadalah lainnya.
Lalu, kisah legenda lainnya, di Sanggau, Kalimantan Barat, terdapat sebuah cerita rakyat yang begitu masyhur, yakni kisah Dara Nante. Secara garis besar, cerita ini mengisahkan tentang perjalanan Dara Nante mencari ayah dari anaknya. Konon, Dara Nante yang merupakan anak seorang raja, hamil tanpa suami setelah memakan timun yang hanyut di sungai saat ia dan dayang-dayangnya sedang mandi.
Hingga pada akhirnya, ia dan sang raja malu atas kehamilan ini dan melakukan sayembara setelah kelahiran sang anak untuk mencari ayah dari bayinya. Bersama rombongan menggunakan kapal yang besar, mereka mengikuti petunjuk yang didapat sang raja dari dalam mimpi hingga menemukan Babai Cingak sebagai orang yang dapat lulus dari sayembara tersebut.
Babai Cingak yang buruk rupa pun akhirnya mendapat kulit bagusnya kembali dan menikah dengan Dara Nante. Kisah ini mengajarkan tentang kemaslahatan menjaga diri bagi perempuan dan laki-laki yang belum memiliki ikatan yang sah. Juga tentang memiliki pergaulan dan relasi yang baik, yang tidak mendatangkan kemudaratan dan kesengsaraan baik bagi diri pribadi, keluarga, maupun orang lain. Mubadalah telah sangat rinci mengkaji hal ini.
Sementara, ada pula cerita menarik, di Klaten yang merupakan sebuah kabupaten yang memiliki candi Prambanan nan indah di sudut kotanya. Candi Prambanan memiliki keterkaitan yang erat dengan kisah rakyat masyhur tentang Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso. Pangeran Bandung Bondowoso terpikat dengan kecantikan Roro Jonggrang yang tidak lain merupakan putri dari Prabu Baka.
Prabu Baka tewas dibunuh Bandung Bondowoso saat misi perluasan kekuasaan wilayah yang dilakukan oleh Bandung Bondowoso. Rasa kehilangan sang ayah ini membuat Roro Jonggrang tidak menerima cinta Bandung Bondowoso, akan tetapi Bandung Bondowoso terus merayu hingga sang putri pun menerima dengan mengajukan dua syarat, yakni dibuatkan untuknya sumur Jalatunda dan seribu candi dalam waktu satu malam.
Dengan bantuan para makhluk halus, kedua persyaratan tersebut hampir saja dapat dipenuhi oleh Bandung Bondowoso. Roro Jonggrang yang sejak awal tidak menginginkan hubungan ini tidak kalah cerdik. Ia melakukan berbagai tipu muslihat untuk menggagalkan usaha Bandung Bondowoso. Dan usaha Roro Jonggrang pun berhasil.
Merasa tertipu, Bandung Bondowoso murka dan kemudian mengutuk sang putri menjadi candi batu yang ke-seribu. Kisah ini menggambarkan sebuah toxic relationship, adanya sebuah keterikatan antara dua orang dimana salah seorang begitu ingin menguasai dan mendapatkan seorang lainnya, sedangkan pihak lainnya, tidak menginginkan hubungan yang baginya menyiksa secara psikis dan perasaannya ini. Hingga pada akhirnya, hubungan tersebut tidak memberikan manfaat apapun bagi keduanya, dan tidak ada tujuan apapun yang tercapai.
Masih banyak cerita rakyat daerah lainnya yang menggambarkan kondisi-kondisi untuk menyuarakan kesejahteraan perempuan pada masa itu. Dari cerita-cerita ini siapapun dapat memahami, bahwa citra diri perempuan dalam kisah legenda, sejak mulanya dan sampai kapanpun diskriminasi akan selalu ada.
Akan tetapi, yang membahagiakan adalah, selama itu pula pihak-pihak yang dengan gigih memperjuangkan hak-hak perempuan juga akan selalu lahir di tiap masanya dengan berbagai macam usaha dan perjuangan, salah satunya yakni dengan memanfaatkan media tradisi lisan melalui kisah-kisah yang digandrungi dan melekat pada budaya dan sejarah lokal setempat.
Leluhur bangsa ini telah meninggalkan warisan yang cukup berharga bagi keturunannya, mereka berharap melalui kisah yang disusunnya dapat berangsur-angsur merubah segala bentuk praktek budaya patriarki yang kerap merugikan kaum perempuan.
Cerita-cerita ini pun hingga kini masih diperdengarkan kepada anak-anak. Menjadi poin penting kepada para orang tua dan calon orang tua, tidak ada salahnya menyampaikan pesan kesejahteraan perempuan melalui cerita-cerita rakyat tersebut untuk menumbuhkan pola pikir, pola rasa, dan pola tindak yang adil gender kepada buah hati tercinta semenjak usia dini. []