Mubadalah.id – Perempuan sangat unik, meski rumit. Saking uniknya ada sekian aturan dalam fikih yang hanya dipahami oleh yang berpengalaman. Seperti fikih haji perempuan, dulu saat belajar fikih haji tak begitu banyak terlintas kesulitan, sekedar mempelajari ada beragam pendapat tentang haji, utamanya pada muslim perempuan. Memang begitulah jika tak mengalami, berkuranglah empati.
Bulan haji 2018 lalu saya memperoleh rezeki ziarah Madinah lalu ke Makkah. Dalam 30 hari pertama perjalananku aman, tidak menstruasi karena sebelum berangkat atas persetujuan dokter saya diperbolehkan mengkonsumsi obat penunda haid. Sebulan pertama berhasil namun memasuki bulan kedua konsumsi obat, kebetulan mendekati hari Tarwiyah-Arafah mulai ada flek tanda permulaan menstruasi. Seakan bendungan darah menstruasi mulai jebol.
Menstruasi Saat Pelaksanaan Haji
Tentu saya panik, pelaksanaan haji tinggal menghitung hari, ibadah langka yang tidak ada jaminan untuk saya ulangi di tahun berikutnya. Tak ingin melewatkan rentetan ibadah istimewa, saya minta jamu herbal dari nenek-nenek yang berangkat dari satu kecamatan sama. Tapi hasilnya nihil, darah itu makin deras keluar.
Hasil konsultasi dengan dokter petugas haji kabupaten, saya disuruh berhenti minum obat dan membiarkan darah haid keluar dulu sampai pelaksanaan rukun haji yang mengharuskan suci dari hadas besar, Tawaf Ifadah di Masjidil Haram.
Kemudian dokter memberikan 2 macam obat penunda haid yang dosisnya lumayan tinggi, masing-masing berisi 3 tablet obat, satu hari satu kali. Pesannya, sekali minum 1 obat ini akan langsung mampat. Dan betul setelah 4 hari saya terpaksa menahan rindu bertemu kakbah padahal jarak hanya 2 KM. Tepatnya malam tanggal 9 Dzul Hijjah saya minum obat itu dan alhamdulillah malam dan hari Arafah saya bisa salat dan ibadah lainnya. Meski dokter tidak menganjurkan minum saat itu karena wukuf di Arafah tidak mengharuskan suci dari hadas besar.
Lagi-lagi pikirku, siapa yang rela melewatkan ibadah satu hari yang sebaik-baik doa adalah yang terpanjat di dalamnya? Hari istimewa yang hanya sekali dalam setahun? Tanpa menampik ibadah selain salat, naluriku juga ingin salat tasbih, salat taubat, membaca Alquran seperti yang pesan guru ngajiku. Tapi apalah daya ini pengalaman haji perempuan yang tak dapat terhindari.
Akibat ngeyel, obat itu habis sebelum tawaf ifadah dan sa’i, padahal dua rukun itu yang mengharuskan suci dari hadas besar. Akhirnya setelah semua rukun dan wajib haji saya jalani –kecuali tawaf dan sai- saya berusaha menenangkan diri, beristighfar, mencari jalan keluar yang absah dalam fikih dan tidak membahayakan tubuh saya –fyi, perut saya mulai terasa panas, kemungkinan karena dosis obat yang lumayan tinggi tadi-
Hikmah Pengalaman Haji Perempuan
Dalam kontemplasi itu saya menyadari betul hikmah tersajinya ragam pendapat yang menawarkan problem solving, jalan keluar yang tepat dengan situasi dan kondisi seorang muslim. Sebab situasi kondisi tiap muslim pasti berbeda. Seperti yang saya alami, urutan rukun haji yang biasa kita ketahui (ihram, tawaf, sa’i, wukuf, tahallul) menjadi berantakan. Tapi ketidakteraturan itulah yang menjadi jalan keluar. Sungguh rahmat bukan?
Dalam kasus saya saja ada beberapa klasifikasi. Jika jamaah haji perempuan belum melakukan tawaf ifadah (tawaf rukun) mengalami menstruasi maka kemungkinan beberapa keadaan;
Pertama, Jika bisa menetap di Makkah untuk beberapa hari sampai suci, maka dia bisa menunggu suci dan tawaf ifadah. Kedua, jika tidak memungkinkan menetap beberapa hari di Makkah untuk menunggu suci dari haid dan tawaf, misalnya karena dia berada dalam rombongan yang mengharuskan segera meninggalkan Makkah. Maka apakah perempuan itu boleh melaksanakan tawaf dalam keadaan haid? Ada ragam pendapat lagi dari para pakar fikih.
Ikhtilaf Fikih Haji Perempuan
Ketiga, perempuan yang sedang haid atau nifas haram melaksanakan tawaf. Penyampaian pendapat ini oleh ulama mazhab Syafii dan Hanbali. Oleh karenanya, bagi perempuan sarannya untuk segera tawaf menjaga kemungkinan datangnya haid. (Fiqh Sunnah. 1/631)
Keempat, perempuan itu boleh melakukan tawaf jika khawatir tidak bisa menyempurnakan rukun hajinya. Hanya saja kalangan ahli fikih berbeda pendapat tentang persyaratan suci (darah haid benar-benar berhenti), untuk melaksanakan tawaf dan membayar dam. Menurut pendapat Hanafi dan salah satu riwayat Ibn Hanbal bahwa tawafnya perempuan yang sedang haid adalah sah, meskipun darah haidnya belum berhenti.
Menurut pendapat Maliki, Hanbali dan sebagian Syafii, perempuan haid yang darah haidnya berhenti sementara sudah boleh melakukan tawaf, meski darahnya kembali keluar beberapa saat setelah tawaf. Jadi perempuan yang sedang haid dan tiba-tiba melihat darahnya berhenti hendaknya segera melaksanakan tawaf.
Sedangkan menurut Mazhab Hanafi, perempuan yang tawaf ketika haid, baik saat itu darah masih keluar maupun berhenti sementara, tetap ada kewajiban membayar dam, yaitu menyembelih seekor unta atau sapi. (Ibadah Haji Perempuan. 116).
Kelima, Imam Nawawi berpendapat bahwa tawaf ifadah tidak ada batas akhir waktunya selama hidup, dan tidak wajib membayar dam karena dilambatkan (al-Majmu’. 161). Keenam, perempuan haid atau nifas tidak boleh tawaf. Jika haid di awal haji ia boleh melakukan rangkaian ibadah haji kecuali tawaf. Jika haid di akhir ibadah haji maka wajib menunggu sampai berhenti haid baru tawaf.
Perempuan boleh menggunakan obat penunda keluarnya darah haid untuk dapat mengerjakan tawaf ifadah berdasarkan riwayat, pada masa Umar ra minum obat penunda haid. Dan beliau berkata boleh dan tidak salah. (yas alunaka fi addīn wal hayāt)
Dan masih banyak pendapat lainnya, masih dalam fikih 4 mazhab, bahkan dalam satu mazhab Syafii minimal ada 2 pendapat. Seluruhnya adalah solusi/jalan keluar yang bebas terpilih jama’ah haji perempuan, dengan pertimbangan situasi dan kondisi individu. Di fase ini saya benar-benar merasakan kasih sayang Tuhanku. []